Lewat Buku Putih, Fahri Hamzah Ingin Bangun Tradisi Baik Partai Politik
Sabtu, 01 Mei 2021 - 13:30 WIB
Menurut dia, buku yang berbasis putusan Mahkamah Agung ini menjadi sejarah baru dalam relasi antara individu dan partai politik, sekaligus merupakan ucapan perpisahannya kepada PKS. "Kita harus memasuki arah baru perpolitikan Indonesia," katanya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Indonesia Margarito Kamis menegaskan jika dicermati sejarah rule of law dan sejarah partai, tidak ada partai berdaulat. Adapun yang berdaulat, kata dia, anggota partai. Karena, bukan partai yang melahirkan orang-orang, tapi orang-oranglah yang melahirkan partai.
Menurut di, yang memiliki daulat adalah anggota DPR yang dipilih rakyat. Sedangkan partai, kedaulatannya ada di tangan anggota partai. “Itu sebabnya di sebagian negara demokratik, cara menarik anggota DPR itu hanya dengan semacam pemilu. Hanya bisa ditarik oleh rakyat yang memilihnya. Tidak oleh bos-bos partai," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengungkapkan seorang Fahri Hamzah adalah marketer. Apa pun istilahnya Fahri seorang marketer.
Ketika terlibat dalam sebuah konflik baik yang sifatnya personal, internal partai atau perbedaan pandangan, wacananya sering kali pro-kontra dan bergeser menjadi sebuah isu yang ada dipanggung nasional.
Dia mencontohkan ramainya isu saat Fahri Hamzah bertengkar dengan Johan Budi saat menjadi juru bicara KPK, rating TV One pasti tinggi. Dari situ lahir banyak perdebatan atau diksusi mengenai KPK yang selama ini tenggelam oleh arus populisme bahwa KPK tidak boleh salah. “Itu kita harus akui. Sama seperti apa dalam buku ini, kalau orang mengatakan dari sudut marketing, akan bilang jago nih Fahri Hamzah,” ujarnua.
Direktur Eksekutif Parwa Institute, Muh Jusrianto melanjutkan, buku yang ditulis oleh Fahri bisa menjadi referensi untuk pembangunan partai politik ke depannya. Begitu juga bagi pemerintah dalam membangun demokrasi yang bukan hanya titik tekannya pada demokrasi prosedural tetapi juga bicara soal demokrasi substantif.
“Partai politik diharapkan bisa menjadi fondasi demokrasi Indonesia ke depan tanpa terkecuali Gelora sebagai partai baru. Apa yang membedakan Gelora dengan PKS, apakah sama saja atau sedikit memiliki perbedaan atau perbedaannya sangat-sangat siginifikan antara gerakan PKS maupun gerakan Gelora," tuturnya.
Dia menegaskan partai politik seharusnya bisa memperkuat diri secara institusionalisasi. Bukan hanya berbicara soal menghargai kebebasan politik dan kebebasan ekonomi, tetapi juga partai politik mampu menerapkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi di internal partainya sendiri. "Kita lihat beberapa partai politik malah tidak menerapkan nilai demokrasi itu sendiri di internal partainya,” tandasnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Indonesia Margarito Kamis menegaskan jika dicermati sejarah rule of law dan sejarah partai, tidak ada partai berdaulat. Adapun yang berdaulat, kata dia, anggota partai. Karena, bukan partai yang melahirkan orang-orang, tapi orang-oranglah yang melahirkan partai.
Menurut di, yang memiliki daulat adalah anggota DPR yang dipilih rakyat. Sedangkan partai, kedaulatannya ada di tangan anggota partai. “Itu sebabnya di sebagian negara demokratik, cara menarik anggota DPR itu hanya dengan semacam pemilu. Hanya bisa ditarik oleh rakyat yang memilihnya. Tidak oleh bos-bos partai," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengungkapkan seorang Fahri Hamzah adalah marketer. Apa pun istilahnya Fahri seorang marketer.
Ketika terlibat dalam sebuah konflik baik yang sifatnya personal, internal partai atau perbedaan pandangan, wacananya sering kali pro-kontra dan bergeser menjadi sebuah isu yang ada dipanggung nasional.
Dia mencontohkan ramainya isu saat Fahri Hamzah bertengkar dengan Johan Budi saat menjadi juru bicara KPK, rating TV One pasti tinggi. Dari situ lahir banyak perdebatan atau diksusi mengenai KPK yang selama ini tenggelam oleh arus populisme bahwa KPK tidak boleh salah. “Itu kita harus akui. Sama seperti apa dalam buku ini, kalau orang mengatakan dari sudut marketing, akan bilang jago nih Fahri Hamzah,” ujarnua.
Direktur Eksekutif Parwa Institute, Muh Jusrianto melanjutkan, buku yang ditulis oleh Fahri bisa menjadi referensi untuk pembangunan partai politik ke depannya. Begitu juga bagi pemerintah dalam membangun demokrasi yang bukan hanya titik tekannya pada demokrasi prosedural tetapi juga bicara soal demokrasi substantif.
“Partai politik diharapkan bisa menjadi fondasi demokrasi Indonesia ke depan tanpa terkecuali Gelora sebagai partai baru. Apa yang membedakan Gelora dengan PKS, apakah sama saja atau sedikit memiliki perbedaan atau perbedaannya sangat-sangat siginifikan antara gerakan PKS maupun gerakan Gelora," tuturnya.
Dia menegaskan partai politik seharusnya bisa memperkuat diri secara institusionalisasi. Bukan hanya berbicara soal menghargai kebebasan politik dan kebebasan ekonomi, tetapi juga partai politik mampu menerapkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi di internal partainya sendiri. "Kita lihat beberapa partai politik malah tidak menerapkan nilai demokrasi itu sendiri di internal partainya,” tandasnya.
(dam)
tulis komentar anda