Lewat Buku Putih, Fahri Hamzah Ingin Bangun Tradisi Baik Partai Politik

Sabtu, 01 Mei 2021 - 13:30 WIB
loading...
Lewat Buku Putih, Fahri...
arty Watch (Parwa) Institute menggelar bedah buku karya Fahri Hamzah bertajuk Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol di Rocketz Café, The Nyaman Hotel, Tebet, Jakarta, Jumat 30 April 2021. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Party Watch (Parwa) Institute menggelar bedah buku karya Fahri Hamzah bertajuk Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat Vs Daulat Parpol di Rocketz Café, The Nyaman Hotel, Tebet, Jakarta, Jumat 30 April 2021.

Fahri yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia mengungkapkan, buku ini adalah buku terakhirnya ketika masih sebagai anggota DPR.

Mantan politikus PKS ini juga menjelaskan alasannya memberi judul Buku Putih. Maknanya, pada akhirnya nanti yang dihadapi sebagai negara demokrasi adalah masa depan daulat rakyat di tengah kegagalan partai politik untuk mengindentifikasi perannya secara baik.

Di dalam buku tersebut juga disinggung tentang pertengkaran antara politik dirinya dengan teman-temannya di PKS. Baik langsung atau tidak, kondisi tersebut mendorong lahirnya Gerakan Arah Baru Indonesia lalu lahir Partai Gelombang Rakyat Indonesia.

Fahri juga bersyukur Partai Gelora sudah ada di 34 provinsi, 514 kabupaten/ kota. Tidak lama lagi 100% di sekitar 8.000-an kecamatan. "Sekarang kita masuk desa, kalau dulu ABRI masuk desa, sekarang Gelora masuk desa,” tuturnya.

Mantan Wakil Ketua DPR ini juga menjelaskan tentang alasan membuat buku tersebut. "Salah satunya agar masyarakat mengetahui posisi kita berada sekarang dalam sekian tahun berdemokrasi, dan mengejar mimpi kita dengan cara-cara demokratis, membangun negara demokratis dan menghendaki demokrasi menjadi platform dari kehidupan berbangsa dan bernegara," tuturnya.

Buku ini, sambung dia, pelajaran tentang bagaimana membangun tradisi yang baik dalam partai politik sebagai pilar utama demokrasi.

Pada masa mendatang, sambung dia, Indonesia harus membangun sistem partai politik yang sehat, modern dan terbuka menuju demokrasi Indonesia yang semakin dewasa.

Mandat surat rakyat pada diri seorang pejabat terpilih dikatakannya tidak boleh dan tidak bisa dengan mudah dirampas dan atau dialihkan kepada nama lain atas nama dan oleh otoritas apa pun.

Menurut dia, buku yang berbasis putusan Mahkamah Agung ini menjadi sejarah baru dalam relasi antara individu dan partai politik, sekaligus merupakan ucapan perpisahannya kepada PKS. "Kita harus memasuki arah baru perpolitikan Indonesia," katanya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Indonesia Margarito Kamis menegaskan jika dicermati sejarah rule of law dan sejarah partai, tidak ada partai berdaulat. Adapun yang berdaulat, kata dia, anggota partai. Karena, bukan partai yang melahirkan orang-orang, tapi orang-oranglah yang melahirkan partai.

Menurut di, yang memiliki daulat adalah anggota DPR yang dipilih rakyat. Sedangkan partai, kedaulatannya ada di tangan anggota partai. “Itu sebabnya di sebagian negara demokratik, cara menarik anggota DPR itu hanya dengan semacam pemilu. Hanya bisa ditarik oleh rakyat yang memilihnya. Tidak oleh bos-bos partai," tuturnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengungkapkan seorang Fahri Hamzah adalah marketer. Apa pun istilahnya Fahri seorang marketer.

Ketika terlibat dalam sebuah konflik baik yang sifatnya personal, internal partai atau perbedaan pandangan, wacananya sering kali pro-kontra dan bergeser menjadi sebuah isu yang ada dipanggung nasional.

Dia mencontohkan ramainya isu saat Fahri Hamzah bertengkar dengan Johan Budi saat menjadi juru bicara KPK, rating TV One pasti tinggi. Dari situ lahir banyak perdebatan atau diksusi mengenai KPK yang selama ini tenggelam oleh arus populisme bahwa KPK tidak boleh salah. “Itu kita harus akui. Sama seperti apa dalam buku ini, kalau orang mengatakan dari sudut marketing, akan bilang jago nih Fahri Hamzah,” ujarnua.

Direktur Eksekutif Parwa Institute, Muh Jusrianto melanjutkan, buku yang ditulis oleh Fahri bisa menjadi referensi untuk pembangunan partai politik ke depannya. Begitu juga bagi pemerintah dalam membangun demokrasi yang bukan hanya titik tekannya pada demokrasi prosedural tetapi juga bicara soal demokrasi substantif.

“Partai politik diharapkan bisa menjadi fondasi demokrasi Indonesia ke depan tanpa terkecuali Gelora sebagai partai baru. Apa yang membedakan Gelora dengan PKS, apakah sama saja atau sedikit memiliki perbedaan atau perbedaannya sangat-sangat siginifikan antara gerakan PKS maupun gerakan Gelora," tuturnya.

Dia menegaskan partai politik seharusnya bisa memperkuat diri secara institusionalisasi. Bukan hanya berbicara soal menghargai kebebasan politik dan kebebasan ekonomi, tetapi juga partai politik mampu menerapkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi di internal partainya sendiri. "Kita lihat beberapa partai politik malah tidak menerapkan nilai demokrasi itu sendiri di internal partainya,” tandasnya.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1588 seconds (0.1#10.140)