Diversifikasi Problematika Politik Struktural
Senin, 26 April 2021 - 19:15 WIB
Kristianus Jimy Pratama
Peneliti Hukum, Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis
dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
PADA hakikatnya, politik merupakan salah satu alat untuk mencapai sarana kekuasaan. Dimana politik memiliki signifikansi bertimbal balik terhadap eksistensi suatu kekuasaan. Hal tersebut menegaskan bahwa kekuasaan bersifat relatif dan secara logis akan mengalami perubahan sesuai dengan arah dinamika politik yang diejawantahkan melalui sikap tindak partai politik sebagai representasi dari kehendak masyarakat.
Sikap tindak partai politik dalam kancah kekuasaan sepanjang transisi Orde Baru dan Era Reformasi telah mengalami berbagai pergeseran. Salah satu bentuk pergeseran sikap tindak partai politik terletak pada manifestasi politik struktural. Politik struktural yang dimaksud adalah bagaimana sebuah partai politik dipandang sebagai salah satu aktor intelektual dalam kontelasi politik kekuasaan.
Asmara Nababan (2005) mengemukakan bahwa salah satu permasalahan dari manifestasi politik struktural adalah terjadinya perilaku monopolistik oknum kalangan elite atau borjuis terhadap sistem kepartaian. Dimana oknum kalangan elite yang menjadi bagian dari aktor politik yang ditampilkan pada layar depan kancah politik pada masa Orde Baru kemudian bertransformasi sebagai pemegang arah kebijakan layar belakang perpolitikan nasional pada Era Reformasi. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku oknum kalangan elite yang demikian menempatkan partai politik sebagai sarana penjelmaan kehendak oligarki.
Sehingga apabila dicermati, sikap tindak partai politik dimungkinkan untuk berbeda dengan kehendak rakyat sebagai konstituen. Politik struktural seringkali mengalami kerentanan untuk tidak secara maksimal menjadi sarana penerjemahan kehendak rakyat.
Hal ini sekaligus menguatkan garis pembeda politik struktural dengan politik kultural. Dimana politik secara kultural adalah mengenai bagaimana kehendak rakyat terhadap kekuasaan itu hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga kelemahan politik struktural seyogyanya dapat dikuatkan oleh garis kultural politik itu sendiri untuk menjadi sarana aktualisasi kehendak rakyat secara komprehensif.
Stagnansi Regenerasi Kepemimpinan Politik
Peneliti Hukum, Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Bisnis
dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
PADA hakikatnya, politik merupakan salah satu alat untuk mencapai sarana kekuasaan. Dimana politik memiliki signifikansi bertimbal balik terhadap eksistensi suatu kekuasaan. Hal tersebut menegaskan bahwa kekuasaan bersifat relatif dan secara logis akan mengalami perubahan sesuai dengan arah dinamika politik yang diejawantahkan melalui sikap tindak partai politik sebagai representasi dari kehendak masyarakat.
Sikap tindak partai politik dalam kancah kekuasaan sepanjang transisi Orde Baru dan Era Reformasi telah mengalami berbagai pergeseran. Salah satu bentuk pergeseran sikap tindak partai politik terletak pada manifestasi politik struktural. Politik struktural yang dimaksud adalah bagaimana sebuah partai politik dipandang sebagai salah satu aktor intelektual dalam kontelasi politik kekuasaan.
Asmara Nababan (2005) mengemukakan bahwa salah satu permasalahan dari manifestasi politik struktural adalah terjadinya perilaku monopolistik oknum kalangan elite atau borjuis terhadap sistem kepartaian. Dimana oknum kalangan elite yang menjadi bagian dari aktor politik yang ditampilkan pada layar depan kancah politik pada masa Orde Baru kemudian bertransformasi sebagai pemegang arah kebijakan layar belakang perpolitikan nasional pada Era Reformasi. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku oknum kalangan elite yang demikian menempatkan partai politik sebagai sarana penjelmaan kehendak oligarki.
Sehingga apabila dicermati, sikap tindak partai politik dimungkinkan untuk berbeda dengan kehendak rakyat sebagai konstituen. Politik struktural seringkali mengalami kerentanan untuk tidak secara maksimal menjadi sarana penerjemahan kehendak rakyat.
Hal ini sekaligus menguatkan garis pembeda politik struktural dengan politik kultural. Dimana politik secara kultural adalah mengenai bagaimana kehendak rakyat terhadap kekuasaan itu hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga kelemahan politik struktural seyogyanya dapat dikuatkan oleh garis kultural politik itu sendiri untuk menjadi sarana aktualisasi kehendak rakyat secara komprehensif.
Stagnansi Regenerasi Kepemimpinan Politik
tulis komentar anda