Cintai Produk Lokal, Kenapa Impor Demokrasi Individual (Bagian 2)
Senin, 19 April 2021 - 15:35 WIB
AWAL tahun 2021, bertiup angin santer wacana presiden tiga periode. Sifat wacana masih perorangan, belum ada organisasi yang menyatakan. Namun, bisa jadi dia corong depan organisasi. Tapi bisa juga pribadi yang sedang "Nggege Mongso" mengharap jabatan; semoga saja tidak demikian.
Apa pun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA).
Singkat cerita, penulis (P) melakukan ‘chatting’ melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespons, salah satunya, tokoh (JA) mantan pejabat negara, pada 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sbb :
P : Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di Undang-undang Dasar, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk kategori persoalan teknis atau persoalan esensial ketatanegaraan?
Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden?
JA : Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus ‘fixed term’ dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan.
Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada pilpres tapi presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen, juga sampai mati. Meski selalu ada pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik.
P : Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa ‘Presiden harus gantian’? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat?
JA : Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana.
Apa pun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA).
Singkat cerita, penulis (P) melakukan ‘chatting’ melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespons, salah satunya, tokoh (JA) mantan pejabat negara, pada 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sbb :
P : Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di Undang-undang Dasar, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk kategori persoalan teknis atau persoalan esensial ketatanegaraan?
Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden?
JA : Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus ‘fixed term’ dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan.
Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada pilpres tapi presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen, juga sampai mati. Meski selalu ada pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik.
P : Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa ‘Presiden harus gantian’? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat?
JA : Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana.
tulis komentar anda