Bawaslu dan Tantangan Pengawasan Pemilu 2024
Jum'at, 16 April 2021 - 06:05 WIB
Tugas 2024
Desain kepemiluan yang saat ini digunakan dengan berdasar pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan memberi tambahan kerja ekstra bagi penyelenggara pemilu terutama pengawas pemilu. Pada 2024 akan diselenggarakan pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), dan pilkada. Ketiga pemilihan tersebut akan berjalan secara maraton.
Menerka Pileg dan Pilpres 2024 yang akan digelar pada Maret 2024 sebagaimana rencana desain yang diajukan KPU akan membuat perangkat pemilihan (KPU dan Bawaslu) sudah siap bekerja sekitar Juli 2022 atau sekitar 20 bulan sebelum pemungutan suara dilaksanakan untuk pileg dan pilpres. Kemudian persiapan pelaksanaan pilkada yang pemungutan suaranya akan dilaksanakan pada November 2024 sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 10/2016 sudah dimulai setidaknya 11 bulan sebelum pemungutan suara atau setidaknya pada Desember 2023.
Masa kerja penyelenggara pemilihan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi juga akan habis pada 2023 yang berarti proses pengisian komisioner baik KPU maupun Bawaslu sudah dilakukan saat memasuki tahapan pileg dan pilpres. Proses pemilu dengan memperhatikan waktu pelaksanaannya akan membuat tahapan akhir pileg dan pilpres belum selesai, namun sudah disusul dengan dimulainya tahapan pilkada.
Bagi pengawas pemilu bukanlah sebuah perkara mudah terlebih tantangan terberatnya ada pada pengawas tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan/desa. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) dan Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa (Panwaslu Kelurahan/Desa) akan dihadapkan pada beberapa persoalan. Pertama, area kerja yang luas secara geografis. Kedua, jumlah penduduk yang terlampau banyak. Ketiga, iklim politik yang panas di wilayah tertentu berpotensi terjadi konflik.
Perlu dilakukan peninjauan untuk menambah personel pengawas pemilu di dua tingkatan tersebut agar tugas pengawasan dapat lebih optimal. Misalnya, untuk desa dengan jumlah pemilih di atas 3.000 pemilih perlu diberikan dua Panwaslu Desa, begitu seterusnya untuk kelipatan 1.500-2.000 pemilih. Sebab, tujuan pengawasan yang dilakukan objeknya adalah mengawasi gerak masyarakat dalam hajat politik pemilihan sehingga dengan hanya satu pengawas di tingkat desa yang memiliki jumlah penduduk banyak kurang efektif.
Kemudian untuk kecamatan yang memiliki jumlah desa di atas 15 desa dapat diisi dengan lima orang komisioner. Karena praktis pengawasan di tingkat desa dengan satu orang dan kecamatan tiga orang bukanlah porsi yang ideal bagi wilayah yang luas serta penduduk yang padat. Kembali lagi bahwa pengawasan yang dilakukan adalah mengawasi masyarakat (pemilih) dengan proses panjang sejak tahap awal pemilihan hingga selesainya pemilihan, bukan hanya pada saat hari pemungutan suara yang pembagian pengawasannya pada Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Peran Sentral Bawaslu
Bersama tiga lembaga lainnya, KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu bertanggung jawab terhadap jalannya demokratisasi dalam pemilihan. Objek pengawasan Bawaslu adalah mengawasi kerja penyelenggara teknis (KPU) dan peserta pemilihan. Selain itu, Bawaslu juga harus mengawasi masyarakat yang menurut UU dilarang memihak pada salah satu calon dalam pemilihan seperti Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sepak terjang Bawaslu lainnya adalah memberikan rekomendasi seperti saran perbaikan kepada KPU hingga diskualifikasi calon seperti yang terjadi di beberapa daerah pada Pilkada 2020, yakni Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Banggai, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Kaur, dan Kabupaten Ogan Ilir. Rekomendasi Bawaslu dapat berupa temuan maupun laporan masyarakat. Kehadiran Bawaslu memudahkan masyarakat untuk mengadu terkait pelanggaran pemilu.
Desain kepemiluan yang saat ini digunakan dengan berdasar pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan memberi tambahan kerja ekstra bagi penyelenggara pemilu terutama pengawas pemilu. Pada 2024 akan diselenggarakan pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), dan pilkada. Ketiga pemilihan tersebut akan berjalan secara maraton.
Menerka Pileg dan Pilpres 2024 yang akan digelar pada Maret 2024 sebagaimana rencana desain yang diajukan KPU akan membuat perangkat pemilihan (KPU dan Bawaslu) sudah siap bekerja sekitar Juli 2022 atau sekitar 20 bulan sebelum pemungutan suara dilaksanakan untuk pileg dan pilpres. Kemudian persiapan pelaksanaan pilkada yang pemungutan suaranya akan dilaksanakan pada November 2024 sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 10/2016 sudah dimulai setidaknya 11 bulan sebelum pemungutan suara atau setidaknya pada Desember 2023.
Masa kerja penyelenggara pemilihan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi juga akan habis pada 2023 yang berarti proses pengisian komisioner baik KPU maupun Bawaslu sudah dilakukan saat memasuki tahapan pileg dan pilpres. Proses pemilu dengan memperhatikan waktu pelaksanaannya akan membuat tahapan akhir pileg dan pilpres belum selesai, namun sudah disusul dengan dimulainya tahapan pilkada.
Bagi pengawas pemilu bukanlah sebuah perkara mudah terlebih tantangan terberatnya ada pada pengawas tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan/desa. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) dan Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa (Panwaslu Kelurahan/Desa) akan dihadapkan pada beberapa persoalan. Pertama, area kerja yang luas secara geografis. Kedua, jumlah penduduk yang terlampau banyak. Ketiga, iklim politik yang panas di wilayah tertentu berpotensi terjadi konflik.
Perlu dilakukan peninjauan untuk menambah personel pengawas pemilu di dua tingkatan tersebut agar tugas pengawasan dapat lebih optimal. Misalnya, untuk desa dengan jumlah pemilih di atas 3.000 pemilih perlu diberikan dua Panwaslu Desa, begitu seterusnya untuk kelipatan 1.500-2.000 pemilih. Sebab, tujuan pengawasan yang dilakukan objeknya adalah mengawasi gerak masyarakat dalam hajat politik pemilihan sehingga dengan hanya satu pengawas di tingkat desa yang memiliki jumlah penduduk banyak kurang efektif.
Kemudian untuk kecamatan yang memiliki jumlah desa di atas 15 desa dapat diisi dengan lima orang komisioner. Karena praktis pengawasan di tingkat desa dengan satu orang dan kecamatan tiga orang bukanlah porsi yang ideal bagi wilayah yang luas serta penduduk yang padat. Kembali lagi bahwa pengawasan yang dilakukan adalah mengawasi masyarakat (pemilih) dengan proses panjang sejak tahap awal pemilihan hingga selesainya pemilihan, bukan hanya pada saat hari pemungutan suara yang pembagian pengawasannya pada Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Peran Sentral Bawaslu
Bersama tiga lembaga lainnya, KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu bertanggung jawab terhadap jalannya demokratisasi dalam pemilihan. Objek pengawasan Bawaslu adalah mengawasi kerja penyelenggara teknis (KPU) dan peserta pemilihan. Selain itu, Bawaslu juga harus mengawasi masyarakat yang menurut UU dilarang memihak pada salah satu calon dalam pemilihan seperti Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sepak terjang Bawaslu lainnya adalah memberikan rekomendasi seperti saran perbaikan kepada KPU hingga diskualifikasi calon seperti yang terjadi di beberapa daerah pada Pilkada 2020, yakni Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Banggai, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Kaur, dan Kabupaten Ogan Ilir. Rekomendasi Bawaslu dapat berupa temuan maupun laporan masyarakat. Kehadiran Bawaslu memudahkan masyarakat untuk mengadu terkait pelanggaran pemilu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda