Ahli Jelaskan Kritik Jumhur Hidayat Soal Omnibus Law Hal Biasa

Senin, 12 April 2021 - 15:55 WIB
M Jumhur Hidayat bersama penasihat hukum saat menghadiri persidangan kasus dugaan penyebaran hoaks Omnibus Law Cipta Kerja di PN Jakarta Selatan, Senin (12/4/2021). Foto/Ari Sandita Murti
JAKARTA - Ahli Sosiologi Hukum dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (12/4/2021) ini persidangan dugaan kasus penyebaran hoaks dengan terdakwa M Jumhur Hidayat . Trubus mengatakan, sejatinya terkait kritik Jumhur tentang Omnibus Law di media sosial Twitter itu merupakan hal biasa dalam ilmu sosiologi dan itu hanyalah sebuah interaksi sosial belaka.

Namun, menurutnya, masalah muncul manakala postingan atau pernyataan Jumhur menimbulkan kerugian bagi individu atau kelompok tertentu sehingga masuk dalam ranah sosiologi hukum. "Boleh orang berpendapat, mengkritik tapi tak ada dampaknya dan kalau tak ada dampaknya ya sudah selesai itu. Kalau hanya pro-kontra ya biasa perbedaan pendapat," ujarnya di persidangan, Senin (12/4/2021).

Adapun pernyataan Jumhur, kata dia, merupakan hal biasa yang mana dianggap sebagai hak yang tak turut dilibatkan dalam perencanaan Omnibus Law UU Ciptaker. Selama pendapat itu tak ada unsur pelanggaran hukum dan tak ada dampak kerugiannya, itu pun dianggap biasa saja.





Bahkan, kata dia, manakala seseorang melakukan pernyataan berita bohong atau menyesatkan dan tak ada satu pihak pun yang meresponsnya dengan membuat laporan atau merasa dirugikan, itu pun dianggap sebagai interaksi sosial belaka. Adapun terkait pernyataan Jumhur, dianggap berhubungan dengan demo-demo anarkis lantaran rentang waktu postingannya dan demo itu tak berjauhan.

Namun, harus dibuktikan lagi apakah benar postingan itulah yang menimbulkan demo anarkis mengingat banyak sekali orang yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang Omnibus Law UU Ciptaker melalui medsos. Pembuktian itu haruslah dilakukan di persidangan dan yang menentukannya tentu saja majelis hakim.



"Memposting di medsos itu sama dengan bicara di muka umum karena netizen itu kan nyata, bukan suatu hal yang abstrak. Lalu, dalam pengertian sosiologinya itu subjek hukum, orang bisa mewakili dirinya, bisa mewakili kelompok, komunitas, masyakarat atau negara, tergantung konteksnya," tuturnya.

Lanjut Trubus, terkait dampak atau kerugian dari interaksi sosial itu, bisa berupa dampak positif atau sebaliknya. Dampak itu pun bisa terjadi dalam jangka waktu pendek dan jangka panjang. Selain itu, untuk menilai seseorang apakah sudah membuat berita bohong ataukah tidak harus pula dilihat dari niatnya.

Trubus pun sempat ditanyai pendapatnya oleh terdakwa Jumhur terkait kasusnya lantaran jaksa menuduh Jumhur telah melakukan ujaran kebencian pada antargolongan, khususnya pengusaha. Ketum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani yang juga dihadirkan sebagai saksi fakta menyebutkan tak merasa dirugikan atas postingan Jumhur. "Menurut sosiologi hukum seperti apa? Pengusaha yang dianggap sebagai korban dipanggil, tapi dia (mengaku tak dirugikan) tak jadi korban gimana?" tanya Jumhur.

"Pertanyaan yang Bapak alami jadi gini, dalam sebuah negara ada otoritas, otoritas yang menentukan itu Bapak punya hak kalau tidak terbukti bisa gugat balik (itu bisa). Saya tak punya kewenangan untuk menentukan itu (salah tidaknya), tapi dalam sosiologi tak merasa merugikan, ya tuntas selesai," kata Trubus.
(zik)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More