Stop Kabar Bohong, Jadilah Hoax Buster!
Senin, 12 April 2021 - 05:56 WIB
JAKARTA - Penyebaran hoaks kian masif melalui media sosial , termasuk di aplikasi percakapan WhatsApp. Perang melawan hoaks pun tak bisa lagi hanya mengandalkan peran pemerintah. Setiap orang bisa menjadi relawan penangkal kabar bohong ( hoax buster ).
Dengan menjadi hoax buster, maka seseorang akan memeriksa fakta informasi yang masuk pada grup percakapan. Pengecekan ini bertujuan untuk menghindarkan anggota grup menjadi korban disinformasi akibat menerima berita, gambar atau video yang sifatnya palsu atau bohong.
Keberadaan hoax buster untuk melakukan fact-checking dinilai penting sebab aplikasi percakapan pribadi seperti WhatsApp sulit dikendalikan lantaran cenderung luput dari pengawasan. Ini berbeda dengan platform media sosial lain seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube yang aktivitas di dalamnya selalu dalam pengawasan pemerintah atau aparat hukum.
Pakar komunikasi kesehatan dari Universitas Padjadjaran Bandung Jenny Ratna Suminar mengatakan, peran hoaks buster makin relevan terutama untuk menangkis informasi bohong tentang kesehatan. Menurut dia, informasi bohong soal obat-obatan, metode penyembuhan, hingga alat-alat kesehatan saat ini berseliweran di grup-grup WhatsApp. Terlebih, selama masa pandemi Covid-19, hoaks kesehatan ini meningkat tajam. Penyebar awal sengaja menyasar grup WA karena memahami bahwa kebutuhan kesehatan itu tidak bisa ditawar-tawar.
“Masalahnya, kalau orang sampai termakan hoaks, misalnya menggunakan obat atau alat kesehatan yang sebetulnya tidak benar, akibatnya bisa fatal, bisa berujung kematian,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Jenny mengungkapkan cukup banyak hoaks kesehatan yang selama ini banyak dipercayai masyarakat. Misalnya, biji ketumbar yang direndam lalu airnya diminum untuk meningkatkan vitalitas pria. Juga info bahwa kolang kaling bisa menguatkan persendian. “Tanpa saringan orang bisa percaya begitu saja padahal secara medis tidak pernah ada penelitian tentang itu,” ujarnya.
Menurut dia, orang cenderung mudah percaya dengan informasi kesehatan, terutama para generasi baby boomers atau mereka yang usianya saat ini sudah di atas 50 tahun. Pada usia tersebut, kata dia, perhatian terhadap informasi kesehatan memang mulai tinggi seiring menurunnya kekuatan tubuh.
Dengan menjadi hoax buster, maka seseorang akan memeriksa fakta informasi yang masuk pada grup percakapan. Pengecekan ini bertujuan untuk menghindarkan anggota grup menjadi korban disinformasi akibat menerima berita, gambar atau video yang sifatnya palsu atau bohong.
Keberadaan hoax buster untuk melakukan fact-checking dinilai penting sebab aplikasi percakapan pribadi seperti WhatsApp sulit dikendalikan lantaran cenderung luput dari pengawasan. Ini berbeda dengan platform media sosial lain seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube yang aktivitas di dalamnya selalu dalam pengawasan pemerintah atau aparat hukum.
Pakar komunikasi kesehatan dari Universitas Padjadjaran Bandung Jenny Ratna Suminar mengatakan, peran hoaks buster makin relevan terutama untuk menangkis informasi bohong tentang kesehatan. Menurut dia, informasi bohong soal obat-obatan, metode penyembuhan, hingga alat-alat kesehatan saat ini berseliweran di grup-grup WhatsApp. Terlebih, selama masa pandemi Covid-19, hoaks kesehatan ini meningkat tajam. Penyebar awal sengaja menyasar grup WA karena memahami bahwa kebutuhan kesehatan itu tidak bisa ditawar-tawar.
“Masalahnya, kalau orang sampai termakan hoaks, misalnya menggunakan obat atau alat kesehatan yang sebetulnya tidak benar, akibatnya bisa fatal, bisa berujung kematian,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Jenny mengungkapkan cukup banyak hoaks kesehatan yang selama ini banyak dipercayai masyarakat. Misalnya, biji ketumbar yang direndam lalu airnya diminum untuk meningkatkan vitalitas pria. Juga info bahwa kolang kaling bisa menguatkan persendian. “Tanpa saringan orang bisa percaya begitu saja padahal secara medis tidak pernah ada penelitian tentang itu,” ujarnya.
Menurut dia, orang cenderung mudah percaya dengan informasi kesehatan, terutama para generasi baby boomers atau mereka yang usianya saat ini sudah di atas 50 tahun. Pada usia tersebut, kata dia, perhatian terhadap informasi kesehatan memang mulai tinggi seiring menurunnya kekuatan tubuh.
tulis komentar anda