Stop Kabar Bohong, Jadilah Hoax Buster!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyebaran hoaks kian masif melalui media sosial , termasuk di aplikasi percakapan WhatsApp. Perang melawan hoaks pun tak bisa lagi hanya mengandalkan peran pemerintah. Setiap orang bisa menjadi relawan penangkal kabar bohong ( hoax buster ).
Dengan menjadi hoax buster, maka seseorang akan memeriksa fakta informasi yang masuk pada grup percakapan. Pengecekan ini bertujuan untuk menghindarkan anggota grup menjadi korban disinformasi akibat menerima berita, gambar atau video yang sifatnya palsu atau bohong.
Keberadaan hoax buster untuk melakukan fact-checking dinilai penting sebab aplikasi percakapan pribadi seperti WhatsApp sulit dikendalikan lantaran cenderung luput dari pengawasan. Ini berbeda dengan platform media sosial lain seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube yang aktivitas di dalamnya selalu dalam pengawasan pemerintah atau aparat hukum.
Pakar komunikasi kesehatan dari Universitas Padjadjaran Bandung Jenny Ratna Suminar mengatakan, peran hoaks buster makin relevan terutama untuk menangkis informasi bohong tentang kesehatan. Menurut dia, informasi bohong soal obat-obatan, metode penyembuhan, hingga alat-alat kesehatan saat ini berseliweran di grup-grup WhatsApp. Terlebih, selama masa pandemi Covid-19, hoaks kesehatan ini meningkat tajam. Penyebar awal sengaja menyasar grup WA karena memahami bahwa kebutuhan kesehatan itu tidak bisa ditawar-tawar.
“Masalahnya, kalau orang sampai termakan hoaks, misalnya menggunakan obat atau alat kesehatan yang sebetulnya tidak benar, akibatnya bisa fatal, bisa berujung kematian,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Jenny mengungkapkan cukup banyak hoaks kesehatan yang selama ini banyak dipercayai masyarakat. Misalnya, biji ketumbar yang direndam lalu airnya diminum untuk meningkatkan vitalitas pria. Juga info bahwa kolang kaling bisa menguatkan persendian. “Tanpa saringan orang bisa percaya begitu saja padahal secara medis tidak pernah ada penelitian tentang itu,” ujarnya.
Menurut dia, orang cenderung mudah percaya dengan informasi kesehatan, terutama para generasi baby boomers atau mereka yang usianya saat ini sudah di atas 50 tahun. Pada usia tersebut, kata dia, perhatian terhadap informasi kesehatan memang mulai tinggi seiring menurunnya kekuatan tubuh.
Motif orang menyebarkan hoaks pun bisa jadi bukan karena maksud buruk, seperti ingin berbagi informasi yang dinilai bermanfaat kepada orang-orang dekat, misalnya teman, rekan kerja, keluarga, atau sahabat. “Nah di sini hoax buster bisa mengambil peran memeriksa. Dia berinisiatif mengecek melalui Google, atau bertanya langsung kepada sumber awal dari informasi tersebut,” paparnya.
Menyadari pentingnya mengeliminasi hoaks di grup WhatsApp, Jenny yang juga dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ini secara khusus melakukan riset pada 2019 lalu. Hasil riset bertajuk Becoming a hoax buster in WhatsApp groups as an effort to limit the dissemination of misleading health information tersebut telah dipublikasi melalui sebuah jurnal pada Maret 2021.
Ternyata dari penelitiannya, dia menemukan orang-orang yang berperan sebagai hoaks buster. Ketika sebuah info benar, hoaks busters akan ikut sebarkan lagi. “Tapi kalau salah, dia akan kirim pesan lewat japri (jaringan pribadi) ke orang yang sebar info tersebut bahwa itu hoaks. Ada juga yang ngomong langsung ke grup,” paparnya.
Menurut Jenny, hoax buster adalah peran yang sangat langka di masyarakat. Mereka bertindak karena memiliki keberanian dan juga pengetahuan yang cukup tentang digital dan kesehatan. Peran hoax buster cukup diakui efektif dalam membatasi hoaks kesehatan, utamanya di grup WhatsApp.
Di masa pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, Jenny memperkirakan hoaks kesehatan masih akan terus bergulir karena kekhawatiran orang terkait kesehatan makin naik. Dia mencontohkan aneka jenis hoaks vaksin yang belakangan ini marak. Karena itu, kehadiran hoax buster di grup-grup WhatsApp diakuinya akan selalu dibutuhkan.
Batasi Anggota Grup
Fakta bahwa hoaks di grup WhatsApp sulit dikendalikan diakui pula oleh Founder Sobat Cyber Indonesia, Al Akbar Ramadillah. Menurut dia, ada beberapa platform yang tidak bisa dikendalikan karena basisnya person to person. “Pemiliknya pribadi, tidak ada pendamping yang bisa melakukan pressing kecuali diri sendiri. itu misalnya terjadi WhatsApp, Telegram dan aplikasi chat lain,” ujarnya, kemarin.
Dia menyebut maraknya hoaks di grup WhatsApp tidak terlepas dari kesalahan masyarakat dalam memahami fungsi dari media sosial yang bersifat private media. Menurut dia, social media dan private media adalah dua hal yang berbeda. Social media disebutnya alat untuk berbagi pesan kepada orang-orang secara lebih luas, sedangkan private media lebih bersifat pribadi dengan anggota yang terbatas dan kendali ada pada anggota-anggotanya. “Ini yang harus dibedakan masyarakat, termasuk perbedaan cara pakainya. Nah, pendidikan seperti ini harus diberikan ke masyarakat. Di sini pulalah pentingnya membangun literasi digital,” ujarnya.
Dia juga melihat kelemahan pada platform penyedia aplikasi. Dia mencontohkan WhatsApp yang saat ini bisa memiliki keanggotaan hingga 500 orang. Padahal, untuk percakapan keluarga atau urusan pekerjaan anggota grup cukup 50 orang saja. Banyaknya jumlah anggota berakibat pada terbukanya peluang penyebaran hoaks.
Makin banyak orang di dalam grup, kata Akbar, maka makin susah mengklarifikasi sebuah informasi. Jika angota grup sedikit masih ada tahapan cek dan ricek dengan sesama anggota grup lain.
Dia menilai aturan pembatasan anggota grup tersebut bisa dilakukan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan bersurat ke penyedia platform percakapan seperti WhatsApp. “Dulu Kominfo sudah melakukan pembatasan, misalnya membatasi forward message maksimal hanya lima kali. Juga foto terbatas untuk diteruskan, jadi sudah ada langkah preventif seperti itu,” jelasnya.
Hoaks Kesehatan Meningkat
Di sisi lain, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat peningkatan hoaks kesehatan secara signifikan selama masa pandemi. Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, pada 2019 terdapat 1.220 hoaks dengan mayoritas isu politik karena tepat dengan momentum Pemilu 2019. Isu kesehatan saat itu masih di bawah 10% atau hanya sekitar 120-an isu.
Saat pandemi datang, dia saat semua orang menggunakan akses digital, kata dia, hoaks pun meningkat tajam. Pada 2020 ada 2.298 hoaks, atau jumlahnya hampir dua kali lipat dibanding 2019. “Kali ini isu teratas bukan lagi politik namun kesehatan yang tercatat 37% atau sebanyak 800 lebih isu. Didominasi topik Covid-19 yang semakin meningkat dan berlanjut sampai 2021,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (11/4).
Isu vaksin lebih mendominasi pada 2021 meskipun juga sudah ada sejak awal pandemi. Hoaks tersebut antara lain seputar saat divaksin orang akan dipasangi chip. Septiaji menyayangkan masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menerima pernyataan medis yang bersumber dari ahlinya langsung. Padahal itu menjadi standar verfikasi di bidang kesehatan. Masyarakat disebutnya masih lebih percaya dengan testimoni.
Untuk pencegahan hoaks, pemerintah sebenarnya sudah berupaya maksimal menangkal. Ini seperti sejak awal pandemi sudah dibuat kanal pembasmi hoaks mengenai Covid-19 di situs resmi covid-19.go.id. Kemkominfo juga sudah membuat kanal khusus cek fakta dan hoaks tentang Covid-19.
Mafindo pun secara aktif mencegah hoaks yakni dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui aplikasi Kalimasada. Aplikasi tersebut diklaim bisa memudahkan masyarakat untuk memberikan informasi soal hoaks.
“Chatbot akan mencari informasi yang dibutuhkan masyarakat, misalnya ingin bertanya mengenai isu yang berkembang. Ada juga menu untuk mendapatkan info beberapa berita hoaks yang muncul terkini," jelasnya.
Dengan menjadi hoax buster, maka seseorang akan memeriksa fakta informasi yang masuk pada grup percakapan. Pengecekan ini bertujuan untuk menghindarkan anggota grup menjadi korban disinformasi akibat menerima berita, gambar atau video yang sifatnya palsu atau bohong.
Keberadaan hoax buster untuk melakukan fact-checking dinilai penting sebab aplikasi percakapan pribadi seperti WhatsApp sulit dikendalikan lantaran cenderung luput dari pengawasan. Ini berbeda dengan platform media sosial lain seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube yang aktivitas di dalamnya selalu dalam pengawasan pemerintah atau aparat hukum.
Pakar komunikasi kesehatan dari Universitas Padjadjaran Bandung Jenny Ratna Suminar mengatakan, peran hoaks buster makin relevan terutama untuk menangkis informasi bohong tentang kesehatan. Menurut dia, informasi bohong soal obat-obatan, metode penyembuhan, hingga alat-alat kesehatan saat ini berseliweran di grup-grup WhatsApp. Terlebih, selama masa pandemi Covid-19, hoaks kesehatan ini meningkat tajam. Penyebar awal sengaja menyasar grup WA karena memahami bahwa kebutuhan kesehatan itu tidak bisa ditawar-tawar.
“Masalahnya, kalau orang sampai termakan hoaks, misalnya menggunakan obat atau alat kesehatan yang sebetulnya tidak benar, akibatnya bisa fatal, bisa berujung kematian,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Jenny mengungkapkan cukup banyak hoaks kesehatan yang selama ini banyak dipercayai masyarakat. Misalnya, biji ketumbar yang direndam lalu airnya diminum untuk meningkatkan vitalitas pria. Juga info bahwa kolang kaling bisa menguatkan persendian. “Tanpa saringan orang bisa percaya begitu saja padahal secara medis tidak pernah ada penelitian tentang itu,” ujarnya.
Menurut dia, orang cenderung mudah percaya dengan informasi kesehatan, terutama para generasi baby boomers atau mereka yang usianya saat ini sudah di atas 50 tahun. Pada usia tersebut, kata dia, perhatian terhadap informasi kesehatan memang mulai tinggi seiring menurunnya kekuatan tubuh.
Motif orang menyebarkan hoaks pun bisa jadi bukan karena maksud buruk, seperti ingin berbagi informasi yang dinilai bermanfaat kepada orang-orang dekat, misalnya teman, rekan kerja, keluarga, atau sahabat. “Nah di sini hoax buster bisa mengambil peran memeriksa. Dia berinisiatif mengecek melalui Google, atau bertanya langsung kepada sumber awal dari informasi tersebut,” paparnya.
Menyadari pentingnya mengeliminasi hoaks di grup WhatsApp, Jenny yang juga dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ini secara khusus melakukan riset pada 2019 lalu. Hasil riset bertajuk Becoming a hoax buster in WhatsApp groups as an effort to limit the dissemination of misleading health information tersebut telah dipublikasi melalui sebuah jurnal pada Maret 2021.
Ternyata dari penelitiannya, dia menemukan orang-orang yang berperan sebagai hoaks buster. Ketika sebuah info benar, hoaks busters akan ikut sebarkan lagi. “Tapi kalau salah, dia akan kirim pesan lewat japri (jaringan pribadi) ke orang yang sebar info tersebut bahwa itu hoaks. Ada juga yang ngomong langsung ke grup,” paparnya.
Menurut Jenny, hoax buster adalah peran yang sangat langka di masyarakat. Mereka bertindak karena memiliki keberanian dan juga pengetahuan yang cukup tentang digital dan kesehatan. Peran hoax buster cukup diakui efektif dalam membatasi hoaks kesehatan, utamanya di grup WhatsApp.
Di masa pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, Jenny memperkirakan hoaks kesehatan masih akan terus bergulir karena kekhawatiran orang terkait kesehatan makin naik. Dia mencontohkan aneka jenis hoaks vaksin yang belakangan ini marak. Karena itu, kehadiran hoax buster di grup-grup WhatsApp diakuinya akan selalu dibutuhkan.
Batasi Anggota Grup
Fakta bahwa hoaks di grup WhatsApp sulit dikendalikan diakui pula oleh Founder Sobat Cyber Indonesia, Al Akbar Ramadillah. Menurut dia, ada beberapa platform yang tidak bisa dikendalikan karena basisnya person to person. “Pemiliknya pribadi, tidak ada pendamping yang bisa melakukan pressing kecuali diri sendiri. itu misalnya terjadi WhatsApp, Telegram dan aplikasi chat lain,” ujarnya, kemarin.
Dia menyebut maraknya hoaks di grup WhatsApp tidak terlepas dari kesalahan masyarakat dalam memahami fungsi dari media sosial yang bersifat private media. Menurut dia, social media dan private media adalah dua hal yang berbeda. Social media disebutnya alat untuk berbagi pesan kepada orang-orang secara lebih luas, sedangkan private media lebih bersifat pribadi dengan anggota yang terbatas dan kendali ada pada anggota-anggotanya. “Ini yang harus dibedakan masyarakat, termasuk perbedaan cara pakainya. Nah, pendidikan seperti ini harus diberikan ke masyarakat. Di sini pulalah pentingnya membangun literasi digital,” ujarnya.
Dia juga melihat kelemahan pada platform penyedia aplikasi. Dia mencontohkan WhatsApp yang saat ini bisa memiliki keanggotaan hingga 500 orang. Padahal, untuk percakapan keluarga atau urusan pekerjaan anggota grup cukup 50 orang saja. Banyaknya jumlah anggota berakibat pada terbukanya peluang penyebaran hoaks.
Makin banyak orang di dalam grup, kata Akbar, maka makin susah mengklarifikasi sebuah informasi. Jika angota grup sedikit masih ada tahapan cek dan ricek dengan sesama anggota grup lain.
Dia menilai aturan pembatasan anggota grup tersebut bisa dilakukan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan bersurat ke penyedia platform percakapan seperti WhatsApp. “Dulu Kominfo sudah melakukan pembatasan, misalnya membatasi forward message maksimal hanya lima kali. Juga foto terbatas untuk diteruskan, jadi sudah ada langkah preventif seperti itu,” jelasnya.
Hoaks Kesehatan Meningkat
Di sisi lain, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat peningkatan hoaks kesehatan secara signifikan selama masa pandemi. Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengatakan, pada 2019 terdapat 1.220 hoaks dengan mayoritas isu politik karena tepat dengan momentum Pemilu 2019. Isu kesehatan saat itu masih di bawah 10% atau hanya sekitar 120-an isu.
Saat pandemi datang, dia saat semua orang menggunakan akses digital, kata dia, hoaks pun meningkat tajam. Pada 2020 ada 2.298 hoaks, atau jumlahnya hampir dua kali lipat dibanding 2019. “Kali ini isu teratas bukan lagi politik namun kesehatan yang tercatat 37% atau sebanyak 800 lebih isu. Didominasi topik Covid-19 yang semakin meningkat dan berlanjut sampai 2021,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (11/4).
Isu vaksin lebih mendominasi pada 2021 meskipun juga sudah ada sejak awal pandemi. Hoaks tersebut antara lain seputar saat divaksin orang akan dipasangi chip. Septiaji menyayangkan masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menerima pernyataan medis yang bersumber dari ahlinya langsung. Padahal itu menjadi standar verfikasi di bidang kesehatan. Masyarakat disebutnya masih lebih percaya dengan testimoni.
Untuk pencegahan hoaks, pemerintah sebenarnya sudah berupaya maksimal menangkal. Ini seperti sejak awal pandemi sudah dibuat kanal pembasmi hoaks mengenai Covid-19 di situs resmi covid-19.go.id. Kemkominfo juga sudah membuat kanal khusus cek fakta dan hoaks tentang Covid-19.
Mafindo pun secara aktif mencegah hoaks yakni dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui aplikasi Kalimasada. Aplikasi tersebut diklaim bisa memudahkan masyarakat untuk memberikan informasi soal hoaks.
“Chatbot akan mencari informasi yang dibutuhkan masyarakat, misalnya ingin bertanya mengenai isu yang berkembang. Ada juga menu untuk mendapatkan info beberapa berita hoaks yang muncul terkini," jelasnya.
(ynt)