Stop Kabar Bohong, Jadilah Hoax Buster!
Senin, 12 April 2021 - 05:56 WIB
Motif orang menyebarkan hoaks pun bisa jadi bukan karena maksud buruk, seperti ingin berbagi informasi yang dinilai bermanfaat kepada orang-orang dekat, misalnya teman, rekan kerja, keluarga, atau sahabat. “Nah di sini hoax buster bisa mengambil peran memeriksa. Dia berinisiatif mengecek melalui Google, atau bertanya langsung kepada sumber awal dari informasi tersebut,” paparnya.
Menyadari pentingnya mengeliminasi hoaks di grup WhatsApp, Jenny yang juga dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ini secara khusus melakukan riset pada 2019 lalu. Hasil riset bertajuk Becoming a hoax buster in WhatsApp groups as an effort to limit the dissemination of misleading health information tersebut telah dipublikasi melalui sebuah jurnal pada Maret 2021.
Ternyata dari penelitiannya, dia menemukan orang-orang yang berperan sebagai hoaks buster. Ketika sebuah info benar, hoaks busters akan ikut sebarkan lagi. “Tapi kalau salah, dia akan kirim pesan lewat japri (jaringan pribadi) ke orang yang sebar info tersebut bahwa itu hoaks. Ada juga yang ngomong langsung ke grup,” paparnya.
Menurut Jenny, hoax buster adalah peran yang sangat langka di masyarakat. Mereka bertindak karena memiliki keberanian dan juga pengetahuan yang cukup tentang digital dan kesehatan. Peran hoax buster cukup diakui efektif dalam membatasi hoaks kesehatan, utamanya di grup WhatsApp.
Di masa pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, Jenny memperkirakan hoaks kesehatan masih akan terus bergulir karena kekhawatiran orang terkait kesehatan makin naik. Dia mencontohkan aneka jenis hoaks vaksin yang belakangan ini marak. Karena itu, kehadiran hoax buster di grup-grup WhatsApp diakuinya akan selalu dibutuhkan.
Batasi Anggota Grup
Fakta bahwa hoaks di grup WhatsApp sulit dikendalikan diakui pula oleh Founder Sobat Cyber Indonesia, Al Akbar Ramadillah. Menurut dia, ada beberapa platform yang tidak bisa dikendalikan karena basisnya person to person. “Pemiliknya pribadi, tidak ada pendamping yang bisa melakukan pressing kecuali diri sendiri. itu misalnya terjadi WhatsApp, Telegram dan aplikasi chat lain,” ujarnya, kemarin.
Dia menyebut maraknya hoaks di grup WhatsApp tidak terlepas dari kesalahan masyarakat dalam memahami fungsi dari media sosial yang bersifat private media. Menurut dia, social media dan private media adalah dua hal yang berbeda. Social media disebutnya alat untuk berbagi pesan kepada orang-orang secara lebih luas, sedangkan private media lebih bersifat pribadi dengan anggota yang terbatas dan kendali ada pada anggota-anggotanya. “Ini yang harus dibedakan masyarakat, termasuk perbedaan cara pakainya. Nah, pendidikan seperti ini harus diberikan ke masyarakat. Di sini pulalah pentingnya membangun literasi digital,” ujarnya.
Dia juga melihat kelemahan pada platform penyedia aplikasi. Dia mencontohkan WhatsApp yang saat ini bisa memiliki keanggotaan hingga 500 orang. Padahal, untuk percakapan keluarga atau urusan pekerjaan anggota grup cukup 50 orang saja. Banyaknya jumlah anggota berakibat pada terbukanya peluang penyebaran hoaks.
Menyadari pentingnya mengeliminasi hoaks di grup WhatsApp, Jenny yang juga dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ini secara khusus melakukan riset pada 2019 lalu. Hasil riset bertajuk Becoming a hoax buster in WhatsApp groups as an effort to limit the dissemination of misleading health information tersebut telah dipublikasi melalui sebuah jurnal pada Maret 2021.
Ternyata dari penelitiannya, dia menemukan orang-orang yang berperan sebagai hoaks buster. Ketika sebuah info benar, hoaks busters akan ikut sebarkan lagi. “Tapi kalau salah, dia akan kirim pesan lewat japri (jaringan pribadi) ke orang yang sebar info tersebut bahwa itu hoaks. Ada juga yang ngomong langsung ke grup,” paparnya.
Menurut Jenny, hoax buster adalah peran yang sangat langka di masyarakat. Mereka bertindak karena memiliki keberanian dan juga pengetahuan yang cukup tentang digital dan kesehatan. Peran hoax buster cukup diakui efektif dalam membatasi hoaks kesehatan, utamanya di grup WhatsApp.
Di masa pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, Jenny memperkirakan hoaks kesehatan masih akan terus bergulir karena kekhawatiran orang terkait kesehatan makin naik. Dia mencontohkan aneka jenis hoaks vaksin yang belakangan ini marak. Karena itu, kehadiran hoax buster di grup-grup WhatsApp diakuinya akan selalu dibutuhkan.
Batasi Anggota Grup
Fakta bahwa hoaks di grup WhatsApp sulit dikendalikan diakui pula oleh Founder Sobat Cyber Indonesia, Al Akbar Ramadillah. Menurut dia, ada beberapa platform yang tidak bisa dikendalikan karena basisnya person to person. “Pemiliknya pribadi, tidak ada pendamping yang bisa melakukan pressing kecuali diri sendiri. itu misalnya terjadi WhatsApp, Telegram dan aplikasi chat lain,” ujarnya, kemarin.
Dia menyebut maraknya hoaks di grup WhatsApp tidak terlepas dari kesalahan masyarakat dalam memahami fungsi dari media sosial yang bersifat private media. Menurut dia, social media dan private media adalah dua hal yang berbeda. Social media disebutnya alat untuk berbagi pesan kepada orang-orang secara lebih luas, sedangkan private media lebih bersifat pribadi dengan anggota yang terbatas dan kendali ada pada anggota-anggotanya. “Ini yang harus dibedakan masyarakat, termasuk perbedaan cara pakainya. Nah, pendidikan seperti ini harus diberikan ke masyarakat. Di sini pulalah pentingnya membangun literasi digital,” ujarnya.
Dia juga melihat kelemahan pada platform penyedia aplikasi. Dia mencontohkan WhatsApp yang saat ini bisa memiliki keanggotaan hingga 500 orang. Padahal, untuk percakapan keluarga atau urusan pekerjaan anggota grup cukup 50 orang saja. Banyaknya jumlah anggota berakibat pada terbukanya peluang penyebaran hoaks.
tulis komentar anda