Berpotensi Muncul Kartel Perunggasan, Komisi IV DPR Awasi Kementan
Rabu, 17 Maret 2021 - 14:00 WIB
JAKARTA - Perusahaan perunggasan raksasa atau integrator dengan jaringan perusahaannya menguasai bisnis perunggasan dari hulu hingga ke hilir. Mereka menguasai pembibitan ayam indukan broiler (pedaging) Grand Parent Stock (GPS), pakan, dan bahkan bermain pada budi daya.
Pada 2019, data Kementerian Pertanian ( Kementan ) pada 2019 Indonesia mengimpor 707.000 bibit ayam GPS dengan nilai Rp415 miliar per tahun. Pada 2021, impor bibit ayam GPS mencapai 600.000 ekor.
“Yang jadi masalah adalah dua integrator atau perusahaan unggas raksasa memiliki jatah hingga 60 persen, yang mereka salurkan kepada jaringan mereka. Sementara peternak mandiri sulit mendapatkannya,” ujar Ketua Forum Komunikasi Pembibitan Indonesia (FKPI), Noufal Hadi dalam keterangannya, Rabu (17/3/2021).
Kuota impor GPS yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) tersebut, menerapkan sistem skor. Integrator dan peternak mandiri memperoleh jatah GPS sesuai dengan skor mereka.
“Inilah yang jadi soal, ada peternak pembibitan UMK yang skornya baik malah dikurangi lebih banyak, sementara kuota integrator tetap banyak. Padahal dua perusahaan besar integrator menyalurkan 80 persen Day Old Chicken (DOC) ke anak-anak perusahaan atau jaringan mereka. Para peternak mandiri kesulitan membeli doc dari mereka,” jelasnya.
Akibatnya, para peternak tidak bisa mendapatkan bibit ayam berkualitas atau kualitas satu. Sementara, bila membeli DOC kualitas dua, biaya produksi bakal meningkat yang mengakibatkan kerugian peternak. Ini yang harusnya mendorong pemerintah memberi kuota GPS kepada pembibit UMK karena dari mereka, peternak UMKM mendapat DOC.
Menurut Noufal, para peternak yang bergerak di bidang pembibitan merasa ada ketidakadilan dalam pembagian jatah kuota impor GPS. “Charoen Pokphand Indonesia dan Japfa mendapatkan kuota sebanyak 64 persen sementara 36 persen sisanya dibagi kepada 17 perusahaan,” imbuh Naufal. Hal ini bisa memicu praktik monopoli dalam penentuan harga DOC (bibit ayam).
FKPI menurutnya menuntut transparansi dari pelaksanaan surat Dirjen PKH nomor B-15002/PK.010/F2.5/12/2020 tertanggal 15 Desember 2020, “Mohon pihak Kementan bisa transparan, karena kami mendapat informasi peternak pembibit GPS kecil dan menengah justru mengalami pemangkasan kuota antara 50 hingga 60 persen,” kata Naufal.
Mewakili para peternak pembibitan kecil dan sedang, FKPI mengharapkan ada peninjauan ulang terkait keputusan jumlah kuota GPS sehingga bisa mencukupi kebutuhan DOC atau bibit anak ayam bagi peternak Usaha Mikro Kecil (UKM) dan Menengah (UMKM).
Pada 2019, data Kementerian Pertanian ( Kementan ) pada 2019 Indonesia mengimpor 707.000 bibit ayam GPS dengan nilai Rp415 miliar per tahun. Pada 2021, impor bibit ayam GPS mencapai 600.000 ekor.
“Yang jadi masalah adalah dua integrator atau perusahaan unggas raksasa memiliki jatah hingga 60 persen, yang mereka salurkan kepada jaringan mereka. Sementara peternak mandiri sulit mendapatkannya,” ujar Ketua Forum Komunikasi Pembibitan Indonesia (FKPI), Noufal Hadi dalam keterangannya, Rabu (17/3/2021).
Kuota impor GPS yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) tersebut, menerapkan sistem skor. Integrator dan peternak mandiri memperoleh jatah GPS sesuai dengan skor mereka.
“Inilah yang jadi soal, ada peternak pembibitan UMK yang skornya baik malah dikurangi lebih banyak, sementara kuota integrator tetap banyak. Padahal dua perusahaan besar integrator menyalurkan 80 persen Day Old Chicken (DOC) ke anak-anak perusahaan atau jaringan mereka. Para peternak mandiri kesulitan membeli doc dari mereka,” jelasnya.
Akibatnya, para peternak tidak bisa mendapatkan bibit ayam berkualitas atau kualitas satu. Sementara, bila membeli DOC kualitas dua, biaya produksi bakal meningkat yang mengakibatkan kerugian peternak. Ini yang harusnya mendorong pemerintah memberi kuota GPS kepada pembibit UMK karena dari mereka, peternak UMKM mendapat DOC.
Menurut Noufal, para peternak yang bergerak di bidang pembibitan merasa ada ketidakadilan dalam pembagian jatah kuota impor GPS. “Charoen Pokphand Indonesia dan Japfa mendapatkan kuota sebanyak 64 persen sementara 36 persen sisanya dibagi kepada 17 perusahaan,” imbuh Naufal. Hal ini bisa memicu praktik monopoli dalam penentuan harga DOC (bibit ayam).
FKPI menurutnya menuntut transparansi dari pelaksanaan surat Dirjen PKH nomor B-15002/PK.010/F2.5/12/2020 tertanggal 15 Desember 2020, “Mohon pihak Kementan bisa transparan, karena kami mendapat informasi peternak pembibit GPS kecil dan menengah justru mengalami pemangkasan kuota antara 50 hingga 60 persen,” kata Naufal.
Mewakili para peternak pembibitan kecil dan sedang, FKPI mengharapkan ada peninjauan ulang terkait keputusan jumlah kuota GPS sehingga bisa mencukupi kebutuhan DOC atau bibit anak ayam bagi peternak Usaha Mikro Kecil (UKM) dan Menengah (UMKM).
Lihat Juga :
tulis komentar anda