Unrealized Loss, Bagian Risiko Investasi Wajar

Senin, 15 Maret 2021 - 06:34 WIB
Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham.

Bukan tak mungkin ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Hal ini bisa dilihat dari naik turunnya potential loss itu sangat tergantung pada pergerakan IHSG. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham, namun yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar—dan hal itu yang menjadi portofolio saham BPJS-TK.

Untuk portofolio reksa dana, dari data yang ada, investasi di reksa dana berada pada level 8,1% pada akhir 2020. Kisarannya selama 5 tahun terakhir berada pada level 7-9%. Prinsip diversifikasi telah dijalankan dan tetap memenuhi aturan, yaitu maksimum 50% dari total porsi dana dan maksimum 15% untuk satu manajer investasi. Proses dan underlying produk reksa dana ini jelas dan berbeda dengan yang terjadi di Jiwasraya.

Ada reksa dana yang di dalamnya BPJS-TK menjadi mayoritas dan investor tunggal. Hal ini bisa terjadi—jika ternyata pengelola dana telah menawarkan reksa dana secara penawaran umum dan tetap menghasilkan sedikit investor, atau bahkan investor tunggal. Hal ini bisa jadi juga karena fee yang ditetapkan oleh BPJS-TK hanya 1%--karena wajar saja portofolionya besar (economies of scale). Sementara di pasar pada umumnya reksa dana mengenakan fee 2-4%.

Situasi ini secara alami bisa terjadi karena tingkat penetrasi finansial dalam perekonomian Indonesia masih relatif rendah di bawah rata-rata ASEAN. Ukuran penetrasi itu biasanya diukur dengan kedalaman finansial yang menggunakan rasio monetisasi dan/atau rasio intermediasi.

Berbeda dengan Kasus Jiwasraya

Temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, seperti diungkap ke media, termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid, dan mempunyai kapitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang menyebutnya sebagai saham-saham “gorengan”. Jelas hal ini berbeda, meski tampak sama. Banyak perbedaan riil antara kerugian Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss seperti di BPJS-TK. Hal yang mendasar terjadi, seperti persyaratan pemilihan manajer investasi. Di BPJS-TK sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar.

Lebih lanjut lagi ada perbedaan dari sisi alokasi aset. Misalnya porsi saham dan reksa dana di Jiwasraya lebih dari 91% (31 Desember 2019), sementara di BPJK TK pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56% untuk porsi saham dan reksa dana. Dari data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di antara keduanya. Kondisi makin nyata ketika menengok portofolio saham Jiwasraya dengan BPJS-TK.

Seperti diulas sebelumnya, portofolio saham BPJS-TK termasuk saham kualitas bagus, likuid, dan kapitalisasinya besar. Pendek kata, saham blue chip berfundamental bagus sehingga berbeda dengan portofolio saham Jiwasraya pada umumnya.

Dari sisi likuiditas perbedaan juga mencolok. Kondisi likuiditas BPJS-TK masih likuid—pembayaran klaim masih lancar dan tidak ada gagal bayar seperti yang terjadi di Jiwasraya. Jadi, faktanya, unrealized loss berbeda jauh alias tidak sama dibandingkan kasus Jiwasraya. Tambahan pula, selama lima tahun terakhir BPJS-TK sudah membukukan keuntungan realized sebesar Rp137 triliun dan Rp33 triliun di antaranya dari saham dan reksa dana.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More