Buku Putih Bukti Pelanggaran HAM Kasus KM 50 Dirilis Sebelum Bulan Puasa
Kamis, 11 Maret 2021 - 15:12 WIB
Maka dari itu, untuk mengkategorikan ini pelanggaran HAM berat atau biasa, kata Marwan, ini sangat kritis. "Makanya kita berharap Komnas HAM itu sebagai lembaga independen yang mewakili seluruh rakyat dan bukan berada dibawah pemerintah itu kajiannya itu objektif jangan subjektif apalagi dibawah kendali pemerintah," jelasnya.
Untuk itu, TP3 sempat berdebat atau adu argumen dengan Komnas HAM tentang fakta-fakta yang dimiliki katanya puluhan ribu video, hingga percakapan audio dan fakta-fakta, baik dari FPI, polisi, dan Jasa Marga.
"Saya katakan, Anda (Ketua Tim Penyilidik Komnas HAM Khoirul Anam), boleh punya fakta katanya puluhan ribu video ada percakapan audio, ada fakta-fakta dari polisi dari FPI dari Jasa marga dan seterusnya, atau dua kali lipat pun tidak ada artinya. Yang terpenting itu objektifitas, independensi, dan mengacu kepada UU yang kaitannya kepada pengadilan HAM yaitu Nomor 26 Tahun 2000," katanya.
Sekarang, kata Marwan, Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan malah menggunakan UU Nomor 39 tahun 1999 yang katanya bermasalah. "Sebetulnya sudah memenuhi unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan dalam UU yaitu TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif), bahkan bisa saja salah satu dan salah dua. Terjadi di lapangan itu memang sistematis, misalnya dari foto-foto korban enam jenazah yang dikubur itu, kembali saya ulang-ulang ada perlakuan yang sistemik oleh aparat negara," jelasnya.
Kemudian, terkait dengan penguntitan yang dilakukan oleh aparat negara. Menurutnya hal itu yang disebut terstruktur. "Awalnya oleh yang dikuntit tidak tahu kalau itu polisi, mereka tidak pakai tanda pengenal, pakaian dinas, nomor polisi, tidak bilang saya polisi juga kan. Sehingga bisa saja dari yang dikuntit atau laskar termasuk Habib Rizieq ini jangan-jangan begal atau apalah perampok," katanya.
Maka dari itu, dari peristiwa KM 50 ini sudah jelas ada penguntitan sejak dua tiga hari sebelum kejadian. "Mereka memonitor di Megamendung, Bogor. Bahkan ada yang tertangkap dan terakhir itu mereka mengungit Habib Rizieq itu jumlah mobilnya lebih dari satu dan ada Land Cruiser yang jumlahnya lebih dari dua. Ini juga tidak jelas siapa," katanya.
Menurutnya, jika dilihat dari para penguntit ini maka bisa dikatakan ini sesuatu kasus pembunuhan yang sistemik. "Dari jenazah itu ditemukan ada bekas-bekas penyiksaan, mulai dari kepala dan di sekitar kemaluan, itu jelas sekali bekas disiksa, dan di bagian dada sebelah kiri selalu ada bekas peluru minimal satu, ada yang dapat dua dan tiga," katanya.
Data atau fakta-fakta tersebut dipegang oleh Komnas HAM, tapi dianggap bukan pelanggaran HAM berat. "Kalau mereka (Komnas HAM) mengatakan mereka punya data termasuk dari FPI dan dari mana-mana, yang jadi masalahnya data dan fakta itu mereka pakai tidak untuk mengambil keputusan," paparnya.
Pertemuan dengan Presiden Jokowi
Untuk itu, TP3 sempat berdebat atau adu argumen dengan Komnas HAM tentang fakta-fakta yang dimiliki katanya puluhan ribu video, hingga percakapan audio dan fakta-fakta, baik dari FPI, polisi, dan Jasa Marga.
"Saya katakan, Anda (Ketua Tim Penyilidik Komnas HAM Khoirul Anam), boleh punya fakta katanya puluhan ribu video ada percakapan audio, ada fakta-fakta dari polisi dari FPI dari Jasa marga dan seterusnya, atau dua kali lipat pun tidak ada artinya. Yang terpenting itu objektifitas, independensi, dan mengacu kepada UU yang kaitannya kepada pengadilan HAM yaitu Nomor 26 Tahun 2000," katanya.
Sekarang, kata Marwan, Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan malah menggunakan UU Nomor 39 tahun 1999 yang katanya bermasalah. "Sebetulnya sudah memenuhi unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan dalam UU yaitu TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif), bahkan bisa saja salah satu dan salah dua. Terjadi di lapangan itu memang sistematis, misalnya dari foto-foto korban enam jenazah yang dikubur itu, kembali saya ulang-ulang ada perlakuan yang sistemik oleh aparat negara," jelasnya.
Kemudian, terkait dengan penguntitan yang dilakukan oleh aparat negara. Menurutnya hal itu yang disebut terstruktur. "Awalnya oleh yang dikuntit tidak tahu kalau itu polisi, mereka tidak pakai tanda pengenal, pakaian dinas, nomor polisi, tidak bilang saya polisi juga kan. Sehingga bisa saja dari yang dikuntit atau laskar termasuk Habib Rizieq ini jangan-jangan begal atau apalah perampok," katanya.
Maka dari itu, dari peristiwa KM 50 ini sudah jelas ada penguntitan sejak dua tiga hari sebelum kejadian. "Mereka memonitor di Megamendung, Bogor. Bahkan ada yang tertangkap dan terakhir itu mereka mengungit Habib Rizieq itu jumlah mobilnya lebih dari satu dan ada Land Cruiser yang jumlahnya lebih dari dua. Ini juga tidak jelas siapa," katanya.
Menurutnya, jika dilihat dari para penguntit ini maka bisa dikatakan ini sesuatu kasus pembunuhan yang sistemik. "Dari jenazah itu ditemukan ada bekas-bekas penyiksaan, mulai dari kepala dan di sekitar kemaluan, itu jelas sekali bekas disiksa, dan di bagian dada sebelah kiri selalu ada bekas peluru minimal satu, ada yang dapat dua dan tiga," katanya.
Data atau fakta-fakta tersebut dipegang oleh Komnas HAM, tapi dianggap bukan pelanggaran HAM berat. "Kalau mereka (Komnas HAM) mengatakan mereka punya data termasuk dari FPI dan dari mana-mana, yang jadi masalahnya data dan fakta itu mereka pakai tidak untuk mengambil keputusan," paparnya.
Pertemuan dengan Presiden Jokowi
tulis komentar anda