1 Tahun Covid-19: Benarkah Pandemi Segera Berakhir?
Rabu, 03 Maret 2021 - 06:05 WIB
Dengan jumlah tes yang tidak stabil, terendah dari semua negara pemuncak jumlah kasus saat ini, positivity rate (yang terkonfirmasi positif di antara yang dites) dan jumlah kematian kita konsisten tinggi. Positivity rate Indonesia pada Januari 27% dan Februari 2021 sebesar 25%, jauh di atas batas WHO 5%. Saat ini, jumlah kasus harian Indonesia menempati empat teratas Asia, di bawah India, Turki, dan Iran. Angka kasus juga berkontribusi lebih dari setengah kejadian di ASEAN. Sementara angka kematian harian Indonesia adalah yang tertinggi di Asia dan menyumbang lebih dari dua pertiga kejadian di Asia Tenggara.
Penanganan Pagebluk di Tanah Air
Keberhasilan penanggulangan pandemi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro mesti dilihat lebih cermat dan hati-hati. Klaim kemenangan jangan disampaikan terlalu cepat. Indikator epidemiologi di atas, termasuk tren kasus, kematian, dan positivity rate lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling kewalahan membendung laju pandemi Covid-19.
Merujuk kepada peringkat ketahanan Covid-19 dari Bloomberg akhir Februari 2021, Indonesia berada di kelompok paling bawah (peringkat 48 dari 53 negara) bersama Republik Ceko dan negara berkembang lain dari Benua Afrika dan Amerika Latin seperti Nigeria, Brasil, Peru, dan Meksiko. Survei menggunakan 11 kriteria, termasuk di antaranya jumlah kasus, case fatality rate (CFR), kapasitas pengujian, layanan kesehatan, distribusi vaksin, dampak ekonomi, dan mobilitas penduduk.
Setali tiga uang, Indonesia juga berada di urutan 85 dari 98 negara dalam survei kinerja penanganan pandemi. Survei dilakukan pada Januari 2021 oleh Lowy Institute yang berbasis di Sydney.
Melandaikan Kurva dan Menekan CFR
Di luar persoalan efektivitas PPKM dan kepatuhan perilaku dari penduduk, tokoh masyarakat, serta pemimpin, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi dalam penanganan pandemi. Under estimasi data, sinkronisasi pencatatan-pelaporan, sistem surveilans (tes, tracing, dan isolasi), kualitas layanan, peran layanan primer, rujukan terintegrasi, dan koordinasi antarsektor, sangat krusial untuk dibenahi. Setahun pandemi, integrasi dan sinkronisasi data pusat dan daerah masih menjadi perkara yang tak kunjung usai.
Kapasitas testing mingguan kita tidak memenuhi standar WHO 1/1.000 penduduk per minggu sehingga harus ditingkatkan. Mengacu kepada ourworldindata.org pada awal Februari 2021, tes Indonesia (0,12) termasuk yang paling rendah. Berada di bawah Argentina (0,85), Iran (0,65), Peru (0,54), India (0,49), dan Meksiko (0,22).
Indonesia masih memerlukan sekitar 65.000 tenaga tracer untuk memaksimalkan pelacakan. Saat ini baru tersedia 10.166 tenaga surveilans di puskesmas dan 5.877 pelacak baru yang mesti bekerja di 514 kabupaten/kota. Penataan contact tracing mesti memperhatikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), protokol, teknologi, training, dan koordinasi/komunikasi antarsektor.
Konsistensi dan strategi pengendalian penyakit menular dari beberapa negara bisa ditiru. Sebelum pandemi, Vietnam telah mengefektifkan konsep pengendalian penyakit menular seperti contact tracing, testing, dan isolasi. Tenaga surveilans di Singapura sudah bekerja bertahun-tahun, termasuk memeriksa jentik nyamuk di setiap perkantoran dan kediaman warga. Sistem dibangun jauh sebelum teknologi ada. Keunggulan Jepang dalam memaksimalkan pelacakan klaster dan tingginya kedisiplinan serta konsistensi perilaku penduduk maupun pemimpinnya, membuat Jepang sukses menahan laju kasus dan kematian akibat Covid-19 tanpa lockdown. Beberapa prediksi media Barat yang memperkirakan bahwa Jepang akan mengalami kolaps karena lonjakan kasus dan kematian, tidak terbukti hingga hari ini. Di Jepang terdapat 469 public health centre yang bekerja penuh dedikasi mengorganisasikan 36.327 tracer, jumlah yang ideal berdasarkan syarat WHO. Kombinasi sistem surveilans yang baik, teknologi, perilaku masyarakat, dan respons cepat pemerintah di Taiwan dan Korea, juga membuat laju kasus relatif bisa dikendalikan.
Penanganan Pagebluk di Tanah Air
Keberhasilan penanggulangan pandemi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro mesti dilihat lebih cermat dan hati-hati. Klaim kemenangan jangan disampaikan terlalu cepat. Indikator epidemiologi di atas, termasuk tren kasus, kematian, dan positivity rate lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling kewalahan membendung laju pandemi Covid-19.
Merujuk kepada peringkat ketahanan Covid-19 dari Bloomberg akhir Februari 2021, Indonesia berada di kelompok paling bawah (peringkat 48 dari 53 negara) bersama Republik Ceko dan negara berkembang lain dari Benua Afrika dan Amerika Latin seperti Nigeria, Brasil, Peru, dan Meksiko. Survei menggunakan 11 kriteria, termasuk di antaranya jumlah kasus, case fatality rate (CFR), kapasitas pengujian, layanan kesehatan, distribusi vaksin, dampak ekonomi, dan mobilitas penduduk.
Setali tiga uang, Indonesia juga berada di urutan 85 dari 98 negara dalam survei kinerja penanganan pandemi. Survei dilakukan pada Januari 2021 oleh Lowy Institute yang berbasis di Sydney.
Melandaikan Kurva dan Menekan CFR
Di luar persoalan efektivitas PPKM dan kepatuhan perilaku dari penduduk, tokoh masyarakat, serta pemimpin, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi dalam penanganan pandemi. Under estimasi data, sinkronisasi pencatatan-pelaporan, sistem surveilans (tes, tracing, dan isolasi), kualitas layanan, peran layanan primer, rujukan terintegrasi, dan koordinasi antarsektor, sangat krusial untuk dibenahi. Setahun pandemi, integrasi dan sinkronisasi data pusat dan daerah masih menjadi perkara yang tak kunjung usai.
Kapasitas testing mingguan kita tidak memenuhi standar WHO 1/1.000 penduduk per minggu sehingga harus ditingkatkan. Mengacu kepada ourworldindata.org pada awal Februari 2021, tes Indonesia (0,12) termasuk yang paling rendah. Berada di bawah Argentina (0,85), Iran (0,65), Peru (0,54), India (0,49), dan Meksiko (0,22).
Indonesia masih memerlukan sekitar 65.000 tenaga tracer untuk memaksimalkan pelacakan. Saat ini baru tersedia 10.166 tenaga surveilans di puskesmas dan 5.877 pelacak baru yang mesti bekerja di 514 kabupaten/kota. Penataan contact tracing mesti memperhatikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), protokol, teknologi, training, dan koordinasi/komunikasi antarsektor.
Konsistensi dan strategi pengendalian penyakit menular dari beberapa negara bisa ditiru. Sebelum pandemi, Vietnam telah mengefektifkan konsep pengendalian penyakit menular seperti contact tracing, testing, dan isolasi. Tenaga surveilans di Singapura sudah bekerja bertahun-tahun, termasuk memeriksa jentik nyamuk di setiap perkantoran dan kediaman warga. Sistem dibangun jauh sebelum teknologi ada. Keunggulan Jepang dalam memaksimalkan pelacakan klaster dan tingginya kedisiplinan serta konsistensi perilaku penduduk maupun pemimpinnya, membuat Jepang sukses menahan laju kasus dan kematian akibat Covid-19 tanpa lockdown. Beberapa prediksi media Barat yang memperkirakan bahwa Jepang akan mengalami kolaps karena lonjakan kasus dan kematian, tidak terbukti hingga hari ini. Di Jepang terdapat 469 public health centre yang bekerja penuh dedikasi mengorganisasikan 36.327 tracer, jumlah yang ideal berdasarkan syarat WHO. Kombinasi sistem surveilans yang baik, teknologi, perilaku masyarakat, dan respons cepat pemerintah di Taiwan dan Korea, juga membuat laju kasus relatif bisa dikendalikan.
tulis komentar anda