DPR Bisa Revisi UU Pemilu dengan Kesampingkan UU Pilkada
Jum'at, 26 Februari 2021 - 09:10 WIB
JAKARTA - Revisi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu mestinya masih sangat terbuka untuk dilanjutkan pembahasannya di DPR. Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menganggap ini bisa dilakukan dengan mengesampingkan revisi UU Pilkada.
"Kalau revisi UU Pilkada masih dipaksakan, maka sangat mungkin tak akan cukup waktu demi memastikan Pilkada 2022 bisa terselenggara," katanya saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
(Baca: Tolak Revisi UU Pemilu, Sikap Mayoritas Fraksi di DPR Terus Dikritik)
Menurut Lucius, pembahasan RUU Pemilu yang diharapkan komprehensif tak bisa dilakukan dengan sebuah motivasi yang semata-mata untuk kepentingan pragmatis parpol yang berkepentingan langsung dengan kemenangan melalui pemilu.
Maka, pilihan mengabaikan isu pilkada dalam revisi UU Pemilu tentu akan mencegah proses pembahasan hanya terpaku pada keinginan menormalisasi Pilkada 2022 dan 2023 atau pilkada serentak 2024. "Ada banyak isu terkait UU Pemilu yang mendesak dibahas, tak hanya terkait isu krusial langganan setiap kali pembahasan RUU seperti parliamentary threshold, presidential threshold, district magnitude, konversi suara ke kursi, atau sistem pemilu," beber dia.
Lebih jauh ia melihat, isu-isu tersebut penting tetapi relevansinya lebih untuk kepentingan parpol mendapatkan suara dan kursi saja. Mungkin ada sedikit urusan dengan kepentingan rakyat, tetapi tak yakin parpol mau mendengar rakyat ketika memutuskan isu-isu tersebut.
Sehingga, Lucius memprediksi, pembicaraan yang ideal tentang isu-,isu krusial ini paling akan diakhiri dengan kompromi antar parpol. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan berakhir potensi kompromi atau transaksi. "Jadi percuma rasanya mengajukan hitungan yang ideal untuk isu-isu klasik dalam RUU Pemilu tersebut. Yang ada nanti parpol akan menyelesaikan dengan kompromi atau transaksi," jelasnya.
(Baca: Desain Pilkada 2024 Dinilai Hanya Fasilitasi Kepentingan Partai Penguasa)
Padahal, lanju dia, kepentingan publik yang perlu didorong dalam revisi UU Pemilu seharusnya lebih terkait dengan urusan-,urusan substantif, yakni bagaimana memastikan keadilan dan integritas pemilu bisa terbentuk dengan pengaturan yang detil terkait sejumlah isu seperti money politics, politik transaksional, digitalisasi pemilu yang lebih meringankan beban teknis bagi pemilih, pembenahan DPT, peran penyelenggara pemilu yang mesti diperjelas dan dipertegas agar tak menimbulkan tumbang tindih dan persaingan tak sehat. Di sini juga bisa dibicarakan kemungkinan membentuk peradilan pemilu.
Menurutnya, isu-isu terkahir di atas lebih banyak menyangkut hal-hal yang kerap dilakukan parpol dan calon presiden dan wakil presiden, sehingga mereka memilih tak mau membahasnya secara serius dan rinci. Padahal efek bagi pemilih sangat terasa jika hal tersebut mau serius dilakukan elit-elit kita di Senayan.
"Oleh karena itu revisi tetap perlu dilanjutkan oleh DPR. Tak perlu membuang rencana revisi UU Pemilu dari Daftar RUU Prioritas 2021. DPR hanya perlu bersepakat untuk mengabaikan pembahasan terkait UU Pilkada saja," tandasnya.
"Kalau revisi UU Pilkada masih dipaksakan, maka sangat mungkin tak akan cukup waktu demi memastikan Pilkada 2022 bisa terselenggara," katanya saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
(Baca: Tolak Revisi UU Pemilu, Sikap Mayoritas Fraksi di DPR Terus Dikritik)
Menurut Lucius, pembahasan RUU Pemilu yang diharapkan komprehensif tak bisa dilakukan dengan sebuah motivasi yang semata-mata untuk kepentingan pragmatis parpol yang berkepentingan langsung dengan kemenangan melalui pemilu.
Maka, pilihan mengabaikan isu pilkada dalam revisi UU Pemilu tentu akan mencegah proses pembahasan hanya terpaku pada keinginan menormalisasi Pilkada 2022 dan 2023 atau pilkada serentak 2024. "Ada banyak isu terkait UU Pemilu yang mendesak dibahas, tak hanya terkait isu krusial langganan setiap kali pembahasan RUU seperti parliamentary threshold, presidential threshold, district magnitude, konversi suara ke kursi, atau sistem pemilu," beber dia.
Lebih jauh ia melihat, isu-isu tersebut penting tetapi relevansinya lebih untuk kepentingan parpol mendapatkan suara dan kursi saja. Mungkin ada sedikit urusan dengan kepentingan rakyat, tetapi tak yakin parpol mau mendengar rakyat ketika memutuskan isu-isu tersebut.
Sehingga, Lucius memprediksi, pembicaraan yang ideal tentang isu-,isu krusial ini paling akan diakhiri dengan kompromi antar parpol. Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan berakhir potensi kompromi atau transaksi. "Jadi percuma rasanya mengajukan hitungan yang ideal untuk isu-isu klasik dalam RUU Pemilu tersebut. Yang ada nanti parpol akan menyelesaikan dengan kompromi atau transaksi," jelasnya.
(Baca: Desain Pilkada 2024 Dinilai Hanya Fasilitasi Kepentingan Partai Penguasa)
Padahal, lanju dia, kepentingan publik yang perlu didorong dalam revisi UU Pemilu seharusnya lebih terkait dengan urusan-,urusan substantif, yakni bagaimana memastikan keadilan dan integritas pemilu bisa terbentuk dengan pengaturan yang detil terkait sejumlah isu seperti money politics, politik transaksional, digitalisasi pemilu yang lebih meringankan beban teknis bagi pemilih, pembenahan DPT, peran penyelenggara pemilu yang mesti diperjelas dan dipertegas agar tak menimbulkan tumbang tindih dan persaingan tak sehat. Di sini juga bisa dibicarakan kemungkinan membentuk peradilan pemilu.
Menurutnya, isu-isu terkahir di atas lebih banyak menyangkut hal-hal yang kerap dilakukan parpol dan calon presiden dan wakil presiden, sehingga mereka memilih tak mau membahasnya secara serius dan rinci. Padahal efek bagi pemilih sangat terasa jika hal tersebut mau serius dilakukan elit-elit kita di Senayan.
"Oleh karena itu revisi tetap perlu dilanjutkan oleh DPR. Tak perlu membuang rencana revisi UU Pemilu dari Daftar RUU Prioritas 2021. DPR hanya perlu bersepakat untuk mengabaikan pembahasan terkait UU Pilkada saja," tandasnya.
(muh)
tulis komentar anda