Alasan PKS Ngotot Revisi UU Pemilu
Rabu, 24 Februari 2021 - 11:19 WIB
Surahman mengingatkan, Pj merupakan jabatan administrasi negara, bukan jabatan politik hasil dari pemilihan, jadi legitimasinya lebih rendah dibandingkan dengan kepala daerah definitif. "Maka, revisi UU Pemilu dan Pilkada merupakan sebuah keniscayaan, saat ini kita butuh pemerintahan daerah yang efektif dalam menghadapi dampak Covid-19," ujar Surahman.
Menurut Surahman, pelaksanaan pilkada yang dilaksanakan berdekatan dengan pileg dan pilpres pada tahun 2024 sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu merupakan kesalahan produk legislatif, sehingga perlu direvisi. Tapi yang harus dipahami bahwa keputusan DPR dan pemerintah saat itu, dikarenakan persepsi terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemilu serentak, berbeda dengan saat ini, di mana MK memberikan 6 alternatif pemilu serentak, tidak ada kewajiban pilkada dilakukan bersamaan waktunya.
"Menurut MK, pemilu serentak hanya mengikat untuk pilpres, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota DPD RI. Jadi sudah selayaknya UU Pemilu direvisi sesuai dengan putusan MK dan pengalaman Pemilu Serentak 2019," terangnya.
Mantan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini mengaku heran dengan sikap presiden dan partai politik yang menolak revisi UU Pemilu.
"Seharusnya kita belajar dari pengalaman Pemilu Serentak 2019. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, begitu berat bagi penyelenggara pemilu, ratusan petugas meninggal dunia akibat kelelahan, masak iya kita baru merevisi UU Pemilu setelah kejadian tersebut terulang kembali. Aneh kalau semua hal yang kita tahu akan berakibat buruk harus kita lakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman dan melakukan perbaikan," ujarnya.
Menurutnya, menambah jumlah petugas agar bisa bekerja bergantian menjadi solusi janggal. "Karena perhitungan dan rekapitulasi harus diikuti, disaksikan, dan disahkan oleh seluruh penyelenggara pemilu," tandas Surahman.
Menurut Surahman, pelaksanaan pilkada yang dilaksanakan berdekatan dengan pileg dan pilpres pada tahun 2024 sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu merupakan kesalahan produk legislatif, sehingga perlu direvisi. Tapi yang harus dipahami bahwa keputusan DPR dan pemerintah saat itu, dikarenakan persepsi terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemilu serentak, berbeda dengan saat ini, di mana MK memberikan 6 alternatif pemilu serentak, tidak ada kewajiban pilkada dilakukan bersamaan waktunya.
"Menurut MK, pemilu serentak hanya mengikat untuk pilpres, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota DPD RI. Jadi sudah selayaknya UU Pemilu direvisi sesuai dengan putusan MK dan pengalaman Pemilu Serentak 2019," terangnya.
Mantan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini mengaku heran dengan sikap presiden dan partai politik yang menolak revisi UU Pemilu.
"Seharusnya kita belajar dari pengalaman Pemilu Serentak 2019. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, begitu berat bagi penyelenggara pemilu, ratusan petugas meninggal dunia akibat kelelahan, masak iya kita baru merevisi UU Pemilu setelah kejadian tersebut terulang kembali. Aneh kalau semua hal yang kita tahu akan berakibat buruk harus kita lakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman dan melakukan perbaikan," ujarnya.
Menurutnya, menambah jumlah petugas agar bisa bekerja bergantian menjadi solusi janggal. "Karena perhitungan dan rekapitulasi harus diikuti, disaksikan, dan disahkan oleh seluruh penyelenggara pemilu," tandas Surahman.
(zik)
tulis komentar anda