Produk Halal, Antara Gaya Hidup dan Sadar Halal
Rabu, 24 Februari 2021 - 07:00 WIB
Pada sektor-sektor ini Indonesia adalah ceruk pasar halal yang masih terbuka. Berdasarkan laporan State of Global Islamic Economy Report (SGIE) 2020, Indonesia masuk barisan tiga besar negara dengan nilai investasi tertinggi untuk produk-produk halal yang mencapai USD6,3 miliar atau tumbuh 219% dari tahun sebelumnya. Belum lagi dengan keuntungan demografik, 209,1 juta jiwa penduduk muslim, Indonesia menjadi the big opportunity dalam pengembangan Industri halal.
Pangsa pasar halal food berada di kisaran Rp2.300 triliun, sementara Islamic fashion mempunyai potensi hingga Rp190 triliun. Pariwisata halal diperkirakan Rp135 triliun, potensi haji dan umrah sebesar Rp120 triliun, dan pendidikan sudah merangkak ke angka Rp40 triliun. Jadi, hanya bermain pada local market saja, sebenarnya cukup bagi Indonesia untuk memenangkan persaingan industri halal dunia.
Atmosfer industri halal makin kondusif setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang beberapa pasalnya direvisi dengan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pelaku industri yang bergerak di bidang halal kini menyadari pentingnya sertifikat dan label halal untuk menjamin kepastian kehalalan produk yang dihasilkan. Selain makanan dan minuman, kategori produk yang terkena kewajiban besertifikat halal meliputi barang dan jasa. Obat, kosmetik, produk biologi, produk kimiawi, rekayasa genetika, penyembelihan hewan, logistik, hingga barang gunaan seperti peralatan rumah tangga dan alat kesehatan, di samping transaksi perbankan maupun nonperbankan.
Industri halal memiliki peluang sangat besar untuk terus berkembang. Lebih-lebih masa pandemi Covid-19 membuat penerapan gaya hidup halal sebagai rutinitas sehari-hari menemukan relevansinya. Menjaga imunitas tubuh misalnya membuka peluang produk-produk makanan, minuman, obat, dan vaksin halal. Kebiasaan seorang muslim mandi dan mencuci tangan, berkumur-kumur dan mencuci hidungnya minimal lima kali sehari saat berwudu minimal membutuhkan sabun mandi, hand sanitizer, pasta gigi atau produk perawatan gigi, sampo, lotion, krem, tabir surya, wewangian, dan barang-barang rumah tangga. Kebiasaan baru ini kemudian memunculkan gaya hidup bersih, rapi, ramah lingkungan, peduli terhadap kesehatan pribadi yang relevan dengan prinsip gaya hidup halal.
Hikmah Covid-19 mendorong kreativitas tanpa henti. Malaysia lebih progresif menginovasi logistik halal, salah satunya produk sabun yang mengandung tanah. Seperti diketahui, menurut hukum fikih, apabila barang terkena najis mughalladhah (najis kategori berat) harus dicuci (samak) tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah (turab). Penemuan mutakhir menyebutkan bahwa dalam unsur tanah terdapat tetracycline, jenis antibiotik yang mampu membunuh bakteri dan kuman.
Inovasi itu sangat bermanfaat, terlebih bagi para muslim (dan nonmuslim) yang ingin menyamak barang namun tinggal di tempat yang sulit mendapatkan tanah, seperti apartemen dan hotel. Produk ini juga dapat digunakan mencuci gudang dan kontainer untuk mengangkut produk halal. Menurut Irwandi Jaswir, inovasi ini menjual kepraktisan untuk pemenuhan standar halal dalam sebuah rantai nilai halal (INSIGHT-KNEKS, Edisi 12/2020).
Tingginya potensi pasar produk halal, sisi lain kesadaran masyarakat akan halal sebagai industri makin membaik, geliat usaha makin besar. Industri halal menjadi new engine untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pelaku usaha dapat mengembangkan usahanya secara nyaman dan kompetitif, konsumen muslim mendapat kemudahan produk dan jasa yang tidak menyalahi akidahnya (spiritual benefit). Klop sudah.
Gaya hidup halal awalnya sebagai seni hidup keseharian, berevolusi menjadi industri yang memiliki daya tarik dan potensi besar dalam aspek bisnis. Ada empat prinsip gaya hidup halal yang relevan dengan kondisi saat ini. Prinsip syariah, orientasi kualitas, prinsip prioritas karena muslim tidak membeli atau beraktifitas yang mubazir, dan prinsip moralitas yang menjaga hak-hak konsumen. Tanpa berpretensi yang terbaik, gaya hidup halal sebagai “cara hidup” layak dipertimbangkan sebagai prioritas.
Pangsa pasar halal food berada di kisaran Rp2.300 triliun, sementara Islamic fashion mempunyai potensi hingga Rp190 triliun. Pariwisata halal diperkirakan Rp135 triliun, potensi haji dan umrah sebesar Rp120 triliun, dan pendidikan sudah merangkak ke angka Rp40 triliun. Jadi, hanya bermain pada local market saja, sebenarnya cukup bagi Indonesia untuk memenangkan persaingan industri halal dunia.
Atmosfer industri halal makin kondusif setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang beberapa pasalnya direvisi dengan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pelaku industri yang bergerak di bidang halal kini menyadari pentingnya sertifikat dan label halal untuk menjamin kepastian kehalalan produk yang dihasilkan. Selain makanan dan minuman, kategori produk yang terkena kewajiban besertifikat halal meliputi barang dan jasa. Obat, kosmetik, produk biologi, produk kimiawi, rekayasa genetika, penyembelihan hewan, logistik, hingga barang gunaan seperti peralatan rumah tangga dan alat kesehatan, di samping transaksi perbankan maupun nonperbankan.
Industri halal memiliki peluang sangat besar untuk terus berkembang. Lebih-lebih masa pandemi Covid-19 membuat penerapan gaya hidup halal sebagai rutinitas sehari-hari menemukan relevansinya. Menjaga imunitas tubuh misalnya membuka peluang produk-produk makanan, minuman, obat, dan vaksin halal. Kebiasaan seorang muslim mandi dan mencuci tangan, berkumur-kumur dan mencuci hidungnya minimal lima kali sehari saat berwudu minimal membutuhkan sabun mandi, hand sanitizer, pasta gigi atau produk perawatan gigi, sampo, lotion, krem, tabir surya, wewangian, dan barang-barang rumah tangga. Kebiasaan baru ini kemudian memunculkan gaya hidup bersih, rapi, ramah lingkungan, peduli terhadap kesehatan pribadi yang relevan dengan prinsip gaya hidup halal.
Hikmah Covid-19 mendorong kreativitas tanpa henti. Malaysia lebih progresif menginovasi logistik halal, salah satunya produk sabun yang mengandung tanah. Seperti diketahui, menurut hukum fikih, apabila barang terkena najis mughalladhah (najis kategori berat) harus dicuci (samak) tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah (turab). Penemuan mutakhir menyebutkan bahwa dalam unsur tanah terdapat tetracycline, jenis antibiotik yang mampu membunuh bakteri dan kuman.
Inovasi itu sangat bermanfaat, terlebih bagi para muslim (dan nonmuslim) yang ingin menyamak barang namun tinggal di tempat yang sulit mendapatkan tanah, seperti apartemen dan hotel. Produk ini juga dapat digunakan mencuci gudang dan kontainer untuk mengangkut produk halal. Menurut Irwandi Jaswir, inovasi ini menjual kepraktisan untuk pemenuhan standar halal dalam sebuah rantai nilai halal (INSIGHT-KNEKS, Edisi 12/2020).
Tingginya potensi pasar produk halal, sisi lain kesadaran masyarakat akan halal sebagai industri makin membaik, geliat usaha makin besar. Industri halal menjadi new engine untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pelaku usaha dapat mengembangkan usahanya secara nyaman dan kompetitif, konsumen muslim mendapat kemudahan produk dan jasa yang tidak menyalahi akidahnya (spiritual benefit). Klop sudah.
Gaya hidup halal awalnya sebagai seni hidup keseharian, berevolusi menjadi industri yang memiliki daya tarik dan potensi besar dalam aspek bisnis. Ada empat prinsip gaya hidup halal yang relevan dengan kondisi saat ini. Prinsip syariah, orientasi kualitas, prinsip prioritas karena muslim tidak membeli atau beraktifitas yang mubazir, dan prinsip moralitas yang menjaga hak-hak konsumen. Tanpa berpretensi yang terbaik, gaya hidup halal sebagai “cara hidup” layak dipertimbangkan sebagai prioritas.
(bmm)
tulis komentar anda