Produk Halal, Antara Gaya Hidup dan Sadar Halal
Rabu, 24 Februari 2021 - 07:00 WIB
Mastuki HS
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH Kementerian Agama RI
PRODUK halal telah menjadi bagian dari bisnis dunia yang nilainya sangat besar dan menjanjikan. Bukan hanya negara-negara Islam (Islamic countries) yang peduli produk halal, negara-negara “sekuler” dan minoritas muslim pun menjadikan isu halal ini sebagai competitive advantage. Jepang, misalnya, menjadi salah satu negara paling berambisi menjadi role model produk halal dunia. Pemerintah Jepang sangat gencar membangun berbagai fasilitas untuk mengembangkan bisnis produk halal. Satu kota di Jepang, yaitu Fuji, sudah mendeklarasikan diri sebagai kota halal.
Peluang bisnis makanan halal cukup menjanjikan di negara-negara minoritas muslim seperti Thailand, Selandia Baru, Korea Selatan, China, Australia, Prancis, Amerika Serikat, dan Eropa. Pasar atau konsumen halal tak melulu warga asing muslim. Pertumbuhan penduduk muslim di negara-negara tersebut turut memicu kebutuhan konsumsi halal. Sebagai gambaran, populasi muslim dunia diperkirakan mencapai 2,2 miliar jiwa pada 2030 atau 23% populasi dunia. Dari jumlah itu terbanyak berada di Asia-Pasifik, lalu Timur Tengah, Afrika Subsahara, Eropa, hingga Amerika Utara dan Latin.
Asia-Pasifik sebagai kawasan terbesar populasi muslim dunia, mencapai 62% umat Islam, menjadi pasar potensial produk halal. Tercatat Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh sebagai penyumbang terbesar populasi. Selain itu, di negara-negara minoritas muslim pasar halal tumbuh secara signifikan. Thailand jauh-jauh hari mempromosikan diri sebagai pusat pangan halal, buffer zone halal kitchen of the world. Selandia Baru menjadi negara pengekspor daging halal terbesar di dunia, menyalurkan 65% daging halal ke negara-negara nonmuslim. China menempatkan diri sebagai the highest modest (halal) clothing export, sementara Korea Selatan berobsesi menjadi destinasi wisata halal terkemuka.
Eropa sebagai kawasan populasi muslim terbesar keempat dunia juga berpeluang besar sebagai pasar produk halal. Permintaan produk halal di Eropa meningkat rerata 15% per tahun. Era Baby-Boom Du Halal yang melanda Prancis satu dasawarsa lalu, memicu pertumbuhan besar-besaran produk halal. Pasar daging menempati permintaan tertinggi di antara makanan halal lainnya di negeri yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya ini.
Pertumbuhan pasar dan produk halal dunia itu memicu gaya hidup halal yang berskala dunia atau global halal lifestyle. Pada level personal, tren gaya hidup halal ditandai makin membaiknya kesadaran halal (halal awareness) masyarakat (bukan hanya muslim) yang dipengaruhi cara pandang, prinsip, dan nilai yang dianut seseorang dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Di Indonesia, fenomena konsumen memilih makanan halal, berbelanja produk halal, mengenakan pakaian muslimah, rekreasi ke destinasi yang ramah muslim (muslim friendly), atau bertransaksi menggunakan produk-produk syariah bukan hal yang ganjil. Semua perilaku itu bisa disebut gaya hidup halal karena dilandasi kesadaran bahwa halal bukan saja karena perintah agama, tetapi baik dan berguna bagi kehidupan.
Kesadaran individual untuk berperilaku halal ini diikuti gerakan kolektif membangun kehidupan yang lebih baik dengan standar, prinsip, dan nilai yang relevan dengan tuntutan syariat Islam. Muncullah kemudian bentuk-bentuk kesalehan baru bagaimana orang Islam hidup, bekerja, bertingkah laku, mengonsumsi makanan dan minuman, mengenakan busana, perawatan tubuh, menyalurkan minat, dan bagaimana membelanjakan uang serta mengalokasikan waktunya.
Tak dinyana kesadaran ini membuka peluang baru di sektor produk halal yang meluas. Sektor pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kuliner, fashion, farmasi, personal care products, media, pariwisata, pendidikan, ibadah haji dan umrah, zakat/infak/sedekah/wakaf, hingga preferensi keuangan syariah, bahkan properti, hotel, dan rumah sakit kini bergeliat menjadi lahan bisnis halal yang menantang dan menjanjikan.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH Kementerian Agama RI
PRODUK halal telah menjadi bagian dari bisnis dunia yang nilainya sangat besar dan menjanjikan. Bukan hanya negara-negara Islam (Islamic countries) yang peduli produk halal, negara-negara “sekuler” dan minoritas muslim pun menjadikan isu halal ini sebagai competitive advantage. Jepang, misalnya, menjadi salah satu negara paling berambisi menjadi role model produk halal dunia. Pemerintah Jepang sangat gencar membangun berbagai fasilitas untuk mengembangkan bisnis produk halal. Satu kota di Jepang, yaitu Fuji, sudah mendeklarasikan diri sebagai kota halal.
Peluang bisnis makanan halal cukup menjanjikan di negara-negara minoritas muslim seperti Thailand, Selandia Baru, Korea Selatan, China, Australia, Prancis, Amerika Serikat, dan Eropa. Pasar atau konsumen halal tak melulu warga asing muslim. Pertumbuhan penduduk muslim di negara-negara tersebut turut memicu kebutuhan konsumsi halal. Sebagai gambaran, populasi muslim dunia diperkirakan mencapai 2,2 miliar jiwa pada 2030 atau 23% populasi dunia. Dari jumlah itu terbanyak berada di Asia-Pasifik, lalu Timur Tengah, Afrika Subsahara, Eropa, hingga Amerika Utara dan Latin.
Asia-Pasifik sebagai kawasan terbesar populasi muslim dunia, mencapai 62% umat Islam, menjadi pasar potensial produk halal. Tercatat Indonesia, India, Pakistan, dan Bangladesh sebagai penyumbang terbesar populasi. Selain itu, di negara-negara minoritas muslim pasar halal tumbuh secara signifikan. Thailand jauh-jauh hari mempromosikan diri sebagai pusat pangan halal, buffer zone halal kitchen of the world. Selandia Baru menjadi negara pengekspor daging halal terbesar di dunia, menyalurkan 65% daging halal ke negara-negara nonmuslim. China menempatkan diri sebagai the highest modest (halal) clothing export, sementara Korea Selatan berobsesi menjadi destinasi wisata halal terkemuka.
Eropa sebagai kawasan populasi muslim terbesar keempat dunia juga berpeluang besar sebagai pasar produk halal. Permintaan produk halal di Eropa meningkat rerata 15% per tahun. Era Baby-Boom Du Halal yang melanda Prancis satu dasawarsa lalu, memicu pertumbuhan besar-besaran produk halal. Pasar daging menempati permintaan tertinggi di antara makanan halal lainnya di negeri yang terkenal dengan Menara Eiffel-nya ini.
Pertumbuhan pasar dan produk halal dunia itu memicu gaya hidup halal yang berskala dunia atau global halal lifestyle. Pada level personal, tren gaya hidup halal ditandai makin membaiknya kesadaran halal (halal awareness) masyarakat (bukan hanya muslim) yang dipengaruhi cara pandang, prinsip, dan nilai yang dianut seseorang dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Di Indonesia, fenomena konsumen memilih makanan halal, berbelanja produk halal, mengenakan pakaian muslimah, rekreasi ke destinasi yang ramah muslim (muslim friendly), atau bertransaksi menggunakan produk-produk syariah bukan hal yang ganjil. Semua perilaku itu bisa disebut gaya hidup halal karena dilandasi kesadaran bahwa halal bukan saja karena perintah agama, tetapi baik dan berguna bagi kehidupan.
Kesadaran individual untuk berperilaku halal ini diikuti gerakan kolektif membangun kehidupan yang lebih baik dengan standar, prinsip, dan nilai yang relevan dengan tuntutan syariat Islam. Muncullah kemudian bentuk-bentuk kesalehan baru bagaimana orang Islam hidup, bekerja, bertingkah laku, mengonsumsi makanan dan minuman, mengenakan busana, perawatan tubuh, menyalurkan minat, dan bagaimana membelanjakan uang serta mengalokasikan waktunya.
Tak dinyana kesadaran ini membuka peluang baru di sektor produk halal yang meluas. Sektor pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kuliner, fashion, farmasi, personal care products, media, pariwisata, pendidikan, ibadah haji dan umrah, zakat/infak/sedekah/wakaf, hingga preferensi keuangan syariah, bahkan properti, hotel, dan rumah sakit kini bergeliat menjadi lahan bisnis halal yang menantang dan menjanjikan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda