Pembenahan SDM BPN Kunci Atasi Masalah Pertanahan
Kamis, 18 Februari 2021 - 19:35 WIB
JAKARTA - DPR tidak yakin sengketa pertanahan akan selesai begitu sertifikat tanah elektronik diterapkan. Kunci penyelesaian masalah pertanahan dinilai justru terletak pada pembenahan sumber daya manusia (SDM) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) itu sendiri.
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengaku heran Menteri ATR/BPN hanya beralasan program digitalisasi pertanahan ini demi meminimalisasi kebocoran sertifikat ganda serta pembenahan akurasi batas tanah.
Menurut dia, yang harusnya menjadi prioritas adalah pembenahan sumber daya manusia (SDM) “Saya tidak percaya masalah pertanahan akan selesai,” katanya kepada wartawan, Kamis (18/2).
Dia mengatakan semestinya upaya digitalisasi dikhususkan dulu untuk internal BPN. Sebatas memastikan data kementerian satu data. “Ketika ada kasus sertifikat ganda, bisa ketahuan mana yang bukan produk BPN. itu saja,” ujarnya.
Menurut dia, Komisi II akan menjadwaIkan memanggil Kementerian ATR/BPN untuk mempertanyakan penerapan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik ini. “Apa tujuannya? Kalau cuma memenuhi UU Omnibus Law tidak harus,” katanya.
Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, khawatir sertifikat tanah elektronik akan semakin melanggengkan perampasan wilayah adat. Terlebih, sejauh ini, belum ada sertifikat tanah kolektif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adat.
“Concern kami adalah ketika ini akan dijadikan alat memperluas dan merampas hak wilayah adat untuk perusahaan,” ujar Rukka.
Dia mempertanyakan urgensi penerapan sertifikat tanah elektronik saat ini. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan dahulu konflik-konflik pertanahan sebelum bicara soal sertifikat elektronik.
“Ini bisa sangat mengancam dan membuat masif perampasan tanah adat oleh korporasi dan individu yang masuk mengkavling-kavlingkan wilayah adat," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengaku heran Menteri ATR/BPN hanya beralasan program digitalisasi pertanahan ini demi meminimalisasi kebocoran sertifikat ganda serta pembenahan akurasi batas tanah.
Menurut dia, yang harusnya menjadi prioritas adalah pembenahan sumber daya manusia (SDM) “Saya tidak percaya masalah pertanahan akan selesai,” katanya kepada wartawan, Kamis (18/2).
Dia mengatakan semestinya upaya digitalisasi dikhususkan dulu untuk internal BPN. Sebatas memastikan data kementerian satu data. “Ketika ada kasus sertifikat ganda, bisa ketahuan mana yang bukan produk BPN. itu saja,” ujarnya.
Menurut dia, Komisi II akan menjadwaIkan memanggil Kementerian ATR/BPN untuk mempertanyakan penerapan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik ini. “Apa tujuannya? Kalau cuma memenuhi UU Omnibus Law tidak harus,” katanya.
Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, khawatir sertifikat tanah elektronik akan semakin melanggengkan perampasan wilayah adat. Terlebih, sejauh ini, belum ada sertifikat tanah kolektif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adat.
“Concern kami adalah ketika ini akan dijadikan alat memperluas dan merampas hak wilayah adat untuk perusahaan,” ujar Rukka.
Dia mempertanyakan urgensi penerapan sertifikat tanah elektronik saat ini. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan dahulu konflik-konflik pertanahan sebelum bicara soal sertifikat elektronik.
“Ini bisa sangat mengancam dan membuat masif perampasan tanah adat oleh korporasi dan individu yang masuk mengkavling-kavlingkan wilayah adat," ujarnya.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda