Epistemologi Seputar Covid-19: Menakar Sumber Informasi
Senin, 18 Mei 2020 - 08:02 WIB
Permasalahannya kemudian, bagaimana kita menyikapi post truth dan cybernomic seputar pandemi Covid-19. Kuncinya adalah kita harus menakar kredibilitas sumber informasinya, bukan menilai informasi yang disebarkan. Menakar kredibilitas sumber informasi ”apakah ia memang ahli yang kredibel atau bukan” merupakan kajian expertology yang dikembangkan oleh Walton pada 1997. Enam kriteria dalam menakar ”apakah seseorang dapat dipercaya sebagai ahli atau sumber informasi”(Walton, 1997), yaitu: pertama seberapa kredibel ahli tersebut merupakan ahli?, kedua, apakah ahli tersebut merupakan ahli dalam bidang tersebut?, ketiga, apa pernyataan ahli tentang hal yang dipertanyakan?, ketiga, apakah secara personal ahli tersebut merupakan nara-ahli yang reliabel?, keempat, apakah pernyataan ahli tersebut konsisten dengan pernyataan ahli yang lain?, kelima, apakah pernyataan ahli tersebut berdasarkan pada bukti ilmiah? (Baca juga: Polisi Tetapkan 22 Tersangka Penyebaran Hoaks Virus Corona)
Selaras dengan itu, Goldman (2001) memberikan lima kriteria dalam menilai keahlian seseorang. Pertama, apa argumen-argumen yang diberikan oleh ahli-ahli lain yang berbeda pendapatnya?, kedua, bagaimana sesungguhnya kesepakatan dari ahli-ahli lain?, ketiga, bagaimana penilaian keterangan ahli oleh ahli-ahli lain?, keempat, apakah terdapat bukti-bukti kepentingan dan bias ahli, misal honor yang diperoleh, popularitas yang diharapkan?, dan kelima, bagaimana rekam jejak masa lalu dari ahli tersebut?
Dengan demikian, dalam menakar ”apakah suatu informasi adalah benar atau tidak”, yang dilakukan adalah menilai sumber informasinya (ad hominem) bukan informasinya(ad rem), karena atribusi yang diterakan kepada sumber informasinya/ahli (ad hominem) berpengaruh pada kredibilitas ahli tersebut. Selanjutnya, bila ad hominem positif, maka ahli tersebut kredibel, sedangkan bila ad hominem negatif maka ahli tersebut kurang atau tidak kredibel (Dahkman et al, 2011).
Keterangan ahli bidang ilmu tertentu yang tidak dipelajari oleh sarjana hukum sangat diperlukan dalam proses peradilan. Bila ahli yang dimintai keterangan tidak kredibel, maka kehadiran ahli tersebut di persidangan tidak membuat terang perkara, tetapi membuat gelap perkara karena dipilih bukan karena hakikat keahliannya, tetapi karena popularitasnya. Hal ini pernah, untuk tidak mengatakan sering, terjadi dalam persidangan.
Menilai kredibilitas narasumber juga berlaku bagi media massa. Kemampuan menakar ad hominem tersebut sangat diperlukan oleh awak media, karena bila narasumber yang dijadikan sumber informasi tidak kredibel maka media tersebut telah ikut serta menyebarkan informasi tidak benar. Dalam kajian newsmaking criminology¸ ditengarai bahwa banyak media massa yang tidak menyebarkan berita secara objektif. Berita dinilai sebagai komoditas, dan akhirnya yang terjadi adalah bisnis infotaintment.
Orang awam dalam kehidupan sehari-hari sering sangat mudah percaya kepada sumber-sumber informasi yang belum tentu kredibel. Mereka percaya kepada tokoh politik, bukan karena keahliannya di bidang tertentu; mereka percaya karena persamaan sentimen politiknya. Orang mudah percaya kepada selebritas karena setiap hari muncul di media massa, dijadikan idola, dijadikan public figure, padahal dia ditokohkan oleh produsen agar produknya disukai konsumen. (Baca juga: Awas Hoaks Virus Corona, Polri Minta Masyarakat Tak Asal Share)
Orang mengiklankan komoditas dilengkapi dengan kesaksian, padahal secara epistemologis kesaksian saja tidak cukup untuk menakar kebenaran. Orang mudah percaya kepada guru karena otoritasnya, padahal banyak guru yang tidak besertifikat guru. Orang percaya kepada seorang tokoh agama, bukan karena kepakarannya, tetap karena popularitasnya, dst. Kalau kita ingin ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mari kita belajar mencerna informasi secara kritis, ditakar ”apakah sumber informasinya kredibel atau tidak”.
Selaras dengan itu, Goldman (2001) memberikan lima kriteria dalam menilai keahlian seseorang. Pertama, apa argumen-argumen yang diberikan oleh ahli-ahli lain yang berbeda pendapatnya?, kedua, bagaimana sesungguhnya kesepakatan dari ahli-ahli lain?, ketiga, bagaimana penilaian keterangan ahli oleh ahli-ahli lain?, keempat, apakah terdapat bukti-bukti kepentingan dan bias ahli, misal honor yang diperoleh, popularitas yang diharapkan?, dan kelima, bagaimana rekam jejak masa lalu dari ahli tersebut?
Dengan demikian, dalam menakar ”apakah suatu informasi adalah benar atau tidak”, yang dilakukan adalah menilai sumber informasinya (ad hominem) bukan informasinya(ad rem), karena atribusi yang diterakan kepada sumber informasinya/ahli (ad hominem) berpengaruh pada kredibilitas ahli tersebut. Selanjutnya, bila ad hominem positif, maka ahli tersebut kredibel, sedangkan bila ad hominem negatif maka ahli tersebut kurang atau tidak kredibel (Dahkman et al, 2011).
Keterangan ahli bidang ilmu tertentu yang tidak dipelajari oleh sarjana hukum sangat diperlukan dalam proses peradilan. Bila ahli yang dimintai keterangan tidak kredibel, maka kehadiran ahli tersebut di persidangan tidak membuat terang perkara, tetapi membuat gelap perkara karena dipilih bukan karena hakikat keahliannya, tetapi karena popularitasnya. Hal ini pernah, untuk tidak mengatakan sering, terjadi dalam persidangan.
Menilai kredibilitas narasumber juga berlaku bagi media massa. Kemampuan menakar ad hominem tersebut sangat diperlukan oleh awak media, karena bila narasumber yang dijadikan sumber informasi tidak kredibel maka media tersebut telah ikut serta menyebarkan informasi tidak benar. Dalam kajian newsmaking criminology¸ ditengarai bahwa banyak media massa yang tidak menyebarkan berita secara objektif. Berita dinilai sebagai komoditas, dan akhirnya yang terjadi adalah bisnis infotaintment.
Orang awam dalam kehidupan sehari-hari sering sangat mudah percaya kepada sumber-sumber informasi yang belum tentu kredibel. Mereka percaya kepada tokoh politik, bukan karena keahliannya di bidang tertentu; mereka percaya karena persamaan sentimen politiknya. Orang mudah percaya kepada selebritas karena setiap hari muncul di media massa, dijadikan idola, dijadikan public figure, padahal dia ditokohkan oleh produsen agar produknya disukai konsumen. (Baca juga: Awas Hoaks Virus Corona, Polri Minta Masyarakat Tak Asal Share)
Orang mengiklankan komoditas dilengkapi dengan kesaksian, padahal secara epistemologis kesaksian saja tidak cukup untuk menakar kebenaran. Orang mudah percaya kepada guru karena otoritasnya, padahal banyak guru yang tidak besertifikat guru. Orang percaya kepada seorang tokoh agama, bukan karena kepakarannya, tetap karena popularitasnya, dst. Kalau kita ingin ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mari kita belajar mencerna informasi secara kritis, ditakar ”apakah sumber informasinya kredibel atau tidak”.
(ysw)
tulis komentar anda