Covid-19 Melonjak, 'Stunting' Meningkat
Rabu, 17 Februari 2021 - 06:16 WIB
Stunting diawali ketika janin dalam kandungan. Bila bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan kurang dari 48 cm, maka bayi tersebut dikatakan stunting, dan ini bisa terjadi karena ibu hamil mengalami kurang energi kronis (KEK) dan kekurangan gizi lainnya sehingga pertumbuhan janin tidak optimal. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan disrupsi kehidupan ekonomi keluarga menyebabkan ibu hamil terutama dari kelompok miskin mengalami defisiensi gizi.
Dalam masa pertumbuhannya, anak usia di bawah dua tahun (baduta) baik yang lahir normal maupun yang lahir stunting dapat mengalami problem stunting dalam rentang dua tahun awal kehidupannya. Biasanya pola asuh yang buruk dan pola makan anak yang tidak memenuhi syarat gizi menjadi pemicu munculnya stunting. Apabila dalam periode usia dua tahun pertama ini anak mengalami stunting, maka ada kemungkinan perkembangan otak terganggu sehingga anak mengalami problem kognitif. Ini yang sangat dikhawatirkan pemerintah karena bonus demografi tidak akan menghasilkan keuntungan apa-apa bila sumber daya manusianya dibangun dari generasi yang sejak awal menderita stunting.
Pertumbuhan fisik anak stunting mungkin dapat pulih karena anak bertumbuh tinggi badannya hingga usia 18 tahun. Namun, perkembangan kognitif yang terganggu saat anak usia dua tahun akan sulit dipulihkan. Sebab itu, intervensi bagi anak penderita stunting yang harus dilakukan pemerintah adalah pemberian makanan bergizi (telur, susu, kacang hijau, cukup pangan sumber karbohidrat) dan harus dibarengi intervensi psikososial untuk mengejar ketertinggalan perkembangan otaknya.
Stunting adalah problem konsumsi pangan. Pangan berkualitas (hewani) konotasinya masih mahal di mata masyarakat. Saat ini konsumsi susu masyarakat Indonesia masih sangat rendah di kalangan bangsa-bangsa ASEAN. Kurang gizi kronis (stunting) terjadi akibat masyarakat miskin tidak dapat mengakses pangan bergizi seperti susu, telur, daging, dan ikan. Harga daging sapi yang baru-baru ini melonjak membuat masyarakat semakin sulit mengonsumsi daging.
Indonesia hanya unggul dalam konsumsi beras karena masyarakatnya doyan makan nasi. Sementara untuk konsumsi sayuran dan buah juga masih rendah. Data Survei Konsumsi Makanan Individu (2014) menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah rata-rata orang Indonesia hanya 108 g per hari, padahal WHO menganjurkan konsumsi 400 g per hari.
Asupan gizi erat kaitannya dengan kecerdasan dan produktivitas bangsa. Data UNDP tentang Human Development Index(HDI) menempatkan Indonesia pada posisi menengah di kalangan negara-negara ASEAN. Peringkat HDI di atas Indonesia adalah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Yang berada di bawah Indonesia adalah Vietnam, Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Dari 188 negara, peringkat HDI Indonesia berada di posisi urutan ke-113. Kita harus menyadari bahwa pembangunan bervisi SDM kini harus menjadi fokus perhatian. Pembangunan sarana fisik tetap harus dilanjutkan, namun tanpa harus mengabaikan pembangunan SDM. Perbaikan gizi masyarakat untuk mengeliminasi stunting menjadi prasyarat penting untuk mendukung pembangunan SDM.
Dalam masa pertumbuhannya, anak usia di bawah dua tahun (baduta) baik yang lahir normal maupun yang lahir stunting dapat mengalami problem stunting dalam rentang dua tahun awal kehidupannya. Biasanya pola asuh yang buruk dan pola makan anak yang tidak memenuhi syarat gizi menjadi pemicu munculnya stunting. Apabila dalam periode usia dua tahun pertama ini anak mengalami stunting, maka ada kemungkinan perkembangan otak terganggu sehingga anak mengalami problem kognitif. Ini yang sangat dikhawatirkan pemerintah karena bonus demografi tidak akan menghasilkan keuntungan apa-apa bila sumber daya manusianya dibangun dari generasi yang sejak awal menderita stunting.
Pertumbuhan fisik anak stunting mungkin dapat pulih karena anak bertumbuh tinggi badannya hingga usia 18 tahun. Namun, perkembangan kognitif yang terganggu saat anak usia dua tahun akan sulit dipulihkan. Sebab itu, intervensi bagi anak penderita stunting yang harus dilakukan pemerintah adalah pemberian makanan bergizi (telur, susu, kacang hijau, cukup pangan sumber karbohidrat) dan harus dibarengi intervensi psikososial untuk mengejar ketertinggalan perkembangan otaknya.
Stunting adalah problem konsumsi pangan. Pangan berkualitas (hewani) konotasinya masih mahal di mata masyarakat. Saat ini konsumsi susu masyarakat Indonesia masih sangat rendah di kalangan bangsa-bangsa ASEAN. Kurang gizi kronis (stunting) terjadi akibat masyarakat miskin tidak dapat mengakses pangan bergizi seperti susu, telur, daging, dan ikan. Harga daging sapi yang baru-baru ini melonjak membuat masyarakat semakin sulit mengonsumsi daging.
Indonesia hanya unggul dalam konsumsi beras karena masyarakatnya doyan makan nasi. Sementara untuk konsumsi sayuran dan buah juga masih rendah. Data Survei Konsumsi Makanan Individu (2014) menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah rata-rata orang Indonesia hanya 108 g per hari, padahal WHO menganjurkan konsumsi 400 g per hari.
Asupan gizi erat kaitannya dengan kecerdasan dan produktivitas bangsa. Data UNDP tentang Human Development Index(HDI) menempatkan Indonesia pada posisi menengah di kalangan negara-negara ASEAN. Peringkat HDI di atas Indonesia adalah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Yang berada di bawah Indonesia adalah Vietnam, Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Dari 188 negara, peringkat HDI Indonesia berada di posisi urutan ke-113. Kita harus menyadari bahwa pembangunan bervisi SDM kini harus menjadi fokus perhatian. Pembangunan sarana fisik tetap harus dilanjutkan, namun tanpa harus mengabaikan pembangunan SDM. Perbaikan gizi masyarakat untuk mengeliminasi stunting menjadi prasyarat penting untuk mendukung pembangunan SDM.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda