Covid-19 Melonjak, 'Stunting' Meningkat
Rabu, 17 Februari 2021 - 06:16 WIB
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
INDONESIA mengonfirmasi kasus pertama infeksi virus korona penyebab Covid-19 pada awal Maret 2020. Sejak itu berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah untuk meredam dampak dari pandemi di berbagai sektor. Hampir seluruh sektor terdampak, tak hanya kesehatan. Sektor ekonomi juga mengalami dampak serius akibat pandemi virus korona.
Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32%. Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97%, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02% pada periode yang sama 2019. Pada awal Februari lalu, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 mengalami kontraksi 2,07% secara year on year. Tulisan Prof Tjandra Yoga Aditama di suatu media mengupas persoalan ekonomi dan kesehatan pandemi Covid-19. Dikatakan bahwa yang amat perlu diwaspadai adalah angka positivity rateatau kepositifan kita yang sudah berkisar 20% dan bahkan dalam beberapa hari sampai 30%, padahal kita ketahui rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah hanya 5%. Angka kepositifan menunjukkan bagaimana besarnya penularan terjadi di masyarakat. Dan, angka kita menunjukkan empat kali atau bahkan pernah enam kali dari angka WHO.
Selanjutnya diuraikan bahwa pandemi Covid-19 memberi dampak amat besar pada sektor ekonomi dan sosial di dunia. WHO bersama International Labour Organization (ILO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) pada Oktober 2020 menyatakan bahwa disrupsi sosial-ekonomi akibat Covid-19 amat besar. Puluhan juta orang dapat jatuh menjadi amat miskin. Jumlah orang kurang gizi di dunia yang pada Oktober 2020 diperkirakan 690 juta orang akan bertambah 132 juta lagi sampai akhir 2020.
Penurunan kemiskinan yang sudah terjadi dalam tiga-empat tahun belakangan ini akan berbalik trennya. Masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Apalagi, adanya pandemi Covid-19 yang memorak-porandakan kehidupan ekonomi masyarakat jelas akan meningkatkan jumlah orang miskin yang memerlukan bantuan pemerintah.
BPS mencatat, garis kemiskinan pada Maret 2020 sebesar Rp454.652 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan Bank Dunia adalah USD1,9 per kapita per hari atau setara Rp798.200 per bulan (kurs Rp14.000). Kalau rumah tangga terdiri atas empat orang, maka minimal penghasilan adalah Rp3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan, jika diukur dengan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan (sekitar 25 juta orang) bisa lebih dari dua kali lipat. Dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan karyawan yang dirumahkan akibat Covid-19, maka ancaman kemiskinan kian kasatmata di hadapan orang-orang yang dulunya telah hidup di atas garis kemiskinan.
Persoalan gizi bermuara pada persoalan kemiskinan karena kondisi miskin menyebabkan rumah tangga kesulitan mengakses kebutuhan pangan. Ini yang sangat mengkhawatirkan. Pandemi Covid-19 akan semakin membatasi asupan gizi masyarakat golongan bawah. Tanpa Covid-19 saja problem gizi di negara kita ibarat masalah yang tak kunjung selesai. Mulai dari stunting, gizi kurang, gizi buruk, anemia, dan sebagainya yang menimpa berbagai segmen umur, menyebabkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia terpuruk.
Pemerintah pada awalnya berbesar hati melihat tren penurunan stunting dari 30,8% (2018) menjadi 27,6% (2019). Dengan tren tersebut, diperkirakan target penurunan prevalensi stunting menjadi 14% pada 2024 dapat dicapai. Namun, ketika pada 2020 pandemi Covid-19 menghantam berbagai sendi kehidupan masyarakat, maka problem gizi dan stunting dikhawatirkan akan naik kembali. Mengapa?
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
INDONESIA mengonfirmasi kasus pertama infeksi virus korona penyebab Covid-19 pada awal Maret 2020. Sejak itu berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah untuk meredam dampak dari pandemi di berbagai sektor. Hampir seluruh sektor terdampak, tak hanya kesehatan. Sektor ekonomi juga mengalami dampak serius akibat pandemi virus korona.
Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32%. Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97%, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02% pada periode yang sama 2019. Pada awal Februari lalu, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 mengalami kontraksi 2,07% secara year on year. Tulisan Prof Tjandra Yoga Aditama di suatu media mengupas persoalan ekonomi dan kesehatan pandemi Covid-19. Dikatakan bahwa yang amat perlu diwaspadai adalah angka positivity rateatau kepositifan kita yang sudah berkisar 20% dan bahkan dalam beberapa hari sampai 30%, padahal kita ketahui rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah hanya 5%. Angka kepositifan menunjukkan bagaimana besarnya penularan terjadi di masyarakat. Dan, angka kita menunjukkan empat kali atau bahkan pernah enam kali dari angka WHO.
Selanjutnya diuraikan bahwa pandemi Covid-19 memberi dampak amat besar pada sektor ekonomi dan sosial di dunia. WHO bersama International Labour Organization (ILO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) pada Oktober 2020 menyatakan bahwa disrupsi sosial-ekonomi akibat Covid-19 amat besar. Puluhan juta orang dapat jatuh menjadi amat miskin. Jumlah orang kurang gizi di dunia yang pada Oktober 2020 diperkirakan 690 juta orang akan bertambah 132 juta lagi sampai akhir 2020.
Penurunan kemiskinan yang sudah terjadi dalam tiga-empat tahun belakangan ini akan berbalik trennya. Masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Apalagi, adanya pandemi Covid-19 yang memorak-porandakan kehidupan ekonomi masyarakat jelas akan meningkatkan jumlah orang miskin yang memerlukan bantuan pemerintah.
BPS mencatat, garis kemiskinan pada Maret 2020 sebesar Rp454.652 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan Bank Dunia adalah USD1,9 per kapita per hari atau setara Rp798.200 per bulan (kurs Rp14.000). Kalau rumah tangga terdiri atas empat orang, maka minimal penghasilan adalah Rp3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan, jika diukur dengan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan (sekitar 25 juta orang) bisa lebih dari dua kali lipat. Dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan karyawan yang dirumahkan akibat Covid-19, maka ancaman kemiskinan kian kasatmata di hadapan orang-orang yang dulunya telah hidup di atas garis kemiskinan.
Persoalan gizi bermuara pada persoalan kemiskinan karena kondisi miskin menyebabkan rumah tangga kesulitan mengakses kebutuhan pangan. Ini yang sangat mengkhawatirkan. Pandemi Covid-19 akan semakin membatasi asupan gizi masyarakat golongan bawah. Tanpa Covid-19 saja problem gizi di negara kita ibarat masalah yang tak kunjung selesai. Mulai dari stunting, gizi kurang, gizi buruk, anemia, dan sebagainya yang menimpa berbagai segmen umur, menyebabkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia terpuruk.
Pemerintah pada awalnya berbesar hati melihat tren penurunan stunting dari 30,8% (2018) menjadi 27,6% (2019). Dengan tren tersebut, diperkirakan target penurunan prevalensi stunting menjadi 14% pada 2024 dapat dicapai. Namun, ketika pada 2020 pandemi Covid-19 menghantam berbagai sendi kehidupan masyarakat, maka problem gizi dan stunting dikhawatirkan akan naik kembali. Mengapa?
Lihat Juga :
tulis komentar anda