Ketika Segalanya Dipolitisir
Minggu, 14 Februari 2021 - 21:12 WIB
Kini yang juga mengkhawatirkan adalah politisasi kata radikal dan juga sebaliknya kata moderat. Seseorang akan mudah dilabeli radikal hanya karena berseberangan secara politik. Dan sebaliknya seseorang atau sekolompok orang dengan enteng dilabeli moderat karena sejalan secara politik.
Masalahnya kemudian label radikal ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tapi boleh jadi membawa kepada perangkap keamanan atau ancaman stabilitasi negara. Pada akhirnya orang yang dipaksakan untuk diposisikan pada posisi radikal itu dianggap membahayakan negara atau pemerintah.
Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Di mana saat itu kata radikal atau ekstrim menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan apa yang disebut “terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada “kaum radikal”.
Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah. Tapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada “terror” atau “war on terror” dimaknai sebagai peperangan kepada Umat Islam.
Inilah Sesungguhnya dikemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika. Dimulai dari 7 negara. Tapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs kepada orang-orang Islam untuk masuk Amerika.
Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada substansi moderasi itu sendiri. Karena beberapa pihak yang dianggap moderate justeru secara ideologi cukup kontras dengan nilai-nilai moderasi.
Di zaman GW Bush misalnya Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia.Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa ternyata penilaian radikal dan/atau moderat itu banyak ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik. Dan pada akhirnya nilai itu terasa kehilangan esensinya.
Hari-hari ini Isu radikal kembali ramai dibicarakan. Prof. Din Syamsuddin, tokoh nasional dan internasional, mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode, Presiden Kehormatan Agama-Agama Dunia untuk perdamaian (World Religion for Peace) dan seabrek posisi nasional maupun internasional konon dilaporkan oleh apa yang disebut Getakan Anti Radikalisme Alumni ITB.
Saya pribadi sangat terkejut dan kecewa. Karena saya yakin, siapa saja memiliki logika sehat akan melihat pak Din tidak saja sebagai tokoh nasional dan internasional yang moderat. Tapi beliau berada di jalan perjuangan untuk membangun Moderasi (advancing moderation) dan perdamaian dunia (world peace).
Pak Din sendiri pernah menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Perdamaian dan Dialog antar Agama dan Peradaban. Hanya saja beliau meninggalkan posisi itu karena ada sesuatu yang tidak sejalan dengan visi beliau sebagai tokoh agama dan perdamaian.
Masalahnya kemudian label radikal ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tapi boleh jadi membawa kepada perangkap keamanan atau ancaman stabilitasi negara. Pada akhirnya orang yang dipaksakan untuk diposisikan pada posisi radikal itu dianggap membahayakan negara atau pemerintah.
Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Di mana saat itu kata radikal atau ekstrim menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan apa yang disebut “terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada “kaum radikal”.
Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah. Tapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada “terror” atau “war on terror” dimaknai sebagai peperangan kepada Umat Islam.
Inilah Sesungguhnya dikemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika. Dimulai dari 7 negara. Tapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs kepada orang-orang Islam untuk masuk Amerika.
Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada substansi moderasi itu sendiri. Karena beberapa pihak yang dianggap moderate justeru secara ideologi cukup kontras dengan nilai-nilai moderasi.
Di zaman GW Bush misalnya Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia.Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa ternyata penilaian radikal dan/atau moderat itu banyak ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik. Dan pada akhirnya nilai itu terasa kehilangan esensinya.
Hari-hari ini Isu radikal kembali ramai dibicarakan. Prof. Din Syamsuddin, tokoh nasional dan internasional, mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode, Presiden Kehormatan Agama-Agama Dunia untuk perdamaian (World Religion for Peace) dan seabrek posisi nasional maupun internasional konon dilaporkan oleh apa yang disebut Getakan Anti Radikalisme Alumni ITB.
Saya pribadi sangat terkejut dan kecewa. Karena saya yakin, siapa saja memiliki logika sehat akan melihat pak Din tidak saja sebagai tokoh nasional dan internasional yang moderat. Tapi beliau berada di jalan perjuangan untuk membangun Moderasi (advancing moderation) dan perdamaian dunia (world peace).
Pak Din sendiri pernah menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Perdamaian dan Dialog antar Agama dan Peradaban. Hanya saja beliau meninggalkan posisi itu karena ada sesuatu yang tidak sejalan dengan visi beliau sebagai tokoh agama dan perdamaian.
Lihat Juga :
tulis komentar anda