Ketika Segalanya Dipolitisir
Minggu, 14 Februari 2021 - 21:12 WIB
DOHA - Ketika Segalanya Dipolitisir!
Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
SERINGKALI kita dengarkan istilah poltisasi agama. Tentu yang dimaksud demikian adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain agama dijadikan objek demi meraih kepentingan politik.
Ternyata dalam dunia di mana politik menjadi penentu dominan dalam kehidupan publik, bukan hanya agama yang dipolitisir. Tapi hampir segala aspek kehidupan publik/berbangsa diwarnai oleh terpaan angin politik. Dari budaya, pendidikan, bahkan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari rasa politik alias politisasi. Orang-orang mendukung atau menentang sesuatu bukan karena memang hal itu baik atau sebaliknya tidak baik. Tapi karena secara politik tidak sejalan dengan rasanya (kepentingannya).
Bentuk busana didukung, bahkan dipakai bukan karena “murni” (genuine) suka atau senang dengan busana itu. Tapi karena busana itu pada saat tertentu mendukung kepentingan politiknya. Lihatlah larisnya baju-baju koko dan peci di musim-musim politik. Atau wanita-wanita politisi yang selama ini dengan terbuka menentang “syariah” ikut memakai jilbab di musim-musim politik.
Bahkan istilah-istilah syariah seperti halal dan wakaf juga menjadi laris ketika hal itu dapat mendukung kepentingan atau imej politik tertentu. Padahal secara umum syariah oleh orang-orang yang sama dianggap berbahaya, bahkan anti Pancasila, UUD dan NKRI.
Kini kecenderungan itu merambah ke ranah konsep karakter orang atau sekelompok orang. Seseorang dengan mudah dianggap intoleran hanya karena yang bersangkutan tidak sejalan dengan posisi pilitiknya. Demikian sebaliknya. Betapa prilaku kasar dan intoleransi seseorang atau sekolompok orang dipertontonkan tanpa malu, tapi tetap saja dibiarkan, bahkan seolah dipelihara dan dilindungi.
Akibatnya Konsep toleransi terasa aneh. Toleransi yang pernah saya sebut dengan toleransi memihak. Toleransi yang dipasung untuk mendukung kepentingan politik tertentu.
Politisasi Radikalisme dan Moderasi
Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
SERINGKALI kita dengarkan istilah poltisasi agama. Tentu yang dimaksud demikian adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain agama dijadikan objek demi meraih kepentingan politik.
Ternyata dalam dunia di mana politik menjadi penentu dominan dalam kehidupan publik, bukan hanya agama yang dipolitisir. Tapi hampir segala aspek kehidupan publik/berbangsa diwarnai oleh terpaan angin politik. Dari budaya, pendidikan, bahkan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari rasa politik alias politisasi. Orang-orang mendukung atau menentang sesuatu bukan karena memang hal itu baik atau sebaliknya tidak baik. Tapi karena secara politik tidak sejalan dengan rasanya (kepentingannya).
Bentuk busana didukung, bahkan dipakai bukan karena “murni” (genuine) suka atau senang dengan busana itu. Tapi karena busana itu pada saat tertentu mendukung kepentingan politiknya. Lihatlah larisnya baju-baju koko dan peci di musim-musim politik. Atau wanita-wanita politisi yang selama ini dengan terbuka menentang “syariah” ikut memakai jilbab di musim-musim politik.
Bahkan istilah-istilah syariah seperti halal dan wakaf juga menjadi laris ketika hal itu dapat mendukung kepentingan atau imej politik tertentu. Padahal secara umum syariah oleh orang-orang yang sama dianggap berbahaya, bahkan anti Pancasila, UUD dan NKRI.
Kini kecenderungan itu merambah ke ranah konsep karakter orang atau sekelompok orang. Seseorang dengan mudah dianggap intoleran hanya karena yang bersangkutan tidak sejalan dengan posisi pilitiknya. Demikian sebaliknya. Betapa prilaku kasar dan intoleransi seseorang atau sekolompok orang dipertontonkan tanpa malu, tapi tetap saja dibiarkan, bahkan seolah dipelihara dan dilindungi.
Akibatnya Konsep toleransi terasa aneh. Toleransi yang pernah saya sebut dengan toleransi memihak. Toleransi yang dipasung untuk mendukung kepentingan politik tertentu.
Politisasi Radikalisme dan Moderasi
Lihat Juga :
tulis komentar anda