SOS Stunting

Senin, 08 Februari 2021 - 06:11 WIB
Stunting tidak bisa dianggap remeh karena memberi dampak buruk pada kualitas generasi. Untuk jangka pendek stunting dapat menyebabkan mortalitas atau kematian pada bayi atau balita, sedangkan jangka menengah akan berakibat pada intelektualitas dan kemampuan kognitif anak yang rendah. Dampak jangka panjang berkaitan dengan munculnya penyakit degenaratif di usia dewasa dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang akan menurunkan daya saing bangsa.

Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Kemitraan Program Bangga Kencana di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/1), memberi target kepada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menurunkan angka stunting menjadi 14% pada 2024. Ini sejalan dengan target pembangunan kesehatan nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020–2024.

Prevalensi stunting Indonesia saat ini masih di angka 27,7%. Indonesia ada di urutan keempat negara dengan stunting terbesar dunia. Angka stunting standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah 20%.

Melihat kondisi saat ini, target menurunkan stunting menjadi 14% tampak makin berat. Butuh kerja ekstrakeras banyak pihak. Tanpa pandemi saja menurunkan angka stunting seperti yang ditargetkan Presiden sebuah pekerjaan yang tidak ringan.

Di tengah tantangan yang ada, pemerintah didorong utuk membuat langkah strategis dan konkret dalam menyelamatkan anak dari stunting. Berhubung ibu hamil dan ibu dengan balita enggan datang ke posyandu dan puskesmas, model pelayanan kesehatan perlu diubah, tidak lagi menunggu, melainkan harus berinisiatif jemput bola.

Kamaluddin menyebut kader posyandu di Indonesia mencapai 835.000 orang. Mereka ini bisa kembali dioptimalkan, termasuk mendatangi setiap ibu hamil ke rumahnya untuk diperiksa. Sebelum pandemi, kader posyandu ini yang jadi andalan, baik untuk pelayanan imunisasi, pemberian gizi, penimbangan bayi dan balita, pemantauan tumbuh kembang anak maupun pemberian makanan tambahan gizi mikro.

Dia memaklumi jika konsentrasi pemerintah saat ini hampir seluruhnya mengarah ke Covid-19, baik anggaran, tenaga kesehatan maupun fasilitas layanan kesehatan. Namun masalah kesehatan masyarakat terutama menyangkut stunting dan keselamatan ibu hamil tetap perlu mendapat perhatian. Perlu blue print yang jelas disertai kebijakan strategis dan konkret dalam upaya menyelamatkan anak dan ibu hamil.

“Tanpa kebijakan strategis dan konkret, kami khawatir di masa datang angka kematian akibat gizi seperti stunting, kematian akibat kehamilan dan melahirkan, kematian balita bisa jadi lebih besar dari angka kematian akibat Covid-19,” tandasnya.

Kerja Ekstrakeras

Menurunnya akses pelayanan masyarakat di fasilitas kesehatan selama pandemi diakui oleh pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RR Dhian Probhoyekti Dipo kepada KORAN SINDO mengatakan, sebanyak 83,6% puskesmas mengalami penurunan kunjungan pasien selama pandemi.

Sekitar 43,5% puskesmas bahkan tidak melaksanakan pelayanan balita di posyandu. Selain itu kunjungan ke ibu hamil hanya sekitar 69,4%. Sementara 72,5% puskesmas tidak mengalami perubahan waktu pelayanan. “Dari kajian itu kita bisa melihat terjadi penurunan pada upaya pelayanan kesehatan masyarakat di masa pandemi. Upaya percepatan penurunan stunting pun otomatis ikut terganggu,” kata Dhian, Jumat (5/2).

Pemerintah diakui telah melakukan dua upaya untuk mencegah dan menanggulangi stunting, yakni melalui intervensi spesifik (berkaitan dengan kesehatan) dan sensitif (di luar kesehatan). Bahkan ada 23 kementerian dan lembaga yang berperan mengatasi stunting sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Upaya yang dilakukan tidak hanya mendorong ketersediaan makanan dan perubahan pola hidup sehat masyarakat, tetapi juga pendidikan. “Selain meningkatkan akses pada makanan bergizi dan seimbang, kami juga mendorong ketahanan pangan dan perubahan perilaku masyarakat,” katanya.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo juga mengaku siap bekerja keras untuk mencapai target menurunkan prevalensi stunting hingga 14% sebagaimana diamanatkan Presiden Jokowi.

"Angkanya sekarang masih 27,67%. Tugas dari Presiden ini tidak ringan dan saya harus kerja keras," ujarnya saat dihubungi.

Kenyataan saat ini, menurut dia, bayi yang lahir sebanyak 23% mengalami stunting. Kemudian sisanya lahir dengan tinggi badan sesuai standar, tetapi di kemudian hari menderita stunting. Pihaknya akan bekerja serius mengatasi kedua hal itu meski situasi sedang pandemi.

Dalam mengatasi stunting, kata Hasto, selain tetap mengoptimalkan pelayanan melalui kader posyandu, BKKBN juga melakukan penanganan dari hulu ke hilir. Dimulai dari sebelum anak lahir, yakni saat para ibu atau pasangan usia subur merencanakan akan menikah, mereka harus dicek kesehatannya. Banyak perempuan Indonesia yang hamil dalam kondisi yang sebenarnya belum siap sehingga kemungkinan anaknya bisa stunting. "Makanya kami memiliki program Siap Nikah untuk mengukur diri para perempuan, memetakan apakah mereka siap atau tidak untuk hamil," ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR RI Intan Fauzi meminta pemerintah tidak mengesampingkan program perlindungan anak Indonesia dari stunting di masa pandemi. Untuk itu alokasi dana untuk percepatan pencegahan stunting sebagai program prioritas nasional tidak boleh direalokasi dengan alasan apa pun. “Meski ada kebijakan realokasi, anggaran stunting harus tetap jalan karena jangan sampai terjadi lost generation,” tandasnya.



Intan menjelaskan bahwa DPR mendukung upaya pemerintah untuk penanganan stunting yang multisektoral. “Hal ini dibarengi dengan peningkatan kemampuan akses masyarakat terhadap bahan pangan, terutama bagi masyarakat miskin harus diprioritaskan oleh pemerintah agar penyelesaian kasus stunting di Indonesia segera terjadi,” ucapnya.

Target angka stunting nasional turun hingga 14% sesuai dengan RPJMN 2020–2024 diakuinya sulit dicapai karena pandemi. Namun dia berharap untuk bisa menurunkan prevalensi stunting, langkah-langkah penurunan harus tetap sinergis, terstruktur, komprehensif, dan simultan.

DPR menyetujui percepatan penanganan stunting diperluas ke 260 kabupaten/kota pada 2020 dari yang sebelumnya 160 kabupaten/kota pada 2019. Untuk intervensi paket gizi, anggaran sebesar Rp360 miliar telah dialokasikan serta alokasi dana transfer daerah untuk penanganan stunting sebesar Rp92,5 miliar.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More