SOS Stunting
Senin, 08 Februari 2021 - 06:11 WIB
"Kunjungan ibu hamil ke posyandu hanya 20%. Ini jelas membahayakan. Mungkin sekarang dampaknya belum terlihat, apalagi kita masih fokus pada ancaman penularan virus koronanya. Tapi saat tiba waktunya nanti dilakukan pengukuran anak stunting, di situ baru terlihat dampaknya,” ujar Kamaluddin Latief, epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) yang melakukan penelitian KIA, kepada KORAN SINDO di Jakarta, Sabtu (6/2).
Hasil penelitian ini cukup mengkhawatirkan. Sebab, dalam situasi normal, ibu hamil seharusnya melakukan antenatal care (ANC) atau pemeriksaan kehamilan ke dokter atau bidan sebanyak empat kali selama masa kehamilan. Dari pemeriksaan ANC akan diketahui jika seorang ibu hamil mengalami kurang energi kronik (KEK) atau kurang gizi. Jika mengalami KEK, ibu hamil akan diintervensi, antara lain dengan memberi makanan tambahan, memberi suplemen penambah darah, dan memberikan kapsul vitamin A. Tujuannya agar menghindarkan bayi yang dikandung mengalami stunting.
Namun seluruh intervensi pemerintah menjadi sulit dilakukan tatkala ibu hamil dan ibu dengan balita tidak memeriksakan diri ke posyandu. Menurut Kamaluddin, kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2020 juga mengungkap bahwa hanya 20% posyandu yang melakukan pelayanan di masa pandemi dan terdapat 58,3% puskesmas yang cakupan imunisasinya menurun.
Terbatasnya pelayanan puskesmas dan posyandu tak pelak menghambat pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan bayi dan anak tidak berjalan optimal, dan cakupan imunisasi menurun. Selain itu vitamin A dan Fe tidak terdistribusi dengan merata, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan tidak berjalan, dan intervensi balita stunting terganggu.
Menurunnya Kesehatan Ibu dan Anak
Penelitian tentang kesehatan ibu dan anak (KIA) ini melibatkan responden ibu hamil dan ibu dengan balita di 32 provinsi di Indonesia. Respons rata-rata tertinggi ada pada Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.
Pengumpulan data dilakukan secara acak ke semua responden, baik penduduk desa maupun kota di seluruh Indonesia, secara daring dengan menggunakan aplikasi WhatsApp, Facebook, website atau media sosial lain. Riset berlangsung pada 10–17 Juli 2020 dengan melibatkan sejumlah peneliti lain, di antaranya Ketua Peneliti Dono Widiatmoko (Derby University, Inggris), Husein Habsyi dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Elviyanti Martini (konsultan gizi), Media Askar Wahyudi (Universitas Gadjah Mada), Hanif Fadjri (Statqo Analytics), Nadilah Salma (IAKMI).
Para peneliti ini terdorong melakukan riset karena keprihatinan bahwa pandemi akan memperparah persoalan public health di Indonesia.
Apalagi, selain risiko stunting dan wasting (bayi dan balita dengan berat badan rendah), menurut Kamaluddin, minimnya kunjungan ibu hamil ke posyandu dan puskesmas selama pandemi juga berpotensi meningkatkan angka kematian ibu melahirkan. Sebab pemeriksaan ANC juga bertujuan menghindarkan ibu hamil mengalami anemia yang bisa membuatnya mengalami komplikasi dan pendarahan saat persalinan.
Hasil penelitian ini cukup mengkhawatirkan. Sebab, dalam situasi normal, ibu hamil seharusnya melakukan antenatal care (ANC) atau pemeriksaan kehamilan ke dokter atau bidan sebanyak empat kali selama masa kehamilan. Dari pemeriksaan ANC akan diketahui jika seorang ibu hamil mengalami kurang energi kronik (KEK) atau kurang gizi. Jika mengalami KEK, ibu hamil akan diintervensi, antara lain dengan memberi makanan tambahan, memberi suplemen penambah darah, dan memberikan kapsul vitamin A. Tujuannya agar menghindarkan bayi yang dikandung mengalami stunting.
Namun seluruh intervensi pemerintah menjadi sulit dilakukan tatkala ibu hamil dan ibu dengan balita tidak memeriksakan diri ke posyandu. Menurut Kamaluddin, kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2020 juga mengungkap bahwa hanya 20% posyandu yang melakukan pelayanan di masa pandemi dan terdapat 58,3% puskesmas yang cakupan imunisasinya menurun.
Terbatasnya pelayanan puskesmas dan posyandu tak pelak menghambat pelayanan kesehatan ibu hamil, pelayanan bayi dan anak tidak berjalan optimal, dan cakupan imunisasi menurun. Selain itu vitamin A dan Fe tidak terdistribusi dengan merata, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan tidak berjalan, dan intervensi balita stunting terganggu.
Menurunnya Kesehatan Ibu dan Anak
Penelitian tentang kesehatan ibu dan anak (KIA) ini melibatkan responden ibu hamil dan ibu dengan balita di 32 provinsi di Indonesia. Respons rata-rata tertinggi ada pada Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.
Pengumpulan data dilakukan secara acak ke semua responden, baik penduduk desa maupun kota di seluruh Indonesia, secara daring dengan menggunakan aplikasi WhatsApp, Facebook, website atau media sosial lain. Riset berlangsung pada 10–17 Juli 2020 dengan melibatkan sejumlah peneliti lain, di antaranya Ketua Peneliti Dono Widiatmoko (Derby University, Inggris), Husein Habsyi dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Elviyanti Martini (konsultan gizi), Media Askar Wahyudi (Universitas Gadjah Mada), Hanif Fadjri (Statqo Analytics), Nadilah Salma (IAKMI).
Para peneliti ini terdorong melakukan riset karena keprihatinan bahwa pandemi akan memperparah persoalan public health di Indonesia.
Apalagi, selain risiko stunting dan wasting (bayi dan balita dengan berat badan rendah), menurut Kamaluddin, minimnya kunjungan ibu hamil ke posyandu dan puskesmas selama pandemi juga berpotensi meningkatkan angka kematian ibu melahirkan. Sebab pemeriksaan ANC juga bertujuan menghindarkan ibu hamil mengalami anemia yang bisa membuatnya mengalami komplikasi dan pendarahan saat persalinan.
tulis komentar anda