Sosok Intelektual Transformatif
Senin, 08 Februari 2021 - 05:08 WIB
Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, sesungguhnya kita bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik. Hal ini tecermin dari beberapa kali saya dan Mas Fiz terlibat dalam perbincangan tentang apa yang sedang dia kerjakan dalam memperbaiki kondisi di Universitas Paramadina sejak 2015. Tekad kuat juga tergambar jelas di berbagai aktivitasnya di setiap organisasi yang dia masuki. Bekerja maksimal, fokus dan meninggalkan warisan baik. Itu beberapa prinsip yang saya tangkap dari obrolan dengannya.
Memperkuat IVL
Saya dan Mas Fiz sebaya. Selisihnya hanya satu bulan. Mas Fiz lahir Juli 1976, saya Agustus dengan tahun yang sama. Jadi sama-sama 44 tahun. Kami bekerja di kampus berbeda. Mas Fiz di UI Depok, saya di UIN Ciputat. Awal perjumpaan pertama seingat saya pada 2012. Saat kami sering diundang bersama dalam berbagai forum seminar ataupun talkshow bertema marketing politik. Irisan tersebut karena saya membidangi komunikasi politik. Saat masuk Istana menjadi Stafsus Bidang Ekonomi era Presiden SBY, lama tak berjumpa secara fisik.
Barulah saat kembali ke kampus dan memimpin Universitas Paramadina pada 2015, saya dan Mas Fiz kerap berjumpa lagi baik di acara kampus maupun berbagai forum di luar kampus. Tentu juga berjumpa di berbagai talkshow yang dibuat teman-teman media. Yang membuat kami semakin dekat dimulai sejak sama-sama menjadi expert panelist Program People of Year 2014 yang dibuat KORAN SINDO. Saat itu panelis terdiri atas Mas Fiz, saya, Dirjen Otda Kemendagri Sony Soemarsono, dan Pembina Indonesia Institute for Corporate Directorship (IICD) Andi Ilham Said. Program People of The Year (PoTY) KORAN SINDO semula berfokus pada empat kategori khusus, yakni kategori tokoh muda, tokoh perempuan, CEO, dan kepala daerah. Program ini kemudian bertransformasi menjadi Indonesia Visionary Leader (IVL), program sangat bagus yang digelar setiap tahun untuk menguji gagasan dan kiprah para kepala daerah di Indonesia. Dalam rentang 2015–2020 sudah ada 6 kali IVL digelar dengan formasi expert panelist tetap, kecuali perubahan Sony Soemarsono yang tak lagi menjadi Dirjen Otda Kemendagri yang digantikan Akmal Malik.
Intensitas pertemuan di IVL membuat saya mengenal lebih dekat Mas Fiz. Sosok intelektual yang selalu berbicara dengan santun, tenang, mendedah pemikirannya dengan runtut, terukur, dan sangat berbobot. Selalu menghargai pendapat orang lain. Sebagai sesama expert panelist di IVL, sering kami berbeda pandangan mengenai sosok dan kiprah tokoh yang kami nilai, tetapi Mas Fiz piawai menghadirkan perspektif secara mendalam. Basis rasionalitas lebih dikedepankan, bukan emosionalitas sekalipun banyak di antara sosok yang kami nilai saling mengenal dan akrab dengan Mas Fiz. Itulah sikap independen dan profesionalitas dia.
Saya ingat betul di luar urusan expert panel, kerap kali kami ngobrol banyak hal. Mas Fiz begitu antusias saat bercerita tentang anak semata wayangnya. Karunia terbesar yang begitu didambakannya sejak lama. Saat usianya 44 tahun, putrinya kini seingat saya baru berusia 4 tahun. “Mas Gun, kelahiran putri saya menjadi titik balik perubahan saya. Dulu saya begitu sibuk di luar rumah, sekarang saya betul-betul memiliki kebahagiaan saat momong anak saya. Prioritas saya sekarang keluarga yang utama,” paparnya suatu ketika saat kami ngobrol selepas salat berjamaah di Kantor Redaksi KORAN SINDO. Hal lain lagi yang menarik buat saya saat Mas Fiz bicara soal sikap dan integritas. Dia bilang jabatan itu sementara, tetapi integritas selamanya. Berkarya itu soal berbuat baik bukan untuk prestise sesaat. Selamat jalan Mas Fiz, warisan kebaikanmu akan abadi dalam ingatan banyak orang.
Memperkuat IVL
Saya dan Mas Fiz sebaya. Selisihnya hanya satu bulan. Mas Fiz lahir Juli 1976, saya Agustus dengan tahun yang sama. Jadi sama-sama 44 tahun. Kami bekerja di kampus berbeda. Mas Fiz di UI Depok, saya di UIN Ciputat. Awal perjumpaan pertama seingat saya pada 2012. Saat kami sering diundang bersama dalam berbagai forum seminar ataupun talkshow bertema marketing politik. Irisan tersebut karena saya membidangi komunikasi politik. Saat masuk Istana menjadi Stafsus Bidang Ekonomi era Presiden SBY, lama tak berjumpa secara fisik.
Barulah saat kembali ke kampus dan memimpin Universitas Paramadina pada 2015, saya dan Mas Fiz kerap berjumpa lagi baik di acara kampus maupun berbagai forum di luar kampus. Tentu juga berjumpa di berbagai talkshow yang dibuat teman-teman media. Yang membuat kami semakin dekat dimulai sejak sama-sama menjadi expert panelist Program People of Year 2014 yang dibuat KORAN SINDO. Saat itu panelis terdiri atas Mas Fiz, saya, Dirjen Otda Kemendagri Sony Soemarsono, dan Pembina Indonesia Institute for Corporate Directorship (IICD) Andi Ilham Said. Program People of The Year (PoTY) KORAN SINDO semula berfokus pada empat kategori khusus, yakni kategori tokoh muda, tokoh perempuan, CEO, dan kepala daerah. Program ini kemudian bertransformasi menjadi Indonesia Visionary Leader (IVL), program sangat bagus yang digelar setiap tahun untuk menguji gagasan dan kiprah para kepala daerah di Indonesia. Dalam rentang 2015–2020 sudah ada 6 kali IVL digelar dengan formasi expert panelist tetap, kecuali perubahan Sony Soemarsono yang tak lagi menjadi Dirjen Otda Kemendagri yang digantikan Akmal Malik.
Intensitas pertemuan di IVL membuat saya mengenal lebih dekat Mas Fiz. Sosok intelektual yang selalu berbicara dengan santun, tenang, mendedah pemikirannya dengan runtut, terukur, dan sangat berbobot. Selalu menghargai pendapat orang lain. Sebagai sesama expert panelist di IVL, sering kami berbeda pandangan mengenai sosok dan kiprah tokoh yang kami nilai, tetapi Mas Fiz piawai menghadirkan perspektif secara mendalam. Basis rasionalitas lebih dikedepankan, bukan emosionalitas sekalipun banyak di antara sosok yang kami nilai saling mengenal dan akrab dengan Mas Fiz. Itulah sikap independen dan profesionalitas dia.
Saya ingat betul di luar urusan expert panel, kerap kali kami ngobrol banyak hal. Mas Fiz begitu antusias saat bercerita tentang anak semata wayangnya. Karunia terbesar yang begitu didambakannya sejak lama. Saat usianya 44 tahun, putrinya kini seingat saya baru berusia 4 tahun. “Mas Gun, kelahiran putri saya menjadi titik balik perubahan saya. Dulu saya begitu sibuk di luar rumah, sekarang saya betul-betul memiliki kebahagiaan saat momong anak saya. Prioritas saya sekarang keluarga yang utama,” paparnya suatu ketika saat kami ngobrol selepas salat berjamaah di Kantor Redaksi KORAN SINDO. Hal lain lagi yang menarik buat saya saat Mas Fiz bicara soal sikap dan integritas. Dia bilang jabatan itu sementara, tetapi integritas selamanya. Berkarya itu soal berbuat baik bukan untuk prestise sesaat. Selamat jalan Mas Fiz, warisan kebaikanmu akan abadi dalam ingatan banyak orang.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda