Uji Kemampuan dan Kelayakan Menuju Stabilitas Sistem Keuangan
Selasa, 02 Februari 2021 - 05:05 WIB
Majelis hakim dalam sidang gugatan di atas mempertimbangkan bahwa fit and proper test dilakukan oleh sebuah panitia yang independen dan juga mempertimbangkan kualitas integritas, moralitas, kelayakan keuangan dan menjaga prinsip-prinsip prudent (kepercayaan) dan kehatian-hatian dalam mengelola keuangan publik. Majelis Hakim juga menilai bahwa OJK di dalam melakukan fit and proper pengelola dan pemilik test calon pemimpin bank harus diberikan kekebalan profesi (immunity profession).
Keputusan PTUN dalam kasus gugatan Bosowa ini juga, kurang tepat jika mendalilkan bahwa penilaian kembali oleh OJK adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan OJK sehingga beralasan untuk melakukan pengujian atas keputusan tersebut. Untuk memahami persoalan ini, perhatikan konsiderans POJK No 34/2018 poin C, POJK No 27/2016 poin D dan PBI No 12/2010 Poin C dan D.
Dari poin-poin konsiderans tersebut dapat dilihat jelas bahwa masing-masing aturan tersebut dibuat dalam rangka menjalankan kewenangan pengawasan. Oleh karena itu, tidak logis apabila mengualifikasikan hasil penilaian kembali yang didasarkan pada POJK No 34/2018 sebagai keputusan yang dapat diuji dan hasil penilaian yang didasarkan pada POJK No 27/2018 sebagai keputusan yang tidak dapat diuji karena kedua-duanya sama-sama merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi pengawasan dan bersumber dari aturan yang sama (PBI No 12/2010).
Kemudian, tidak tepat pula mengecualikan POJK No 34/2010 dari kualifikasi objek tata usaha negara yang dikecualikan dalam SEMA No 3/2015 dengan alasan bahwa SEMA tersebut hanya berlaku bagi penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersifat new entry atau hanya bagi calon baru yang akan menjadi pihak utama LJK.
Secara gramatikal, penafsiran ini tidak tepat karena dalam SEMA tersebut, frase yang digunakan adalah “keputusan hasil fit and proper test”. Oleh karena itu, SEMA tersebut semestinya dipahami mencakup fit and proper test yang bersifat new entry dan existing (penilaian kembali).
Pemahaman mengenai maksud dari SEMA tersebut juga dapat dikaji dari sudut pandang historis. Bahwa SEMA ini dikeluarkan berkaitan dengan mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan dalam PBI No 12/2010, yang justru mengenal dan mengatur rezim penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing sekaligus.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, seharusnya Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/KDK.03/2020 tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk tanggal 24 Agustus 2020 tidak dapat menjadi objek gugatan di PTUN Jakarta dan gugatan PT Bosowa Korporindo seharusnya tidak dapat diterima oleh PTUN Jakarta.
Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa ada kepentingan umum yang lebih besar yang wajib dilindungi oleh OJK melalui tindakan penilaian terhadap pihak utama di sebuah LJK. Karena jika tidak, dikhawatirkan LJK akan diisi oleh orang-orang yang kurang memiliki kompetensi dan integritas sehingga nasib banyak nasabah bank akan dirugikan dan stabilitas sistem keuangan akan terganggu. Perekonomian nasional pun bisa menjadi korban.
Keputusan PTUN dalam kasus gugatan Bosowa ini juga, kurang tepat jika mendalilkan bahwa penilaian kembali oleh OJK adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan OJK sehingga beralasan untuk melakukan pengujian atas keputusan tersebut. Untuk memahami persoalan ini, perhatikan konsiderans POJK No 34/2018 poin C, POJK No 27/2016 poin D dan PBI No 12/2010 Poin C dan D.
Dari poin-poin konsiderans tersebut dapat dilihat jelas bahwa masing-masing aturan tersebut dibuat dalam rangka menjalankan kewenangan pengawasan. Oleh karena itu, tidak logis apabila mengualifikasikan hasil penilaian kembali yang didasarkan pada POJK No 34/2018 sebagai keputusan yang dapat diuji dan hasil penilaian yang didasarkan pada POJK No 27/2018 sebagai keputusan yang tidak dapat diuji karena kedua-duanya sama-sama merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi pengawasan dan bersumber dari aturan yang sama (PBI No 12/2010).
Kemudian, tidak tepat pula mengecualikan POJK No 34/2010 dari kualifikasi objek tata usaha negara yang dikecualikan dalam SEMA No 3/2015 dengan alasan bahwa SEMA tersebut hanya berlaku bagi penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersifat new entry atau hanya bagi calon baru yang akan menjadi pihak utama LJK.
Secara gramatikal, penafsiran ini tidak tepat karena dalam SEMA tersebut, frase yang digunakan adalah “keputusan hasil fit and proper test”. Oleh karena itu, SEMA tersebut semestinya dipahami mencakup fit and proper test yang bersifat new entry dan existing (penilaian kembali).
Pemahaman mengenai maksud dari SEMA tersebut juga dapat dikaji dari sudut pandang historis. Bahwa SEMA ini dikeluarkan berkaitan dengan mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan dalam PBI No 12/2010, yang justru mengenal dan mengatur rezim penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing sekaligus.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, seharusnya Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/KDK.03/2020 tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk tanggal 24 Agustus 2020 tidak dapat menjadi objek gugatan di PTUN Jakarta dan gugatan PT Bosowa Korporindo seharusnya tidak dapat diterima oleh PTUN Jakarta.
Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa ada kepentingan umum yang lebih besar yang wajib dilindungi oleh OJK melalui tindakan penilaian terhadap pihak utama di sebuah LJK. Karena jika tidak, dikhawatirkan LJK akan diisi oleh orang-orang yang kurang memiliki kompetensi dan integritas sehingga nasib banyak nasabah bank akan dirugikan dan stabilitas sistem keuangan akan terganggu. Perekonomian nasional pun bisa menjadi korban.
(bmm)
tulis komentar anda