Uji Kemampuan dan Kelayakan Menuju Stabilitas Sistem Keuangan
Selasa, 02 Februari 2021 - 05:05 WIB
SEMA 3/2015
Urgensi atas perlindungan keputusan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama LJK ini sebenarnya sudah ditangkap dan sudah diberikan solusi oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 3/2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Dalam Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara tersebut dijelaskan bahwa keputusan fit and proper test merupakan keputusan tata usaha negara, akan tetapi, PTUN tidak berwenang untuk menguji keputusan tersebut, karena pertama, keputusan Tata Usaha Negara tersebut diterbitkan oleh lembaga independen; kedua, substansinya tidak hanya berisi tindakan hukum semata akan tetapi juga aspek-aspek lain nonhukum seperti moralitas, profesionalitas, akademis, integritas, rekam jejak (track record), dan prinsip kehati-hatian.
Diterbitkannya SEMA tersebut merupakan perwujudan dari pelaksanaan kewenangan Mahkamah Agung untuk memberi petunjuk kepada pengadilan (Pasal 32 ayat (4)) dan tentunya bertujuan untuk mencapai keseragaman dan konsistensi penerapan hukum apabila terjadi pengujian atas keputusan penilaian kemampuan dan kepatutan.
Namun, dalam putusan PTUN Jakarta Nomor 178/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan batal Keputusan Dewan Komisioner OJK tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk, majelis hakim berpendapat bahwa penilaian kembali yang diatur dalam POJK No 34/2018 tidak termasuk dalam kategori fit and proper test.
Penilaian yang didasarkan atas POJK Nomor 34/2018 itu dianggap sebagai tindakan yang didasarkan pada kewenangan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan oleh karena itu patut untuk diuji, sementara SEMA No 3/2015 hanya berlaku bagi fit and proper test yang bersifat new entry atau hanya untuk penilaian atas pihak yang baru akan menjadi calon pihak utama dalam LJK.
Sebagai upaya menghormati putusan pengadilan tersebut serta mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, saya menilai beberapa hal perlu menjadi masukan dalam penilaian PTUN tersebut. Di antaranya, penting untuk memahami proses penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama di sebuah LJK dan tidak memisahkan penilaian bagi pihak yang baru akan menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 27/2016, dengan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak yang sudah menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 34/2016 dengan menggunakan diksi “penilaian kembali”.
Hal ini dikarenakan POJK 27/2016 dan POJK 34/2016 sama-sama bersumber dari PBI No 12/2010, yang mengakui dan mengatur penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing ke dalam rezim penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut. Selain itu, apabila diteliti dan dibandingkan antara POJK No 34/2018, POJK No 27/2016 dan PBI No 12/2010, dapat dengan jelas dilihat bahwa poin-poin yang dijadikan indikator penilaian kemampuan dan kepatutan pada dasarnya memuat substansi yang sama.
Yurisprudensi perkara ini sebenarnya ada dalam putusan PTUN pada 2017. Dalam putusan No 79 PK/TUN/2017 itu majelis hakim mempertimbangkan bahwa substansi objek sengketa yang merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan (existing) bukan menjadi wewenang peradilan tata usaha negara untuk menilainya.
Penerapan hukum tersebut juga diterapkan pada putusan 162/G/2017/PTUN-JKT. Dalam perkara tersebut, penggugat selaku pemegang saham pengendali bank perkreditan rakyat dinyatakan tidak lulus dalam penilaian kembali oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Urgensi atas perlindungan keputusan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama LJK ini sebenarnya sudah ditangkap dan sudah diberikan solusi oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 3/2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Dalam Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara tersebut dijelaskan bahwa keputusan fit and proper test merupakan keputusan tata usaha negara, akan tetapi, PTUN tidak berwenang untuk menguji keputusan tersebut, karena pertama, keputusan Tata Usaha Negara tersebut diterbitkan oleh lembaga independen; kedua, substansinya tidak hanya berisi tindakan hukum semata akan tetapi juga aspek-aspek lain nonhukum seperti moralitas, profesionalitas, akademis, integritas, rekam jejak (track record), dan prinsip kehati-hatian.
Diterbitkannya SEMA tersebut merupakan perwujudan dari pelaksanaan kewenangan Mahkamah Agung untuk memberi petunjuk kepada pengadilan (Pasal 32 ayat (4)) dan tentunya bertujuan untuk mencapai keseragaman dan konsistensi penerapan hukum apabila terjadi pengujian atas keputusan penilaian kemampuan dan kepatutan.
Namun, dalam putusan PTUN Jakarta Nomor 178/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan batal Keputusan Dewan Komisioner OJK tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk, majelis hakim berpendapat bahwa penilaian kembali yang diatur dalam POJK No 34/2018 tidak termasuk dalam kategori fit and proper test.
Penilaian yang didasarkan atas POJK Nomor 34/2018 itu dianggap sebagai tindakan yang didasarkan pada kewenangan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan oleh karena itu patut untuk diuji, sementara SEMA No 3/2015 hanya berlaku bagi fit and proper test yang bersifat new entry atau hanya untuk penilaian atas pihak yang baru akan menjadi calon pihak utama dalam LJK.
Sebagai upaya menghormati putusan pengadilan tersebut serta mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, saya menilai beberapa hal perlu menjadi masukan dalam penilaian PTUN tersebut. Di antaranya, penting untuk memahami proses penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama di sebuah LJK dan tidak memisahkan penilaian bagi pihak yang baru akan menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 27/2016, dengan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak yang sudah menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 34/2016 dengan menggunakan diksi “penilaian kembali”.
Hal ini dikarenakan POJK 27/2016 dan POJK 34/2016 sama-sama bersumber dari PBI No 12/2010, yang mengakui dan mengatur penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing ke dalam rezim penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut. Selain itu, apabila diteliti dan dibandingkan antara POJK No 34/2018, POJK No 27/2016 dan PBI No 12/2010, dapat dengan jelas dilihat bahwa poin-poin yang dijadikan indikator penilaian kemampuan dan kepatutan pada dasarnya memuat substansi yang sama.
Yurisprudensi perkara ini sebenarnya ada dalam putusan PTUN pada 2017. Dalam putusan No 79 PK/TUN/2017 itu majelis hakim mempertimbangkan bahwa substansi objek sengketa yang merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan (existing) bukan menjadi wewenang peradilan tata usaha negara untuk menilainya.
Penerapan hukum tersebut juga diterapkan pada putusan 162/G/2017/PTUN-JKT. Dalam perkara tersebut, penggugat selaku pemegang saham pengendali bank perkreditan rakyat dinyatakan tidak lulus dalam penilaian kembali oleh Otoritas Jasa Keuangan.
tulis komentar anda