Uji Kemampuan dan Kelayakan Menuju Stabilitas Sistem Keuangan

Selasa, 02 Februari 2021 - 05:05 WIB
Namun, dalam putusan PTUN Jakarta Nomor 178/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan batal Keputusan Dewan Komisioner OJK tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk, majelis hakim berpendapat bahwa penilaian kembali yang diatur dalam POJK No 34/2018 tidak termasuk dalam kategori fit and proper test.

Penilaian yang didasarkan atas POJK Nomor 34/2018 itu dianggap sebagai tindakan yang didasarkan pada kewenangan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan oleh karena itu patut untuk diuji, sementara SEMA No 3/2015 hanya berlaku bagi fit and proper test yang bersifat new entry atau hanya untuk penilaian atas pihak yang baru akan menjadi calon pihak utama dalam LJK.

Sebagai upaya menghormati putusan pengadilan tersebut serta mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, saya menilai beberapa hal perlu menjadi masukan dalam penilaian PTUN tersebut. Di antaranya, penting untuk memahami proses penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama di sebuah LJK dan tidak memisahkan penilaian bagi pihak yang baru akan menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 27/2016, dengan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak yang sudah menjadi pihak utama LJK, yang diatur dalam POJK No 34/2016 dengan menggunakan diksi “penilaian kembali”.

Hal ini dikarenakan POJK 27/2016 dan POJK 34/2016 sama-sama bersumber dari PBI No 12/2010, yang mengakui dan mengatur penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing ke dalam rezim penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut. Selain itu, apabila diteliti dan dibandingkan antara POJK No 34/2018, POJK No 27/2016 dan PBI No 12/2010, dapat dengan jelas dilihat bahwa poin-poin yang dijadikan indikator penilaian kemampuan dan kepatutan pada dasarnya memuat substansi yang sama.

Yurisprudensi perkara ini sebenarnya ada dalam putusan PTUN pada 2017. Dalam putusan No 79 PK/TUN/2017 itu majelis hakim mempertimbangkan bahwa substansi objek sengketa yang merupakan hasil uji kemampuan dan kepatutan (existing) bukan menjadi wewenang peradilan tata usaha negara untuk menilainya.

Penerapan hukum tersebut juga diterapkan pada putusan 162/G/2017/PTUN-JKT. Dalam perkara tersebut, penggugat selaku pemegang saham pengendali bank perkreditan rakyat dinyatakan tidak lulus dalam penilaian kembali oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Majelis hakim dalam sidang gugatan di atas mempertimbangkan bahwa fit and proper test dilakukan oleh sebuah panitia yang independen dan juga mempertimbangkan kualitas integritas, moralitas, kelayakan keuangan dan menjaga prinsip-prinsip prudent (kepercayaan) dan kehatian-hatian dalam mengelola keuangan publik. Majelis Hakim juga menilai bahwa OJK di dalam melakukan fit and proper pengelola dan pemilik test calon pemimpin bank harus diberikan kekebalan profesi (immunity profession).

Keputusan PTUN dalam kasus gugatan Bosowa ini juga, kurang tepat jika mendalilkan bahwa penilaian kembali oleh OJK adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan OJK sehingga beralasan untuk melakukan pengujian atas keputusan tersebut. Untuk memahami persoalan ini, perhatikan konsiderans POJK No 34/2018 poin C, POJK No 27/2016 poin D dan PBI No 12/2010 Poin C dan D.

Dari poin-poin konsiderans tersebut dapat dilihat jelas bahwa masing-masing aturan tersebut dibuat dalam rangka menjalankan kewenangan pengawasan. Oleh karena itu, tidak logis apabila mengualifikasikan hasil penilaian kembali yang didasarkan pada POJK No 34/2018 sebagai keputusan yang dapat diuji dan hasil penilaian yang didasarkan pada POJK No 27/2018 sebagai keputusan yang tidak dapat diuji karena kedua-duanya sama-sama merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi pengawasan dan bersumber dari aturan yang sama (PBI No 12/2010).

Kemudian, tidak tepat pula mengecualikan POJK No 34/2010 dari kualifikasi objek tata usaha negara yang dikecualikan dalam SEMA No 3/2015 dengan alasan bahwa SEMA tersebut hanya berlaku bagi penilaian kemampuan dan kepatutan yang bersifat new entry atau hanya bagi calon baru yang akan menjadi pihak utama LJK.

Secara gramatikal, penafsiran ini tidak tepat karena dalam SEMA tersebut, frase yang digunakan adalah “keputusan hasil fit and proper test”. Oleh karena itu, SEMA tersebut semestinya dipahami mencakup fit and proper test yang bersifat new entry dan existing (penilaian kembali).

Pemahaman mengenai maksud dari SEMA tersebut juga dapat dikaji dari sudut pandang historis. Bahwa SEMA ini dikeluarkan berkaitan dengan mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan dalam PBI No 12/2010, yang justru mengenal dan mengatur rezim penilaian kemampuan dan kepatutan baik yang bersifat new entry dan existing sekaligus.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, seharusnya Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/KDK.03/2020 tentang Hasil Penilaian Kembali PT Bosowa Korporindo selaku Pemegang Saham Pengendali PT Bank Bukopin Tbk tanggal 24 Agustus 2020 tidak dapat menjadi objek gugatan di PTUN Jakarta dan gugatan PT Bosowa Korporindo seharusnya tidak dapat diterima oleh PTUN Jakarta.

Penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa ada kepentingan umum yang lebih besar yang wajib dilindungi oleh OJK melalui tindakan penilaian terhadap pihak utama di sebuah LJK. Karena jika tidak, dikhawatirkan LJK akan diisi oleh orang-orang yang kurang memiliki kompetensi dan integritas sehingga nasib banyak nasabah bank akan dirugikan dan stabilitas sistem keuangan akan terganggu. Perekonomian nasional pun bisa menjadi korban.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More