Polemik BPJS Kesehatan karena Pemerintah Tak Berani Naikkan Iuran Sebelum Pemilu 2019

Sabtu, 16 Mei 2020 - 13:05 WIB
SINDO/Wawan Bastian
JAKARTA - Sengkarut keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah berlangsung sejak tahun 2016. Sebenarnya, defisit anggaran bisa diminimalisir jika pemerintah menaikkan iuran bertahap.

BPJS Watch menduga ada alasan politis sehingga pemerintah tidak berani menaikkan iuran sebelum tahun 2019. Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memperbolehkan kenaikan. Pasal 27 ayat (2) UU tersebut menyebutkan besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.

Ini diperkuat pada aturan turun, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 38 ayat (2) menyebutkan besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali. "Jadi kenaikan iuran adalah hal biasa dan memang harus dilakukan pemerintah. Sejak beroperasi tahun 2014, pemerintah sudah menaikkan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) pada 2016," ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (16/5/2020).

Dia mengungkapkan, kenaikan itu sebenarnya tidak sesuai dengan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rekomendasinya, tarif penerima bantuan iuran (PBI) itu Rp36.000 per bulan, tapi ditetapkan Rp23.000. "Keputusan ini berkontribusi pada terciptanya defisit tiap tahun hingga 2019," katanya



Payung hukum kenaikan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan saat itu pun tak luput dari gelombang protes. Pemerintah akhirnya menurunkan iuran Kelas III mandiri dari Rp30.000 ke Rp25.500. Revisi itu menggunakan Perpres Nomor 28 Tahun 2016.

Timboel menerangkan, seharusnya pemerintah menaikkan iuran JKN pada 2018. Namun, tidak dilakukan. Kenaikan baru dilakukan pada awal Januari 2020 dengan payung hukum Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. "Alasannya hanya satu, yaitu takut gaduh karena 2018 adalah tahun yang dekat dengan Pemilu 2019. Waktu itu sudah masa kampanye," ungkapnya.

Dia menduga, penundaan kenaikan itu karena alasan elektoral. Pemerintah tidak mungkin menyatakan hal itu ke publik. Akibat tidak dinaikkannya iuran pada 2018, pemerintah menggelontorkan tambahan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp10,2 triliun. ( ).

Meski sudah disuntik, BPJS Kesehatan masih punya tanggungan membayar klaim ke rumah sakit (RS) Rp9,1 triliun. Utang terbawa ke tahun berikutnya dan total defisitnya sempat diestimasi mencapai Rp32,8 triliun.

Menurut Timboel, pemerintah mempunyai alasan untuk melanggar regulasi dengan tidak menaikkan iuran pada 2018. Masalahnya, saat ini situasi masyarakat sedang sangat sulit karena pandemi Covid-19, pemerintah malah memaksakan kenaikan iuran peserta mandiri Kelas I dan II pada 1 Juli 2020. "Saya kira pemerintah harus fair lah dalam melihat situasi," pungkasnya. ( ).
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More