Din Syamsuddin Sebut Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan Bentuk Kezaliman yang Nyata
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsuddin menilai langkah pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang tidak bijak. Pemerintah didesak mencabut keputusan tersebut.
"Keputusan itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata, dan hanya lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat. Di tengah kesusahan akibat wabah Corona, pemerintah menambah kesusahan itu," kata Din, Jumat (15/5/2020).
Menurut Din, pihaknya menuntut pemerintah untuk menarik kembali keputusannya, karena kalau dipaksakan maka rakyat dapat melakukan pengabaian sosial (social disobedience). (Baca Juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Rawan Digugat Masyarakat).
Dia pun mempertanyakan mengapa BPJS sering berutang kepada rumah sakit. "Ke mana uang rakyat selama ini? Jika benar uang itu dipakai untuk proyek infrastruktur, maka itu dapat dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat," pungkasnya.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020. yang sekaligus merevisi Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kenaikan iuran ini ditujukan untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berikut rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dirangkum SINDOnews dari Perpres 64/2020:
1. Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Peserta Mandiri (Pasal 34):
- Kelas I, dengan tarif lama sebesar Rp80.000 akan tetap
Sementara untuk bulan Februari dan Maret 2020, iuran memakai tarif baru yang dibatalkan, yaitu Rp160.000.
- Kelas II, dengan tarif lama sebesar Rp51.000 akan tetap selama bulan April, Mei, dan Juni. Per Juli 2020, tarif naik menjadi Rp100.000. Untuk bulan Februari dan Maret 2020, iuran memakai tarif baru yang dibatalkan yaitu Rp110.000.
- Kelas III, dengan tarif lama Rp25.500 tetap pada 2020 dan akan naik menjadi Rp35.000 pada 2021 dan tahun berikutnya. Pemerintah mensubsidi sebesar Rp7.000. Untuk bulan Februari dan Maret 2020, iuran memakai tarif baru yang dibatalkan sebesar Rp42.000.
2. Peserta Penerima Upah (PPU) (Pasal 32):
- Untuk pegawai swasta, tarif tetap sebesar 5%, namun batas atas gaji yang dipotong oleh BPJS Kesehatan naik dari Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Untuk batas bawah sesuai UMP di daerah masing-masing.
- Untuk ASN dan TNI/Polri, tarif tetap sebesar 5% dan batas bawah yang dipotong naik dari Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Tetapi, batas atas tidak lagi menghitung gaji pokok, melainkan penghasilan yang diterima (take home pay).
Untuk PPU, tarif 5% dibagi, sebesar 4% dibayar oleh pemberi kerja, dan 1% dibayarkan oleh peserta. Khusus untuk ASN dan TNI/Polri, iuran dibayarkan langsung lewat kas negara.
3. Penerima Bantuan Iuran (PBI) (Pasal 29):
Untuk PBI, iuran mereka naik dari Rp23.000 menjadi Rp42.000. Kenaikan ini berlaku per 1 Agustus 2019. Namun, iuran PBI sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah pusat. ( ).
"Keputusan itu merupakan bentuk kezaliman yang nyata, dan hanya lahir dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat. Di tengah kesusahan akibat wabah Corona, pemerintah menambah kesusahan itu," kata Din, Jumat (15/5/2020).
Menurut Din, pihaknya menuntut pemerintah untuk menarik kembali keputusannya, karena kalau dipaksakan maka rakyat dapat melakukan pengabaian sosial (social disobedience). (Baca Juga: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Rawan Digugat Masyarakat).
Dia pun mempertanyakan mengapa BPJS sering berutang kepada rumah sakit. "Ke mana uang rakyat selama ini? Jika benar uang itu dipakai untuk proyek infrastruktur, maka itu dapat dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat," pungkasnya.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020. yang sekaligus merevisi Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kenaikan iuran ini ditujukan untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berikut rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dirangkum SINDOnews dari Perpres 64/2020:
1. Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Peserta Mandiri (Pasal 34):
- Kelas I, dengan tarif lama sebesar Rp80.000 akan tetap
Sementara untuk bulan Februari dan Maret 2020, iuran memakai tarif baru yang dibatalkan, yaitu Rp160.000.
- Kelas II, dengan tarif lama sebesar Rp51.000 akan tetap selama bulan April, Mei, dan Juni. Per Juli 2020, tarif naik menjadi Rp100.000. Untuk bulan Februari dan Maret 2020, iuran memakai tarif baru yang dibatalkan yaitu Rp110.000.
- Kelas III, dengan tarif lama Rp25.500 tetap pada 2020 dan akan naik menjadi Rp35.000 pada 2021 dan tahun berikutnya. Pemerintah mensubsidi sebesar Rp7.000. Untuk bulan Februari dan Maret 2020, iuran memakai tarif baru yang dibatalkan sebesar Rp42.000.
2. Peserta Penerima Upah (PPU) (Pasal 32):
- Untuk pegawai swasta, tarif tetap sebesar 5%, namun batas atas gaji yang dipotong oleh BPJS Kesehatan naik dari Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Untuk batas bawah sesuai UMP di daerah masing-masing.
- Untuk ASN dan TNI/Polri, tarif tetap sebesar 5% dan batas bawah yang dipotong naik dari Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Tetapi, batas atas tidak lagi menghitung gaji pokok, melainkan penghasilan yang diterima (take home pay).
Untuk PPU, tarif 5% dibagi, sebesar 4% dibayar oleh pemberi kerja, dan 1% dibayarkan oleh peserta. Khusus untuk ASN dan TNI/Polri, iuran dibayarkan langsung lewat kas negara.
3. Penerima Bantuan Iuran (PBI) (Pasal 29):
Untuk PBI, iuran mereka naik dari Rp23.000 menjadi Rp42.000. Kenaikan ini berlaku per 1 Agustus 2019. Namun, iuran PBI sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah pusat. ( ).
(zik)