Fenomena Utang dalam Pandemi
Senin, 18 Januari 2021 - 04:44 WIB
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan
PANDEMI Covid-19 yang belum juga usai membawa perekonomian dunia mengalami tekanan berat. Wabah yang melanda semua belahan dunia ini seolah mengulang peristiwa besar seabad silam dan menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan serta ekonomi secara signifikan di seluruh negara, termasuk Indonesia.
Pada kondisi ini pemerintah bergerak cepat melalui kebijakan counter-cyclical dan APBN telah menjadi instrumen paling efektif untuk menahan pemburukan kondisi ekonomi nasional. Dana Moneter Internasional (IMF) menilai Indonesia telah mengatasi tekanan ekonomi dan sosial yang timbul akibat pandemi Covid-19 dengan paket kebijakan komprehensif dan terkoordinasi. Sayangnya, ketika pemerintah kian memperbesar belanjanya untuk mengatasi jatuhnya Indonesia dalam jurang resesi yang kian dalam, Indonesia harus berhadapan dengan angka defisit yang melebar.
Sejatinya, defisit anggaran bukanlah suatu hal yang tabu, selama dana yang dianggarkan untuk pembiayaan dan belanja negara yang dikeluarkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi serta dapat terukur secara outcome, bukan berdasarkan ouput. Batasan defisit anggaran belanja diatur dalam Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Defisit anggaran ditetapkan maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari produk domestik bruto (PDB). Kini, akibat adanya pandemi Covid-19, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2020, pemerintah menetapkan batasan defisit anggaran dengan melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan Covid-19. Pelebaran defisit itu dilakukan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022.
Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN sepanjang 2020 mencapai Rp956,3 triliun. Defisit tersebut mencapai 6,09% dari PDB. Defisit tersebut juga lebih kecil dari target pemerintah, 6,34%. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kondisi fiskal Indonesia masih lebih baik bila dibandingkan dengan negara lain di tengah kondisi pandemi. Defisit anggaran Malaysia tercatat 6,5%, Filipina 8,1%, India 13,1%, Jerman 8,2%, Prancis 10,8%, dan Amerika Serikat 18,7% dari PDB. Tekanan Covid-19 menyebabkan semua negara di dunia mengeluarkan respons kebijakan fiskal yang luar biasa. Pada sisi penerimaan, kebijakan fiskal seluruh dunia diarahkan untuk membantu cashflow masyarakat dan dunia usaha melalui insentif perpajakan. Dari sisi belanja, dilakukan refocusing dan realokasi untuk mendukung penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Hasilnya, negara-negara di dunia mengalami pelebaran defisit yang sangat dalam. Kendati demikian, realisasi defisit fiskal Indonesia 2020 masih termasuk cukup moderat.
Menakar Utang Negara
Implikasi dari kebijakan counter-cyclical adalah defisit APBN yang melebar dan semakin sempitnya ruang fiskal. Melebarnya defisit APBN perlu didukung oleh pembiayaan, di tengah menurunnya realisasi penerimaan negara. Terkait hal itu, utang masih mendominasi sumber pembiayaan pemerintah. Selain utang, sumber pembiayaan pemerintah lain adalah nonutang yang berasal dari sumber internal pemerintah berupa pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), pos dana abadi pemerintah dan dana yang bersumber dari badan layanan umum (BLU). Instrumen utang yang digunakan pemerintah berupa surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. SBN terdiri atas Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBBN). Di samping SBN, pemerintah juga melakukan pinjaman yang dapat berasal dari luar negeri yang berbentuk valas maupun dalam negeri dalam denominasi rupiah.
Secara khusus, pembiayaan yang bersumber dari utang kerap menjadi polemik dan cenderung dianggap buruk. Padahal, utang merupakan alat ungkit (leverage) yang, apabila dikelola dengan baik, dapat membuahkan manfaat. Sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam menambal defisit akibat pandemi Covid 19, utang menjadi salah satu opsi untuk meredam dampak krisis dan membantu pemerintah untuk keluar dari resesi.
Staf Khusus Menteri Keuangan
PANDEMI Covid-19 yang belum juga usai membawa perekonomian dunia mengalami tekanan berat. Wabah yang melanda semua belahan dunia ini seolah mengulang peristiwa besar seabad silam dan menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan serta ekonomi secara signifikan di seluruh negara, termasuk Indonesia.
Pada kondisi ini pemerintah bergerak cepat melalui kebijakan counter-cyclical dan APBN telah menjadi instrumen paling efektif untuk menahan pemburukan kondisi ekonomi nasional. Dana Moneter Internasional (IMF) menilai Indonesia telah mengatasi tekanan ekonomi dan sosial yang timbul akibat pandemi Covid-19 dengan paket kebijakan komprehensif dan terkoordinasi. Sayangnya, ketika pemerintah kian memperbesar belanjanya untuk mengatasi jatuhnya Indonesia dalam jurang resesi yang kian dalam, Indonesia harus berhadapan dengan angka defisit yang melebar.
Sejatinya, defisit anggaran bukanlah suatu hal yang tabu, selama dana yang dianggarkan untuk pembiayaan dan belanja negara yang dikeluarkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi serta dapat terukur secara outcome, bukan berdasarkan ouput. Batasan defisit anggaran belanja diatur dalam Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Defisit anggaran ditetapkan maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari produk domestik bruto (PDB). Kini, akibat adanya pandemi Covid-19, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2020, pemerintah menetapkan batasan defisit anggaran dengan melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan Covid-19. Pelebaran defisit itu dilakukan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022.
Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN sepanjang 2020 mencapai Rp956,3 triliun. Defisit tersebut mencapai 6,09% dari PDB. Defisit tersebut juga lebih kecil dari target pemerintah, 6,34%. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kondisi fiskal Indonesia masih lebih baik bila dibandingkan dengan negara lain di tengah kondisi pandemi. Defisit anggaran Malaysia tercatat 6,5%, Filipina 8,1%, India 13,1%, Jerman 8,2%, Prancis 10,8%, dan Amerika Serikat 18,7% dari PDB. Tekanan Covid-19 menyebabkan semua negara di dunia mengeluarkan respons kebijakan fiskal yang luar biasa. Pada sisi penerimaan, kebijakan fiskal seluruh dunia diarahkan untuk membantu cashflow masyarakat dan dunia usaha melalui insentif perpajakan. Dari sisi belanja, dilakukan refocusing dan realokasi untuk mendukung penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Hasilnya, negara-negara di dunia mengalami pelebaran defisit yang sangat dalam. Kendati demikian, realisasi defisit fiskal Indonesia 2020 masih termasuk cukup moderat.
Menakar Utang Negara
Implikasi dari kebijakan counter-cyclical adalah defisit APBN yang melebar dan semakin sempitnya ruang fiskal. Melebarnya defisit APBN perlu didukung oleh pembiayaan, di tengah menurunnya realisasi penerimaan negara. Terkait hal itu, utang masih mendominasi sumber pembiayaan pemerintah. Selain utang, sumber pembiayaan pemerintah lain adalah nonutang yang berasal dari sumber internal pemerintah berupa pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), pos dana abadi pemerintah dan dana yang bersumber dari badan layanan umum (BLU). Instrumen utang yang digunakan pemerintah berupa surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. SBN terdiri atas Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBBN). Di samping SBN, pemerintah juga melakukan pinjaman yang dapat berasal dari luar negeri yang berbentuk valas maupun dalam negeri dalam denominasi rupiah.
Secara khusus, pembiayaan yang bersumber dari utang kerap menjadi polemik dan cenderung dianggap buruk. Padahal, utang merupakan alat ungkit (leverage) yang, apabila dikelola dengan baik, dapat membuahkan manfaat. Sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam menambal defisit akibat pandemi Covid 19, utang menjadi salah satu opsi untuk meredam dampak krisis dan membantu pemerintah untuk keluar dari resesi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda