AS Veto Keanggotaan Palestina di PBB, Fadli Zon Ingatkan Konsekuensinya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amerika Serikat (AS) kembali memveto draf resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) terkait upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB pada Kamis (18/4/2024) sore waktu New York. Draf yang diajukan Aljazair itu didukung 12 dari total 15 negara anggota DK PBB.
Sementara dua anggota DK PBB yaitu Inggris dan Swiss memilih abstain dan Amerika Serikat menolak dengan veto. Menyikapi hal itu, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon mengecam keras langkah AS itu.
“Sangat disayangkan veto AS atas draf resolusi tersebut. Veto ini menunjukkan sikap standar ganda dan anti perdamaian. Semakin penting adanya reformasi institusi tatanan dunia. Jadi pasti ada konsekuensi dari tindakan AS itu,” ujar Fadli mengingatkan, Sabtu (20/4/2024).
Konsekuensi pertama, kata Fadli, terkait tuntutan lebih keras urgensi dan kedaruratan melakukan reformasi DK PBB supaya lebih demokratis, fair, representatif, dan efektif dalam menunaikan fungsinya menjaga keamanan dan kedamaian internasional seperti tertuang di dalam Piagam PBB Pasal 24.
“Mekanisme veto terbukti seringkali menghambat penegakan keamanan dan perdamaian internasional di berbagai konflik di dunia, terutama ketika konflik tersebut beririsan langsung dengan kepentingan negara-negara pemegang hak veto,” ujarnya.
Dia menuturkan, mekanisme veto secara faktual telah benar-benar menyandera penegakan keamanan dan perdamaian dunia. “Bukti paling sahih atas fakta tersebut adalah berlarut-larutnya konflik Palestina-Israel yang sudah hampir 80 tahun berjalan sejak 1947, termasuk kegagalan menghentikan genosida Israel yang menewaskan lebih dari 34 ribu rakyat Palestina di Jalur Gaza dengan lebih 70 persen adalah anak-anak dan perempuan,” ujarnya.
Konsekuensi lain, kata Fadli, veto kian menegaskan dukungan membabi AS kepada Israel termasuk saat Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. ”Sekadar contoh, sebuah data intelijen yang diberikan kepada Kongres AS menyebutkan bahwa Israel telah menjatuhkan lebih dari 22.000 bom yang dipasok AS di Gaza dalam satu setengah bulan pertama perang sejak 7 Oktober 2023,” ungkap mantan Wakil Ketua DPR itu.
Sementara dua anggota DK PBB yaitu Inggris dan Swiss memilih abstain dan Amerika Serikat menolak dengan veto. Menyikapi hal itu, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon mengecam keras langkah AS itu.
“Sangat disayangkan veto AS atas draf resolusi tersebut. Veto ini menunjukkan sikap standar ganda dan anti perdamaian. Semakin penting adanya reformasi institusi tatanan dunia. Jadi pasti ada konsekuensi dari tindakan AS itu,” ujar Fadli mengingatkan, Sabtu (20/4/2024).
Konsekuensi pertama, kata Fadli, terkait tuntutan lebih keras urgensi dan kedaruratan melakukan reformasi DK PBB supaya lebih demokratis, fair, representatif, dan efektif dalam menunaikan fungsinya menjaga keamanan dan kedamaian internasional seperti tertuang di dalam Piagam PBB Pasal 24.
“Mekanisme veto terbukti seringkali menghambat penegakan keamanan dan perdamaian internasional di berbagai konflik di dunia, terutama ketika konflik tersebut beririsan langsung dengan kepentingan negara-negara pemegang hak veto,” ujarnya.
Dia menuturkan, mekanisme veto secara faktual telah benar-benar menyandera penegakan keamanan dan perdamaian dunia. “Bukti paling sahih atas fakta tersebut adalah berlarut-larutnya konflik Palestina-Israel yang sudah hampir 80 tahun berjalan sejak 1947, termasuk kegagalan menghentikan genosida Israel yang menewaskan lebih dari 34 ribu rakyat Palestina di Jalur Gaza dengan lebih 70 persen adalah anak-anak dan perempuan,” ujarnya.
Konsekuensi lain, kata Fadli, veto kian menegaskan dukungan membabi AS kepada Israel termasuk saat Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. ”Sekadar contoh, sebuah data intelijen yang diberikan kepada Kongres AS menyebutkan bahwa Israel telah menjatuhkan lebih dari 22.000 bom yang dipasok AS di Gaza dalam satu setengah bulan pertama perang sejak 7 Oktober 2023,” ungkap mantan Wakil Ketua DPR itu.