Angin Segar Amerika Serikat di Asia?
Senin, 04 Januari 2021 - 06:05 WIB
Untuk merealisasinya Biden mengutarakan bahwa AS akan merestorasi nilai-nilai demokrasi yang menjadi nilai dasar dalam hidup bernegara. Ambisi Biden itu tidak berhenti di situ saja. Ia berjanji akan menggelar Global Democracy Conference yang akan melibatkan semua negara penting dunia, organisasi internasional, dan kelompok masyarakat sipil.
Ketiga, Build Back Better, platform kampanye Biden-Harris khususnya di bidang ekonomi. Di dalam platform itu disebutkan bahwa Biden-Harris akan mengedepankan industri dalam negeri melalui berbagai inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Tujuannya menghasilkan produk-produk buatan AS oleh orang AS sendiri.
Dalam konteks ini Biden tidak berbeda dengan Trump. Tujuan utamanya adalah memakmurkan kembali AS. Namun bedanya terletak pada pendekatan yang mungkin akan dilakukan oleh Biden sebagai seorang politisi Demokrat yang sangat berpengalaman dan sebagai wakil presiden dua periode mendampingi Barack Obama.
Keempat, komposisi kabinet khususnya portofolio kunci seperti Menteri Luar Negeri. Anthony Blinken sebagai calon Menteri Luar Negeri telah bekerja sama dengan Biden lebih kurang 20 tahun sehingga sangat paham yang dimaui Biden. Blinken juga seorang multilateralis yang mengedepankan dialog dalam menyelesaikan masalah-masalah global seperti perubahan iklim dan pandemi dengan organisasi kesehatan dunia.
Kemungkinan langkah yang akan diambil di satu sisi membuka kembali hubungan baik dengan mitra tradisional di Eropa, Uni Eropa, Asia, dan Australia yang terganggu selama kepemimpinan Trump. AS akan kembali aktif dalam mengatur tata kelola global dengan merestorasi keterlibatan di berbagai organisasi internasional. Namun yang terpenting ujung pangkalnya adalah tetap pada pengembalian kondisi ekonomi domestik AS.
Dinamika Asia
Asia merupakan medan perebutan pengaruh bagi kekuatan-kekuatan global dunia, khususnya AS. Selain telah menjadi “musuh” dalam Perang Dagang selama empat tahun terakhir, China sebagai kekuatan regional semakin menantang kepemimpinan AS dan telah menyajikan berbagai institusi/rezim bagi negara-negara di kawasan, bahkan dalam lingkup global. Untuk menyebut beberapa institusi yang diinisiasi China, antara lain Belt and Road Initiative (BRI), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ketiganya jelas telah berhasil merebut narasi dan secara de facto China memimpin beberapa langkah di depan secara ekonomi terlepas dari beberapa kritik bahwa langkah China tersebut merupakan jebakan utang baru.
Langkah mundur empat tahun lalu jelas tidak akan dilanjutkan lagi oleh Biden dalam memimpin AS. Dapat dibayangkan AS akan mendorongkan ide lama yang ditinggalkan Trump, yaitu Trans-Pacific Partnership (TPP) yang sebenarnya akan lebih rigid bagi negara-negara anggota, termasuk negara Asia Tenggara, bila memutuskan bergabung. Untuk mengejar defisit itu, AS harus kembali dan lebih aktif di Asia.
Dengan asumsi lanskap seperti di atas menjadi pilihan kebijakan AS di bawah Biden, Asia diperkirakan akan semakin panas dan dinamis. Bagi ASEAN dan Indonesia sekaligus, mereka bisa memainkan peran yang lebih strategis melalui implementasi Pandangan ASEAN terhadap Konsep Indo-Pasifik. Dengan menempatkan sentralitas ASEAN, diharapkan hal itu dapat “meredam” tensi antara AS dan China di kawasan ini, sementara di sisi lain berusaha tetap mendapatkan manfaat dari institusi yang telah ada dan kehadiran AS kembali.
Dari sisi ekonomi akan menjadi pertarungan penting. Akankah negara anggota ASEAN termasuk Indonesia bisa memanfaatkannya dengan peningkatan ekspor produk unggulannya ke AS? Bagi Indonesia, akan menjadi sebuah seni diplomasi yang luar biasa cerdas bila Indonesia bisa meyakinkan AS untuk membuka pasarnya lebih lebar tanpa ada ikatan persyaratan bahwa kita harus menjauh dari China yang beberapa tahun belakangan ini getol sekali merangkul kita dengan iming-iming manfaat kepada kita.
Ketiga, Build Back Better, platform kampanye Biden-Harris khususnya di bidang ekonomi. Di dalam platform itu disebutkan bahwa Biden-Harris akan mengedepankan industri dalam negeri melalui berbagai inovasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Tujuannya menghasilkan produk-produk buatan AS oleh orang AS sendiri.
Dalam konteks ini Biden tidak berbeda dengan Trump. Tujuan utamanya adalah memakmurkan kembali AS. Namun bedanya terletak pada pendekatan yang mungkin akan dilakukan oleh Biden sebagai seorang politisi Demokrat yang sangat berpengalaman dan sebagai wakil presiden dua periode mendampingi Barack Obama.
Keempat, komposisi kabinet khususnya portofolio kunci seperti Menteri Luar Negeri. Anthony Blinken sebagai calon Menteri Luar Negeri telah bekerja sama dengan Biden lebih kurang 20 tahun sehingga sangat paham yang dimaui Biden. Blinken juga seorang multilateralis yang mengedepankan dialog dalam menyelesaikan masalah-masalah global seperti perubahan iklim dan pandemi dengan organisasi kesehatan dunia.
Kemungkinan langkah yang akan diambil di satu sisi membuka kembali hubungan baik dengan mitra tradisional di Eropa, Uni Eropa, Asia, dan Australia yang terganggu selama kepemimpinan Trump. AS akan kembali aktif dalam mengatur tata kelola global dengan merestorasi keterlibatan di berbagai organisasi internasional. Namun yang terpenting ujung pangkalnya adalah tetap pada pengembalian kondisi ekonomi domestik AS.
Dinamika Asia
Asia merupakan medan perebutan pengaruh bagi kekuatan-kekuatan global dunia, khususnya AS. Selain telah menjadi “musuh” dalam Perang Dagang selama empat tahun terakhir, China sebagai kekuatan regional semakin menantang kepemimpinan AS dan telah menyajikan berbagai institusi/rezim bagi negara-negara di kawasan, bahkan dalam lingkup global. Untuk menyebut beberapa institusi yang diinisiasi China, antara lain Belt and Road Initiative (BRI), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ketiganya jelas telah berhasil merebut narasi dan secara de facto China memimpin beberapa langkah di depan secara ekonomi terlepas dari beberapa kritik bahwa langkah China tersebut merupakan jebakan utang baru.
Langkah mundur empat tahun lalu jelas tidak akan dilanjutkan lagi oleh Biden dalam memimpin AS. Dapat dibayangkan AS akan mendorongkan ide lama yang ditinggalkan Trump, yaitu Trans-Pacific Partnership (TPP) yang sebenarnya akan lebih rigid bagi negara-negara anggota, termasuk negara Asia Tenggara, bila memutuskan bergabung. Untuk mengejar defisit itu, AS harus kembali dan lebih aktif di Asia.
Dengan asumsi lanskap seperti di atas menjadi pilihan kebijakan AS di bawah Biden, Asia diperkirakan akan semakin panas dan dinamis. Bagi ASEAN dan Indonesia sekaligus, mereka bisa memainkan peran yang lebih strategis melalui implementasi Pandangan ASEAN terhadap Konsep Indo-Pasifik. Dengan menempatkan sentralitas ASEAN, diharapkan hal itu dapat “meredam” tensi antara AS dan China di kawasan ini, sementara di sisi lain berusaha tetap mendapatkan manfaat dari institusi yang telah ada dan kehadiran AS kembali.
Dari sisi ekonomi akan menjadi pertarungan penting. Akankah negara anggota ASEAN termasuk Indonesia bisa memanfaatkannya dengan peningkatan ekspor produk unggulannya ke AS? Bagi Indonesia, akan menjadi sebuah seni diplomasi yang luar biasa cerdas bila Indonesia bisa meyakinkan AS untuk membuka pasarnya lebih lebar tanpa ada ikatan persyaratan bahwa kita harus menjauh dari China yang beberapa tahun belakangan ini getol sekali merangkul kita dengan iming-iming manfaat kepada kita.
tulis komentar anda