Keberagamaan Halal-Haram

Senin, 28 Desember 2020 - 05:30 WIB
Hasibullah Satrawi (Foto: Istimewa)
Hasibullah Satrawi

Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir

HALAL dan haram, dua istilah kunci di kalangan umat beragama, khususnya umat Islam. Umat Islam harus melakukan hal-hal yang dihalalkan sekaligus menjauhi hal-hal yang diharamkan. Halal-haram pun menjadi kunci perilaku keberagamaan umat Islam.

Secara keagamaan, halal-haram sama penting untuk diketahui oleh umat Islam, yaitu untuk dilakukan dalam konteks halal dan untuk dijauhi dalam konteks haram. Namun, secara ekonomi dan bisnis halal-haram menimbulkan sikap berbeda, khususnya di dunia usaha. Halal menjadi daya tarik secara marketing mengingat status halal akan meyakinkan konsumen untuk membeli sebuah produk. Sebaliknya, status haram akan membuat konsumen menjauhi (tidak membeli) sebuah produk, khususnya dari kalangan konsumen yang taat dalam beragama.

Daya tarik secara marketing seperti ini akhirnya membuat label halal menjadi kebutuhan dunia usaha. Sedangkan label haram tidak menjadi kebutuhan mengingat label haram justru membuat konsumen menjauhi suatu produk. Padahal, secara keagamaan, label haram sejatinya sama pentingnya dengan label halal untuk diketahui oleh masyarakat.



Karenanya, jangan heran bila banyak produk yang dipasangi label halal, walaupun produk tersebut bukan makanan atau minuman. Sebagai contoh, penulis pernah menemukan wajan (tempat penggorengan) yang diberi label halal. Pun demikian dengan sebagian produk kosmetik. Bahkan pemerintah belakangan tampak bekerja keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksin Covid-19 yang dipakai pemerintah adalah halal. Hal ini dilakukan agar masyarakat (khususnya yang beragama Islam) tidak ragu untuk menggunakan vaksin Covid-19.

Padahal, sebagai obat dan karena pertimbangan darurat, kehalalan vaksin tidak menjadi keharusan secara hukum Islam. Karena untuk kebutuhan obat atau darurat, “yang terlarang” pun diperbolehkan sesuai kaidah hukum Islam, ad-dharuratu tubihul mahdzurat (darurat membuat yang terlarang menjadi boleh).

Secara kebahasaan, halal berasal dari bahasa Arab yang bisa diartikan sebagai “yang boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi”. Sebaliknya, haram juga berasal dari bahasa Arab yang bisa diartikan sebagai “yang tidak boleh dilakukan, digunakan atau dikonsumsi”. Dalam Islam, yang menentukan halal dan haram adalah Tuhan: Allah menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan praktik riba (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Karenanya, dalam Islam, seorang ulama (biasa disebut dengan istilah mujtahid) tugasnya bukan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, melainkan hanya menyatakan atau menampakkan (mudzhir) kehalalan atau keharaman sesuatu yang belum tampak dalam pandangan maupun pengetahuan masyarakat umum. Ismail Kuksal dalam buku Taghayyurul Ahkam fis Syariah Al-Islamiyah (2000) menyebut ini dengan istilah penetapan hukum dalam Islam (at-tasyri’ fil islam) adalah hak Allah (haqqullah). Adapun hak manusia (haqqulbasyar) adalah ijtihad—atau menampakkan hukum Allah yang ada—(hlm 38).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More