Potensi Radikalisme Turun, Literasi Digital Belum Mampu Jadi Daya Tangkal

Kamis, 17 Desember 2020 - 11:30 WIB
“Itu tantangan buat kita bahwa hilangnya pemahaman mereka terhadap ke-Indonesiaan, membuat mereka harus larut dalam kondisi seperti ini. Kelompok jaringan teror terus perang opini di dunia maya untuk meyakinkan seluruh isi dunia ini bahwa mereka layak untuk diikuti. Kita harus terus berupaya jangan sampai semakin banyak korban dari generasi milenial, generasi z, kemudian menyasar kaum orang tua agar tidak jadi bagian pergerakan itu,” harapnya.

Survei ini juga mengungkap korelasi antara indeks kebinekaan dan indeks potensi radikalisme berbanding terbalik, dengan nilai korelasi -0.94.

Artinya semakin tinggi tingkat kebinekaan seseorang maka potensi radikalisme semakin rendah. Tingkat pemahaman dan sikap terhadap kebhinnekaan yang terefleksikan melalui indeks kebhinnekaan menunjukkan bahwa indeks kebhinnekaan cenderung lebih rendah pada perempuan, masyarakat urban, generasi muda (gen Z dan milenial) dan juga mereka yang aktif di internet.

Indeks kebinekaan pada perempuan mencapai 82,5%, pada kalangan urban mencapai 82.6%, pada gen Z mencapai 82,2%, pada milenial mencapai 82,5%, pada mereka yang aktif mencari konten keagamaan mencapai 82.5% dan pada mereka yang menyebar konten keagamaan mencapai 81,8%.

Selain itu, literasi digital dinilai belum mampu menjadi daya tangkal efektif. Literasi digital (yang diukur dari perilaku AISAS) belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variabel yang tidak signifikan (r=0.004).

Perilaku AISAS juga belum mampu mendorong peningkatan tingkat kebhinnekaan. Nilai korelasi antara antara kedua variabel tidak signifikan (r=0.074).

Tidak bermaknanya perilaku AISAS dalam menjadi daya tangkal efektif dalam mereduksi radikalisme disebabkan karena proporsi netizen yang berperilaku AISAS masih rendah (5,8%). Netizen rentan terhadap paparan radikalisme Mayoritas responden mengakses internet (75,5%).

Mayoritas gen Z mengakses internet (93%), demikian juga Milenial (85%), sedangkan gen X yang mengakses internet jumlahnya mencapai 54%. Netizen (mereka yang mengakses internet) mayoritas pernah menerima konten keagamaan (83%), mencari konten keagamaan (77%) dan menyebar konten keagamaan (52%). Mayoritas netizen sudah pada kategori medium user (aktif akses internet perhari 1-3 jam) dan heavy user (aktif akses internet). Mereka yang masuk kategori medium user persentasenya mencapai 34.6%, dan mereka yang masuk kategori heavy user mencapai 27.1%.

“Kita perlu terus memberikan nasehat kepada anak-anak muda dan kemudian mengawasi. Bagaimana kita memberikan pendidikan yang baik kepada generasi muda khusunya agar cerdas menggunakan dunia maya. Karena tanpa literasi dan edukasi, mereka akan menjadi seperti masuk hutan belantara yang tidak tahu arahnya kemana. Mereka harus diarahkan agar generasi muda jangan sampai hobi mengkonsumsi informasi terkait radikalisme,” papar Boy Rafli.

Selain itu, konten-konten tentang kebhinnekaan, nasionalisme, dan moderasi beragama harus diperkuat. Pasalnya, kelompok jaringan teror banyak menggunakan simbol agama, seolah-olah mereka berjuang atas nama agama. Generasi muda harus terus dicerdaskan dengan melibatkan tokoh-tokoh untuk memberikan wawasan keagamaan yang baik terutama dalam moderasi beragama.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More