Potensi Radikalisme Turun, Literasi Digital Belum Mampu Jadi Daya Tangkal
Kamis, 17 Desember 2020 - 11:30 WIB
“Mereka tahu karena yang disasar ini anak muda, jadi bukan lagi yang tua-tua. Bagi mereka yang tua itu masa lalu, tapi masa depan mereka adalah generasi muda,” kata Boy.
Selain menurunnya potensi radikalisme secara umum, survei juga menemukan terjadinya feminisasi radikalisme. Indeks potensi radikalisme pada perempuan sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki.
Indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12,3% sedangkan indeks potensi radikalisme pada laki-laki pencapai 12,1%.
Selain itu juga terjadi urbanisasi radikalisme. Urbanisasi radikalisme merujuk pada lebih tingginya indeks potensi potensi radikalisme dikalangan urban (perkotaan) dibanding di kalangan rural (perdesaan). Temuan penelitian 2020 menunjukkan indeks potensi radikalisme dimasyarakat urban mencapai 12,3% dan di masyarakat rural mencapai 12,1%.
(Baca juga: Perkuat Moderasi Beragama untuk Lawan Radikalisme )
Terjadi pula radikalisasi generasi muda dan netizen yang menunjukkan indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12,7%. Kemudian pada milenial mencapai 12,4% dan pada gen X mencapai 11,7%.
Hal ini dinilai tidak terlepas dengan fenomena netizen yang aktif mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi (12,6%) dibanding dengan netizen yang tidak aktif mencari konten keagaman di internet (10,8%). Juga netizen yang suka menyebar konten keagamaan ternyata lebih tinggi (13,3% )dibanding netizen yang tidak menyebar konten keagamaan (11,2%).
Boy menilai keberadaan jaringan teroris global seperti Alqaeda dan ISIS sangat mempengaruhi cara berpikir netizen terutama generasi muda. Kelompok teroris ini berharap dengan penetrasi melalui dunia digital akan semakin banyak pendukung mereka yang mengusung ideologi terorisme yang karakternya mengedepankan kekerasan, intoleran, menghalalkan segala cara. Intinya mereka ingin memiliki pengikut yang masif di dunia ini.
“Kalau kita lihat dari apa yang mereka capai, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, bayangkan dari belahan dunia sekitar 120 negara mau berangkat untuk mengikuti seruan ISIS. PBB mencatat antara 35 ribu-40 ribu, seluruh warga dunia terprovokasi dan kemudian berangkat untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok ini, yaitu ikut dalam “perjuangan mereka” dengan seolah-olah sedang berjuang atas nama agama,” papar mantan Wakil Kepala Lemdiklat Polri ini.
Dia menambahkan, kondisi ini sangat memprihatinkan, terutama terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang tidak bisa memahami jati diri bangsa. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi.
Selain menurunnya potensi radikalisme secara umum, survei juga menemukan terjadinya feminisasi radikalisme. Indeks potensi radikalisme pada perempuan sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki.
Indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12,3% sedangkan indeks potensi radikalisme pada laki-laki pencapai 12,1%.
Selain itu juga terjadi urbanisasi radikalisme. Urbanisasi radikalisme merujuk pada lebih tingginya indeks potensi potensi radikalisme dikalangan urban (perkotaan) dibanding di kalangan rural (perdesaan). Temuan penelitian 2020 menunjukkan indeks potensi radikalisme dimasyarakat urban mencapai 12,3% dan di masyarakat rural mencapai 12,1%.
(Baca juga: Perkuat Moderasi Beragama untuk Lawan Radikalisme )
Terjadi pula radikalisasi generasi muda dan netizen yang menunjukkan indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12,7%. Kemudian pada milenial mencapai 12,4% dan pada gen X mencapai 11,7%.
Hal ini dinilai tidak terlepas dengan fenomena netizen yang aktif mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi (12,6%) dibanding dengan netizen yang tidak aktif mencari konten keagaman di internet (10,8%). Juga netizen yang suka menyebar konten keagamaan ternyata lebih tinggi (13,3% )dibanding netizen yang tidak menyebar konten keagamaan (11,2%).
Boy menilai keberadaan jaringan teroris global seperti Alqaeda dan ISIS sangat mempengaruhi cara berpikir netizen terutama generasi muda. Kelompok teroris ini berharap dengan penetrasi melalui dunia digital akan semakin banyak pendukung mereka yang mengusung ideologi terorisme yang karakternya mengedepankan kekerasan, intoleran, menghalalkan segala cara. Intinya mereka ingin memiliki pengikut yang masif di dunia ini.
“Kalau kita lihat dari apa yang mereka capai, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, bayangkan dari belahan dunia sekitar 120 negara mau berangkat untuk mengikuti seruan ISIS. PBB mencatat antara 35 ribu-40 ribu, seluruh warga dunia terprovokasi dan kemudian berangkat untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok ini, yaitu ikut dalam “perjuangan mereka” dengan seolah-olah sedang berjuang atas nama agama,” papar mantan Wakil Kepala Lemdiklat Polri ini.
Dia menambahkan, kondisi ini sangat memprihatinkan, terutama terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang tidak bisa memahami jati diri bangsa. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi.
tulis komentar anda