Potensi Radikalisme Turun, Literasi Digital Belum Mampu Jadi Daya Tangkal

Kamis, 17 Desember 2020 - 11:30 WIB
loading...
Potensi Radikalisme...
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Forum Koordinaasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Nusa Dua, Bali, Rabu 16 Desember 2020 malam. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merilis Survei Nasional BNPT 2020 tentang radikalisme. Survei itu dirilis di sela-sela pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Forum Koordinaasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Nusa Dua, Bali, Rabu 16 Desember 2020 malam.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan fakta potensi radikalisme tahun 2020 menurun, terjadi feminisasi radikalisme, urbanisasi radikalisme, radikalisasi generasi muda dan netizen, serta literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal efektif melawan radikalisasi.

Berdasarkan survei yang dilakukan bekerja sama dengan Alvara Strategi Indonesia, The Nusa Institute, Nasaruddin Umar Office, dan Litbang Kementerian Agama (Kemenag) didapat fakta indeks Indeks potensi radikalisme mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.

Indeks potensi radikalisme tahun 2020 mencapai 14,0 (pada skala 0-100) atau 12,2% (dalam persentase) menurun dibanding tahun 2019 yang mencapai 38,4 (pada skala 0-100).

“Ini merupakan kabar gembira, artinya kerja-kerja kontra-radikalisme telah membuahkan hasil. Menurunnya potensi radikalisme, jangan sampai membuat seluruh elemen yang terlibat dalam kerja-kerja kontra radikalisme menjadi berpuas diri dan terlena. Justru harus terus lebih keras lagi melakukan diseminasi untuk melawan propaganda kelompok radikal intoleran dan radikal terorisme,” tutur Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar.

Dia menambahkan, masalah proses radikalisasi di Indonesia secara global cenderung menurun. Sesuai Global Index Terrorism, Indonesia menempat urutan ke-37. Di ASEAN, posisi itu lebih rendah dibandingkan Filipina dan Thailand.

( )

Kendati demikian, Boy menilai kewaspadaan harus terus dilakukan. Dia melihat bahwa penetrasi dari jaringan teroris internasional dalam proses radikalisasi itu dengan keberadaan dunia maya atau digital tidak bisa dihindarkan.
Pasalnya, kelompok teroris itu melihat pangsa pasarnya seperti generasi milenial, generasi z, penggunanya sangat tinggi di dunia maya.

“Mereka tahu karena yang disasar ini anak muda, jadi bukan lagi yang tua-tua. Bagi mereka yang tua itu masa lalu, tapi masa depan mereka adalah generasi muda,” kata Boy.

Selain menurunnya potensi radikalisme secara umum, survei juga menemukan terjadinya feminisasi radikalisme. Indeks potensi radikalisme pada perempuan sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki.

Indeks potensi radikalisme pada perempuan mencapai 12,3% sedangkan indeks potensi radikalisme pada laki-laki pencapai 12,1%.

Selain itu juga terjadi urbanisasi radikalisme. Urbanisasi radikalisme merujuk pada lebih tingginya indeks potensi potensi radikalisme dikalangan urban (perkotaan) dibanding di kalangan rural (perdesaan). Temuan penelitian 2020 menunjukkan indeks potensi radikalisme dimasyarakat urban mencapai 12,3% dan di masyarakat rural mencapai 12,1%.

(Baca juga: Perkuat Moderasi Beragama untuk Lawan Radikalisme)

Terjadi pula radikalisasi generasi muda dan netizen yang menunjukkan indeks potensi radikalisme pada generasi Z mencapai 12,7%. Kemudian pada milenial mencapai 12,4% dan pada gen X mencapai 11,7%.

Hal ini dinilai tidak terlepas dengan fenomena netizen yang aktif mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi (12,6%) dibanding dengan netizen yang tidak aktif mencari konten keagaman di internet (10,8%). Juga netizen yang suka menyebar konten keagamaan ternyata lebih tinggi (13,3% )dibanding netizen yang tidak menyebar konten keagamaan (11,2%).

Boy menilai keberadaan jaringan teroris global seperti Alqaeda dan ISIS sangat mempengaruhi cara berpikir netizen terutama generasi muda. Kelompok teroris ini berharap dengan penetrasi melalui dunia digital akan semakin banyak pendukung mereka yang mengusung ideologi terorisme yang karakternya mengedepankan kekerasan, intoleran, menghalalkan segala cara. Intinya mereka ingin memiliki pengikut yang masif di dunia ini.

“Kalau kita lihat dari apa yang mereka capai, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, bayangkan dari belahan dunia sekitar 120 negara mau berangkat untuk mengikuti seruan ISIS. PBB mencatat antara 35 ribu-40 ribu, seluruh warga dunia terprovokasi dan kemudian berangkat untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok ini, yaitu ikut dalam “perjuangan mereka” dengan seolah-olah sedang berjuang atas nama agama,” papar mantan Wakil Kepala Lemdiklat Polri ini.

Dia menambahkan, kondisi ini sangat memprihatinkan, terutama terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang tidak bisa memahami jati diri bangsa. Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi.

“Itu tantangan buat kita bahwa hilangnya pemahaman mereka terhadap ke-Indonesiaan, membuat mereka harus larut dalam kondisi seperti ini. Kelompok jaringan teror terus perang opini di dunia maya untuk meyakinkan seluruh isi dunia ini bahwa mereka layak untuk diikuti. Kita harus terus berupaya jangan sampai semakin banyak korban dari generasi milenial, generasi z, kemudian menyasar kaum orang tua agar tidak jadi bagian pergerakan itu,” harapnya.

Survei ini juga mengungkap korelasi antara indeks kebinekaan dan indeks potensi radikalisme berbanding terbalik, dengan nilai korelasi -0.94.
Artinya semakin tinggi tingkat kebinekaan seseorang maka potensi radikalisme semakin rendah. Tingkat pemahaman dan sikap terhadap kebhinnekaan yang terefleksikan melalui indeks kebhinnekaan menunjukkan bahwa indeks kebhinnekaan cenderung lebih rendah pada perempuan, masyarakat urban, generasi muda (gen Z dan milenial) dan juga mereka yang aktif di internet.

Indeks kebinekaan pada perempuan mencapai 82,5%, pada kalangan urban mencapai 82.6%, pada gen Z mencapai 82,2%, pada milenial mencapai 82,5%, pada mereka yang aktif mencari konten keagamaan mencapai 82.5% dan pada mereka yang menyebar konten keagamaan mencapai 81,8%.

Selain itu, literasi digital dinilai belum mampu menjadi daya tangkal efektif. Literasi digital (yang diukur dari perilaku AISAS) belum mampu menjadi daya tangkal yang efektif. Hal ini ditunjukkan dari nilai korelasi antara kedua variabel yang tidak signifikan (r=0.004).

Perilaku AISAS juga belum mampu mendorong peningkatan tingkat kebhinnekaan. Nilai korelasi antara antara kedua variabel tidak signifikan (r=0.074).

Tidak bermaknanya perilaku AISAS dalam menjadi daya tangkal efektif dalam mereduksi radikalisme disebabkan karena proporsi netizen yang berperilaku AISAS masih rendah (5,8%). Netizen rentan terhadap paparan radikalisme Mayoritas responden mengakses internet (75,5%).

Mayoritas gen Z mengakses internet (93%), demikian juga Milenial (85%), sedangkan gen X yang mengakses internet jumlahnya mencapai 54%. Netizen (mereka yang mengakses internet) mayoritas pernah menerima konten keagamaan (83%), mencari konten keagamaan (77%) dan menyebar konten keagamaan (52%). Mayoritas netizen sudah pada kategori medium user (aktif akses internet perhari 1-3 jam) dan heavy user (aktif akses internet). Mereka yang masuk kategori medium user persentasenya mencapai 34.6%, dan mereka yang masuk kategori heavy user mencapai 27.1%.

“Kita perlu terus memberikan nasehat kepada anak-anak muda dan kemudian mengawasi. Bagaimana kita memberikan pendidikan yang baik kepada generasi muda khusunya agar cerdas menggunakan dunia maya. Karena tanpa literasi dan edukasi, mereka akan menjadi seperti masuk hutan belantara yang tidak tahu arahnya kemana. Mereka harus diarahkan agar generasi muda jangan sampai hobi mengkonsumsi informasi terkait radikalisme,” papar Boy Rafli.

Selain itu, konten-konten tentang kebhinnekaan, nasionalisme, dan moderasi beragama harus diperkuat. Pasalnya, kelompok jaringan teror banyak menggunakan simbol agama, seolah-olah mereka berjuang atas nama agama. Generasi muda harus terus dicerdaskan dengan melibatkan tokoh-tokoh untuk memberikan wawasan keagamaan yang baik terutama dalam moderasi beragama.

“Jangan sampai mereka menjadi kelompok eksklusif yang ternyata berbeda dengan konstitusi negara, beda dengan ideologi kita Pancasila, berbeda dengan pemahaman Binneka tunggal ika,” tuturnya.

Peneliti dari Alvara Strategi Indonesia, Lilik Purwadi menjelaskan, metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 13.700 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur.

Kriteria responden berusia di atas 14 tahun hingga 55 tahun. Komposisi sampel sesuai demografi dan geografi penduduk Indonesia.

“Sampel diambil dengan menggunakan Teknik multistage random sampling dengan rumah tangga sebagai unit terkecil. Secara nasional margin of error penelitian ini sebesar 0,89 persen pada selang kepercayaan 95%. Survei dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2020,” tutur Lilik.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1861 seconds (0.1#10.140)