Ini Pertimbangan MA Pangkas Hukuman Suami Inneke Koesherawati
Senin, 07 Desember 2020 - 14:58 WIB
"Atau diskriminasi dalam due process of law yang dilakukan oleh Majelis Hakim Judex Facti dalam mengadili perkara aquo," tegas majelis hakim PK dalam pertimbangannya, sebagaimana dikutip SINDOnews di Jakarta, Senin (7/12/2020).
Dua, berbagai fasilitas yang diperoleh terpidana/pemohon PK termasuk merenovasi kamar (sel) dengan modal yang berasal dari pemohon yang sebelumnya sudah ada sejak Deddy Handoko menjabat sebagai Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin kemudian diganti oleh Wahid Husen selaku Kepala Lapas sejak Maret 2018. Wahid Husen membiarkan hal tersebut terus berlangsung sebagaimana bukti surat PK-15 sampai dengan PK-68.
Menurut Fahmi berdasarkan bukti-bukti tersebut, seharusnya penertiban atas hal tersebut menjadi tugas dan tanggungjawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas karena tidak sesuai dengan ketentuan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Karenanya, pemohon PK tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam Lapas yang seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas.
Tiga, pemberian dari Fahmi kepada Wahid Husen bukan karena adanya berbagai fasilitas yang telah diperoleh sebelumnya oleh Fahmi sebagai warga binaan, yang bertentangan dengan kewajiban Wahid Husen selaku Kepala Lapas. Atau dengan kata lain, menurut Fahmi, tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Fahmi dengan kewajiban Wahid selaku Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pemberian dimaksud yakni berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas cluth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk istri Wahid Husen, yang seluruhnya bernilai Rp39,5 juta serta sebuah mobil jenis double 4x4 merek Mitsubishi Triton warna hitam dengan harga Rp427 juta yang diterima Wahid Husen.
Empat, sesuai fakta persidangan berupa keterangan Andri Rahmat, keterangan Wahid Husen, dan keterangan Fahmi yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki (niat jahat) Fahmi untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam Lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas. Tapi menurut Fahmi, adanya inisiatif pembicaraan antara Andri Rahmat dengan Wahid Husen di ruang kerja Wahid di Lantai 2 Lapas Sukamiskin pada bulan April 2018.
Saat itu Wahid Husen menghendaki memiliki mobil tersebut dan keesokan harinya Andri Rahmat menyampaikan kepada Fahmi bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut. Kemudian Fahmi menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut. Tetapi sekali lagi, bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Fahmi, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon (Fahmi).
Pertimbangan utama kedua, menurut majelis hakim agung PK, dengan demikian terhadap pidana yang dijatuhkan judex facti perlu diperbaiki. Pasalnya judex facti belum mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan pidana, yang mana nilai suap yang diberikan terpidana (Fahmi) relatif kecil dan terpidana tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut.
(Baca Juga: Sel Mewah Koruptor).
Karena itu, tutur majelis hakim agung PK, dasar putusan judex facti a quo sangat tidak adil bagi pemohon PK. Apalagi, warga binaan yang lain juga memperoleh fasilitas hanya diberikan sanksi berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
Dua, berbagai fasilitas yang diperoleh terpidana/pemohon PK termasuk merenovasi kamar (sel) dengan modal yang berasal dari pemohon yang sebelumnya sudah ada sejak Deddy Handoko menjabat sebagai Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin kemudian diganti oleh Wahid Husen selaku Kepala Lapas sejak Maret 2018. Wahid Husen membiarkan hal tersebut terus berlangsung sebagaimana bukti surat PK-15 sampai dengan PK-68.
Menurut Fahmi berdasarkan bukti-bukti tersebut, seharusnya penertiban atas hal tersebut menjadi tugas dan tanggungjawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas karena tidak sesuai dengan ketentuan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Karenanya, pemohon PK tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam Lapas yang seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas.
Tiga, pemberian dari Fahmi kepada Wahid Husen bukan karena adanya berbagai fasilitas yang telah diperoleh sebelumnya oleh Fahmi sebagai warga binaan, yang bertentangan dengan kewajiban Wahid Husen selaku Kepala Lapas. Atau dengan kata lain, menurut Fahmi, tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Fahmi dengan kewajiban Wahid selaku Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pemberian dimaksud yakni berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas cluth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk istri Wahid Husen, yang seluruhnya bernilai Rp39,5 juta serta sebuah mobil jenis double 4x4 merek Mitsubishi Triton warna hitam dengan harga Rp427 juta yang diterima Wahid Husen.
Empat, sesuai fakta persidangan berupa keterangan Andri Rahmat, keterangan Wahid Husen, dan keterangan Fahmi yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki (niat jahat) Fahmi untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam Lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas. Tapi menurut Fahmi, adanya inisiatif pembicaraan antara Andri Rahmat dengan Wahid Husen di ruang kerja Wahid di Lantai 2 Lapas Sukamiskin pada bulan April 2018.
Saat itu Wahid Husen menghendaki memiliki mobil tersebut dan keesokan harinya Andri Rahmat menyampaikan kepada Fahmi bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut. Kemudian Fahmi menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut. Tetapi sekali lagi, bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Fahmi, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon (Fahmi).
Pertimbangan utama kedua, menurut majelis hakim agung PK, dengan demikian terhadap pidana yang dijatuhkan judex facti perlu diperbaiki. Pasalnya judex facti belum mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan pidana, yang mana nilai suap yang diberikan terpidana (Fahmi) relatif kecil dan terpidana tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut.
(Baca Juga: Sel Mewah Koruptor).
Karena itu, tutur majelis hakim agung PK, dasar putusan judex facti a quo sangat tidak adil bagi pemohon PK. Apalagi, warga binaan yang lain juga memperoleh fasilitas hanya diberikan sanksi berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
tulis komentar anda