Ini Pertimbangan MA Pangkas Hukuman Suami Inneke Koesherawati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menegaskan memiliki enam pertimbangan mengabulkan peninjauan kembali (PK) terpidana koruptor pemberi suap, Fahmi Darmawansyah alias Emi alias Fahmi Saidah. Hukuman suami artis Inneke Koesherawati itu dipangkas dari 3 tahun 6 bulan menjadi 1 tahun 6 bulan.
Amar putusan dan pertimbangannya tertulis dalam salinan putusan PK Nomor: 237 PK/Pid.Sus/2020 atas nama Fahmi Darmawansyah . Perkara ini ditangani dan diadili oleh majelis hakim agung PK yang dipimpin oleh Salman Luthan dengan anggota Abdul Latif dan Sofyan Sitompul. Putusan telah diputuskan dan diucapkan pada Selasa, 21 Juli 2020.
Majelis hakim agung PK menyatakan, telah membaca memori PK yang diajukan Fahmi Darmawansyah melalui tim penasihat hukumnya beserta alasan-alasannya, bagian amar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang telah berkekuatan hukum tetap, dan surat-surat lainnya.
( ).
Majelis hakim agung PK menegaskan, terhadap alasan PK yang diajukan pemohon PK yakni terpidana Fahmi Darmawansyah , maka Mahkamah Agung memiliki dua pendapat utama sebagai petimbangan utama. Pada pertimbangan pertama termaktub empat pertimbangan turunan.
Pertimbangan pertama, alasan permohonan PK yang diajukan oleh pemohon PK yang mendalilkan bahwa pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain dan adanya kekhilafan hakim dan/atau kekeliruan yang nyata dapat dibenarkan.
(Baca Juga: Suami Inneke Koesherawati Ditanya Soal Keterlibatan Anggota TNI).
Pertimbangan utama pertama berdasarkan empat pertimbangan turunan. Satu, pemohon dalam membuktikan alasan dan keberatan tersebut telah mengajukan bukti-bukti surat yakni bukti surat PK-4 sampai dengan PK-10 yang diajukan oleh Fahmi Darmawansyah. Berdasarkan m bukti-bukti itu, pada pokoknya menerangkan bahwa hanya Fahmi satu-satunya terpidana (warga binaan) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Sukamiskin Bandung yang diberikan sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda karena terbukti pemohon/terpidana memperoleh/menikmati fasilitas lapas sebagai sesuatu yang dinyatakan terbukti oleh putusan judex facti.
Fahmi membandingkan dengan warga binaan lainnya yang juga sebelumnya telah menikmati fasilitas yang sama di dalam Lapas Sukamiskin tetapi tidak dihukum. Sehingga, keadaan sebagai dasar dan alasan putusan judex facti menghukum Fahmi sebagai pemohon/terpidana PK adalah menjadi bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama.
"Atau diskriminasi dalam due process of law yang dilakukan oleh Majelis Hakim Judex Facti dalam mengadili perkara aquo," tegas majelis hakim PK dalam pertimbangannya, sebagaimana dikutip SINDOnews di Jakarta, Senin (7/12/2020).
Dua, berbagai fasilitas yang diperoleh terpidana/pemohon PK termasuk merenovasi kamar (sel) dengan modal yang berasal dari pemohon yang sebelumnya sudah ada sejak Deddy Handoko menjabat sebagai Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin kemudian diganti oleh Wahid Husen selaku Kepala Lapas sejak Maret 2018. Wahid Husen membiarkan hal tersebut terus berlangsung sebagaimana bukti surat PK-15 sampai dengan PK-68.
Menurut Fahmi berdasarkan bukti-bukti tersebut, seharusnya penertiban atas hal tersebut menjadi tugas dan tanggungjawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas karena tidak sesuai dengan ketentuan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Karenanya, pemohon PK tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam Lapas yang seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas.
Tiga, pemberian dari Fahmi kepada Wahid Husen bukan karena adanya berbagai fasilitas yang telah diperoleh sebelumnya oleh Fahmi sebagai warga binaan, yang bertentangan dengan kewajiban Wahid Husen selaku Kepala Lapas. Atau dengan kata lain, menurut Fahmi, tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Fahmi dengan kewajiban Wahid selaku Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pemberian dimaksud yakni berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas cluth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk istri Wahid Husen, yang seluruhnya bernilai Rp39,5 juta serta sebuah mobil jenis double 4x4 merek Mitsubishi Triton warna hitam dengan harga Rp427 juta yang diterima Wahid Husen.
Empat, sesuai fakta persidangan berupa keterangan Andri Rahmat, keterangan Wahid Husen, dan keterangan Fahmi yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki (niat jahat) Fahmi untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam Lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas. Tapi menurut Fahmi, adanya inisiatif pembicaraan antara Andri Rahmat dengan Wahid Husen di ruang kerja Wahid di Lantai 2 Lapas Sukamiskin pada bulan April 2018.
Saat itu Wahid Husen menghendaki memiliki mobil tersebut dan keesokan harinya Andri Rahmat menyampaikan kepada Fahmi bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut. Kemudian Fahmi menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut. Tetapi sekali lagi, bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Fahmi, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon (Fahmi).
Pertimbangan utama kedua, menurut majelis hakim agung PK, dengan demikian terhadap pidana yang dijatuhkan judex facti perlu diperbaiki. Pasalnya judex facti belum mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan pidana, yang mana nilai suap yang diberikan terpidana (Fahmi) relatif kecil dan terpidana tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut.
(Baca Juga: Sel Mewah Koruptor).
Karena itu, tutur majelis hakim agung PK, dasar putusan judex facti a quo sangat tidak adil bagi pemohon PK. Apalagi, warga binaan yang lain juga memperoleh fasilitas hanya diberikan sanksi berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
"Dengan demikian putusan judex facti aquo telah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat khususnya Pemohon/Terpidana, dibandingkan dengan tingkat kesalahan Pemohon dengan hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali," ujar majelis hakim agung PK.
Lebih lanjut majelis hakim agung PK mengungkapkan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka permohonan PK Fahmi dinyatakan dapat dibenarkan dan permohonan PK tersebut dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 266 ayat (2) huruf b angka (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAPidana terdapat cukup alasan untuk membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 110/Pid.Sus-TPK/2018/PN Bdg bertanggal 20 Maret 2019.
"Dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut dengan amar seperti yang disebutkan. Menimbang bahwa karena Terpidana dipidana, maka dibebani untuk membayar biaya perkara pada pemeriksaan Peninjauan Kembali," bunyi bagian akhir pertimbangan putusan.
Amar putusan dan pertimbangannya tertulis dalam salinan putusan PK Nomor: 237 PK/Pid.Sus/2020 atas nama Fahmi Darmawansyah . Perkara ini ditangani dan diadili oleh majelis hakim agung PK yang dipimpin oleh Salman Luthan dengan anggota Abdul Latif dan Sofyan Sitompul. Putusan telah diputuskan dan diucapkan pada Selasa, 21 Juli 2020.
Majelis hakim agung PK menyatakan, telah membaca memori PK yang diajukan Fahmi Darmawansyah melalui tim penasihat hukumnya beserta alasan-alasannya, bagian amar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang telah berkekuatan hukum tetap, dan surat-surat lainnya.
( ).
Majelis hakim agung PK menegaskan, terhadap alasan PK yang diajukan pemohon PK yakni terpidana Fahmi Darmawansyah , maka Mahkamah Agung memiliki dua pendapat utama sebagai petimbangan utama. Pada pertimbangan pertama termaktub empat pertimbangan turunan.
Pertimbangan pertama, alasan permohonan PK yang diajukan oleh pemohon PK yang mendalilkan bahwa pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain dan adanya kekhilafan hakim dan/atau kekeliruan yang nyata dapat dibenarkan.
(Baca Juga: Suami Inneke Koesherawati Ditanya Soal Keterlibatan Anggota TNI).
Pertimbangan utama pertama berdasarkan empat pertimbangan turunan. Satu, pemohon dalam membuktikan alasan dan keberatan tersebut telah mengajukan bukti-bukti surat yakni bukti surat PK-4 sampai dengan PK-10 yang diajukan oleh Fahmi Darmawansyah. Berdasarkan m bukti-bukti itu, pada pokoknya menerangkan bahwa hanya Fahmi satu-satunya terpidana (warga binaan) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1 Sukamiskin Bandung yang diberikan sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda karena terbukti pemohon/terpidana memperoleh/menikmati fasilitas lapas sebagai sesuatu yang dinyatakan terbukti oleh putusan judex facti.
Fahmi membandingkan dengan warga binaan lainnya yang juga sebelumnya telah menikmati fasilitas yang sama di dalam Lapas Sukamiskin tetapi tidak dihukum. Sehingga, keadaan sebagai dasar dan alasan putusan judex facti menghukum Fahmi sebagai pemohon/terpidana PK adalah menjadi bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama.
"Atau diskriminasi dalam due process of law yang dilakukan oleh Majelis Hakim Judex Facti dalam mengadili perkara aquo," tegas majelis hakim PK dalam pertimbangannya, sebagaimana dikutip SINDOnews di Jakarta, Senin (7/12/2020).
Dua, berbagai fasilitas yang diperoleh terpidana/pemohon PK termasuk merenovasi kamar (sel) dengan modal yang berasal dari pemohon yang sebelumnya sudah ada sejak Deddy Handoko menjabat sebagai Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin kemudian diganti oleh Wahid Husen selaku Kepala Lapas sejak Maret 2018. Wahid Husen membiarkan hal tersebut terus berlangsung sebagaimana bukti surat PK-15 sampai dengan PK-68.
Menurut Fahmi berdasarkan bukti-bukti tersebut, seharusnya penertiban atas hal tersebut menjadi tugas dan tanggungjawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas karena tidak sesuai dengan ketentuan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Karenanya, pemohon PK tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam Lapas yang seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas.
Tiga, pemberian dari Fahmi kepada Wahid Husen bukan karena adanya berbagai fasilitas yang telah diperoleh sebelumnya oleh Fahmi sebagai warga binaan, yang bertentangan dengan kewajiban Wahid Husen selaku Kepala Lapas. Atau dengan kata lain, menurut Fahmi, tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Fahmi dengan kewajiban Wahid selaku Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pemberian dimaksud yakni berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas cluth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk istri Wahid Husen, yang seluruhnya bernilai Rp39,5 juta serta sebuah mobil jenis double 4x4 merek Mitsubishi Triton warna hitam dengan harga Rp427 juta yang diterima Wahid Husen.
Empat, sesuai fakta persidangan berupa keterangan Andri Rahmat, keterangan Wahid Husen, dan keterangan Fahmi yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki (niat jahat) Fahmi untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam Lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas. Tapi menurut Fahmi, adanya inisiatif pembicaraan antara Andri Rahmat dengan Wahid Husen di ruang kerja Wahid di Lantai 2 Lapas Sukamiskin pada bulan April 2018.
Saat itu Wahid Husen menghendaki memiliki mobil tersebut dan keesokan harinya Andri Rahmat menyampaikan kepada Fahmi bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut. Kemudian Fahmi menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut. Tetapi sekali lagi, bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh Fahmi, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon (Fahmi).
Pertimbangan utama kedua, menurut majelis hakim agung PK, dengan demikian terhadap pidana yang dijatuhkan judex facti perlu diperbaiki. Pasalnya judex facti belum mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan pidana, yang mana nilai suap yang diberikan terpidana (Fahmi) relatif kecil dan terpidana tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut.
(Baca Juga: Sel Mewah Koruptor).
Karena itu, tutur majelis hakim agung PK, dasar putusan judex facti a quo sangat tidak adil bagi pemohon PK. Apalagi, warga binaan yang lain juga memperoleh fasilitas hanya diberikan sanksi berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jo Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
"Dengan demikian putusan judex facti aquo telah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat khususnya Pemohon/Terpidana, dibandingkan dengan tingkat kesalahan Pemohon dengan hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali," ujar majelis hakim agung PK.
Lebih lanjut majelis hakim agung PK mengungkapkan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka permohonan PK Fahmi dinyatakan dapat dibenarkan dan permohonan PK tersebut dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 266 ayat (2) huruf b angka (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAPidana terdapat cukup alasan untuk membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 110/Pid.Sus-TPK/2018/PN Bdg bertanggal 20 Maret 2019.
"Dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut dengan amar seperti yang disebutkan. Menimbang bahwa karena Terpidana dipidana, maka dibebani untuk membayar biaya perkara pada pemeriksaan Peninjauan Kembali," bunyi bagian akhir pertimbangan putusan.
(zik)