Lima Catatan untuk Perppu Nomor 1 Tahun 2020
Selasa, 12 Mei 2020 - 17:14 WIB
Menurut saya, klausul ini sangat tak lazim, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun. Klausul ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum, dan Pasal 27 Ayat 1 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Sebagai pembanding, Presiden sekalipun, menurut konstitusi, bisa dimakzulkan jika melakukan pelanggaran hukum. Artinya, Presiden saja bisa dituduh melanggar hukum sehingga pemberian hak imunitas kepada para bawahan Presiden, sebagaimana yang diberikan oleh Perppu ini, sangat mengganggu akal sehat. Ini bentuk korupsi kewenangan yang tak boleh dibiarkan.
Ketiga, terkait kondisi keuangan negara yang tidak normal atau darurat, situasi tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pasal 27 Ayat 4 UU Keuangan Negara menyebutkan: dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Dengan adanya klausul itu, menurut saya Perppu 1/2020 tak memiliki urgensi sama sekali.
Tanpa mengeluarkan Perppu sekalipun, Pemerintah sebenarnya sudah memiliki landasan hukum melakukan mitigasi anggaran di tengah krisis.
Keempat, Pasal 2 Perppu 1/2020 menyatakan defisit anggaran akan diperlonggar hingga lebih dari 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Ini klausul yang membahayakan perekonomian nasional.
Dengan tidak adanya batas defisit APBN terhadap PDB maka risiko terjadinya pembengkakan utang negara jadi kian membesar. Dalam situasi krisis sekalipun, saya berpendapat semestinya batas defisit APBN terhadap PDB tetap diperlukan agar berbagai risiko yang bisa mengancam perekonomian nasional dapat tetap terukur dan terkendali.
Kelima, Perppu 1/2020 ini tidak sesuai dengan saran pimpinan Badan Anggaran DPR RI yang disampaikan pada Maret 2020 lalu.
Untuk mengatasi krisis, Pemerintah sebenarnya bisa menerbitkan tiga Perppu untuk mengatasi dampak krisis. Ketiga Perppu itu adalah: (1) Perppu APBN 2020 (untuk melakukan realokasi anggaran tanpa harus menunggu APBN-P); (2) Perppu terhadap Undang Undang Pajak Penghasilan (untuk memberi keringanan pajak, tapi sekaligus juga menarik pajak lebih besar bagi orang-orang terkaya), dan (3) Perppu revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (untuk melonggarkan batas defisit anggaran).
Artinya, DPR sangat menyadari jika dalam menghadapi keadaan genting yang memaksa, Pemerintah memang diberi kewenangan untuk menerbitkan Perppu.
Sebagai pembanding, Presiden sekalipun, menurut konstitusi, bisa dimakzulkan jika melakukan pelanggaran hukum. Artinya, Presiden saja bisa dituduh melanggar hukum sehingga pemberian hak imunitas kepada para bawahan Presiden, sebagaimana yang diberikan oleh Perppu ini, sangat mengganggu akal sehat. Ini bentuk korupsi kewenangan yang tak boleh dibiarkan.
Ketiga, terkait kondisi keuangan negara yang tidak normal atau darurat, situasi tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pasal 27 Ayat 4 UU Keuangan Negara menyebutkan: dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Dengan adanya klausul itu, menurut saya Perppu 1/2020 tak memiliki urgensi sama sekali.
Tanpa mengeluarkan Perppu sekalipun, Pemerintah sebenarnya sudah memiliki landasan hukum melakukan mitigasi anggaran di tengah krisis.
Keempat, Pasal 2 Perppu 1/2020 menyatakan defisit anggaran akan diperlonggar hingga lebih dari 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Ini klausul yang membahayakan perekonomian nasional.
Dengan tidak adanya batas defisit APBN terhadap PDB maka risiko terjadinya pembengkakan utang negara jadi kian membesar. Dalam situasi krisis sekalipun, saya berpendapat semestinya batas defisit APBN terhadap PDB tetap diperlukan agar berbagai risiko yang bisa mengancam perekonomian nasional dapat tetap terukur dan terkendali.
Kelima, Perppu 1/2020 ini tidak sesuai dengan saran pimpinan Badan Anggaran DPR RI yang disampaikan pada Maret 2020 lalu.
Untuk mengatasi krisis, Pemerintah sebenarnya bisa menerbitkan tiga Perppu untuk mengatasi dampak krisis. Ketiga Perppu itu adalah: (1) Perppu APBN 2020 (untuk melakukan realokasi anggaran tanpa harus menunggu APBN-P); (2) Perppu terhadap Undang Undang Pajak Penghasilan (untuk memberi keringanan pajak, tapi sekaligus juga menarik pajak lebih besar bagi orang-orang terkaya), dan (3) Perppu revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (untuk melonggarkan batas defisit anggaran).
Artinya, DPR sangat menyadari jika dalam menghadapi keadaan genting yang memaksa, Pemerintah memang diberi kewenangan untuk menerbitkan Perppu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda