Lima Catatan untuk Perppu Nomor 1 Tahun 2020

Selasa, 12 Mei 2020 - 17:14 WIB
Pretensi untuk menjadi omnibus law ini saya kira harus disikapi secara kritis oleh DPR. Inilah pertama kalinya sebuah Perppu hendak mengubah norma lebih dari satu undang-undang sekaligus, yang telah membuat kekuasaan eksekutif dalam proses penyusunan perundang-undangan jadi demikian besar.

Setidaknya ada delapan undang-undang yang diubah dan diintervensi oleh Perppu sapu jagat ini, mulai dari UU MD3 yang mengatur kewenangan DPR, UU Keuangan Negara, UU Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Penjaminan Simpanan, UU Surat Utang Negara, UU Bank Indonesia, dan UU APBN 2020. Fungsi dan kewenangan konstitusional DPR sebagai pemegang kuasa membentuk undang-undang, sebagaimana ditegaskan Pasal 20 UUD 1945, telah dilangkahi dan bahkan diamputasi oleh Perppu ini. Ini akan jadi preseden hukum dan kenegaraan yang buruk.

B. Fungsi Anggaran. Perppu 1/ 2020 telah memangkas peran DPR untuk merumuskan anggaran karena Perppu ini telah mengganti dasar APBN hanya cukup diatur berdasarkan Peraturan Presiden. Hal ini tertuang di dalam Pasal 12 Ayat 2 Perppu 1/ 2020.

Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa untuk mengubah postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara diatur berdasarkan Peraturan Presiden. Padahal, di dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1) dinyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah Undang-Undang yang ditetapkan setiap tahun, bukan Perpres atau Peraturan Perundangan lainnya.

Selain itu, Pasal 23 Ayat 2 menyatakan bahwa rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan harus mendapat persetujuan dari DPR.

Jika APBN cukup hanya diatur berdasarkan Peraturan Presiden, maka otomatis tidak ada peran DPR di dalam proses perumusannya.

C. Fungsi Pengawasan. Perppu 1/ 2020 telah telah melucuti hak pengawasan parlemen dan hak penyidikan serta penyelidikan lembaga penegak hukum. Di dalam Pasal 27, misalnya, disebutkan jika segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan Perppu tersebut tidak boleh dianggap sebagai kerugian negara. Pasal ini jelas telah mengebiri fungsi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Kita tidak boleh menjadikan kondisi luar biasa penanganan krisis akibat pandemi ini sebagai dalih untuk melabrak prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang sehat memerlukan kontrol parlemen dan lembaga penegak hukum. Tanpa keduanya, demokrasi yang telah kita perjuangkan selama ini akan kembali lagi kepada otoritarianisme.

Kedua, ada potensi abuse of power dalam Perppu ini. Merujuk kepada Pasal 27, Perppu ini menyatakan para pejabat yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan penanganan krisis tak bisa digugat, baik secara perdata, secara pidana, maupun melalui peradilan tata usaha negara.

Pasal tersebut telah memberi hak imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan manapun. Padahal Indonesia adalah negara hukum di mana penyelenggaraan pemerintahan mestinya bisa dikontrol oleh hukum.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More