Dimensi Empirik Cita-cita Demokrasi Indonesia
Kamis, 03 Desember 2020 - 15:32 WIB
Akan tetapi, makna demokrasi tentu tidak sesederhana itu. Demokrasi harus dipahami melalui dua dimensi, yaitu dimensi normatif dan dimensi empirik. Dimensi normatif mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara ideal dari demokrasi. Sementara itu, dimensi empirik demokrasi memperlihatkan kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kehidupan politik sebuah negara, bagaimana bentuk normatif ideal tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari.
Para ilmuwan politik seperti Juan Linz (1975), G. Bingham Powell (1982), dan Robert Dahl (1989) setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan demokrasi secara empirik menggunakan sejumlah indikator tertentu. Rangkuman indikator tersebut antara lain: akuntabilitas, yang artinya dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak ditempuhnya.
(Baca: Partai Garuda Nilai Kebebasan Berpendapat Dikebiri Melalui Revisi UU Pemilu)
Rotasi kekuasaan, artinya demokrasi mensyaratkan terbukanya peluang terjadinya rotasi kekuasaan yang berlangsung secara teratur dan damai. Rekrutmen politik secara terbuka, artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik mempunyai peluang yang sama dalam kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut.
Dan, tentu saja pemilihan umum atau pemilu. Di dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara teratur dan; menikmati hak-hak dasar, artinya warga negara dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat serta hak untuk menikmati pers yang bebas.
Allen Hicken (2020) dalam bukunya Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression mengajukan argumen bahwa demokrasi di Indonesia belumlah sempurna. Beberapa indikator yang perlu mendapatkan perhatian untuk menghindarkan Indonesia dari otokrasi antara lain: parpol yang lemah, klientelisme elektoral, polarisasi politik dan sosial yang berkontribusi pada lingkungan yang buruk bagi kelompok masyarakat sipil, serta melemahkan kepercayaan pada hasil pemilihan dan memicu upaya kriminalisasi terhadap perbedaan pendapat.
Pendapat Allen Hicken ini juga diperkuat dengan skor indeks demokrasi Indonesia yang cenderung turun. Indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intellegence Unit, pada tahun 2016 menunjukkan skor Indonesia 6,97 dan menurun menjadi 6,39 pada tahun 2017. Kemudian pada tahun 2018 skornya konsisten di 6,39 dan pada tahun 2019 skornya menjadi 6,48. Skor ini dimulai dari skala 0-10, artinya semakin mendekati 10, maka semakin baik capaian demokrasinya.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Apa yang dikemukakan Hicken terkait kebebasan berpendapat inilah yang sedang menjadi sorotan saat ini. Dalam beberapa pembuatan undang-undang, seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (akhir periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi), serta UU Pertambangan, Mineral dan Batubara, masyarakat turun ke jalan, berdemonstrasi menyuarakan aspirasi. Unjuk rasa tersebut diakui oleh kelompok masyarakat sipil dilakukan karena saluran-saluran politik formal di eksekutif dan legislatif dinilai tidak mampu merepresentasikan kehendak rakyat.
Di sisi lain demokrasi melalui kedaulatan rakyat, memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat untuk ikut berbicara, memberikan penilaian atas apa yang telah dan hendak dilakukan oleh mereka yang berkuasa atau pemerintah. Kedaulatan rakyat juga diwujudkan dalam kehidupan di mana rakyat dapat menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia.
Para ilmuwan politik seperti Juan Linz (1975), G. Bingham Powell (1982), dan Robert Dahl (1989) setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan demokrasi secara empirik menggunakan sejumlah indikator tertentu. Rangkuman indikator tersebut antara lain: akuntabilitas, yang artinya dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak ditempuhnya.
(Baca: Partai Garuda Nilai Kebebasan Berpendapat Dikebiri Melalui Revisi UU Pemilu)
Rotasi kekuasaan, artinya demokrasi mensyaratkan terbukanya peluang terjadinya rotasi kekuasaan yang berlangsung secara teratur dan damai. Rekrutmen politik secara terbuka, artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik mempunyai peluang yang sama dalam kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut.
Dan, tentu saja pemilihan umum atau pemilu. Di dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara teratur dan; menikmati hak-hak dasar, artinya warga negara dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat serta hak untuk menikmati pers yang bebas.
Allen Hicken (2020) dalam bukunya Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression mengajukan argumen bahwa demokrasi di Indonesia belumlah sempurna. Beberapa indikator yang perlu mendapatkan perhatian untuk menghindarkan Indonesia dari otokrasi antara lain: parpol yang lemah, klientelisme elektoral, polarisasi politik dan sosial yang berkontribusi pada lingkungan yang buruk bagi kelompok masyarakat sipil, serta melemahkan kepercayaan pada hasil pemilihan dan memicu upaya kriminalisasi terhadap perbedaan pendapat.
Pendapat Allen Hicken ini juga diperkuat dengan skor indeks demokrasi Indonesia yang cenderung turun. Indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intellegence Unit, pada tahun 2016 menunjukkan skor Indonesia 6,97 dan menurun menjadi 6,39 pada tahun 2017. Kemudian pada tahun 2018 skornya konsisten di 6,39 dan pada tahun 2019 skornya menjadi 6,48. Skor ini dimulai dari skala 0-10, artinya semakin mendekati 10, maka semakin baik capaian demokrasinya.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Apa yang dikemukakan Hicken terkait kebebasan berpendapat inilah yang sedang menjadi sorotan saat ini. Dalam beberapa pembuatan undang-undang, seperti RUU Cipta Kerja, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (akhir periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi), serta UU Pertambangan, Mineral dan Batubara, masyarakat turun ke jalan, berdemonstrasi menyuarakan aspirasi. Unjuk rasa tersebut diakui oleh kelompok masyarakat sipil dilakukan karena saluran-saluran politik formal di eksekutif dan legislatif dinilai tidak mampu merepresentasikan kehendak rakyat.
Di sisi lain demokrasi melalui kedaulatan rakyat, memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat untuk ikut berbicara, memberikan penilaian atas apa yang telah dan hendak dilakukan oleh mereka yang berkuasa atau pemerintah. Kedaulatan rakyat juga diwujudkan dalam kehidupan di mana rakyat dapat menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda