Dimensi Empirik Cita-cita Demokrasi Indonesia
Kamis, 03 Desember 2020 - 15:32 WIB
Joko Tri Nugraha, S.Sos, M.Si
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar
Kandidat Doktor Administrasi Publik, Universitas Diponegoro
DEMOKRASI menjadi kosakata paling populer dalam wacana politik mutakhir. Tidak ada istilah lain dalam wacana politik yang paling banyak dibicarakan orang, aktivis, politisi ataupun akademisi melebihi demokrasi . Demokrasi dipercaya bahkan didamba dunia sebagai model tata kekuasaan yang relatif lebih baik, dibandingkan sistem politik lain. Dengan segala variannya demokrasi diyakini lebih banyak membawa kemashalatan manusia ketimbang implikasi negatifnya, seperti mahal dan kompleksnya proses pembuatan kebijakan publik .
Dalam hitungan abad saja arus demokratisasi melanda berbagai kawasan di dunia, seperti semenanjung sebelah timur Asia, termasuk di dalamnya Korea Selatan dan Taiwan. Di Asia Tenggara, Filipina merupakan contoh konkret terjadinya transisi menuju demokrasi. Sementara, Malaysia sudah lama mempraktikkan demokrasi konsosiasional.
Thailand juga sudah memperlihatkan perubahan yang sangat substantif dalam kehidupan politiknya yang demokratik. Logikanya, kalau di negara-negara tetangga tersebut telah terjadi perubahan politik yang fundamental, mestinya Indonesia pada gilirannya juga akan mengalami perubahan yang sama.
(Baca: Demokrasi Sedang Tertekan, Kemenangan Atas Komunisme Berumur Pendek)
Memahami makna demokrasi mau tak mau harus membandingkannya dengan sistem lain dalam wacana politik ketatanegaraan seperti otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme. Berbeda dengan sistem yang disebut itu, demokrasi memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada rakyat.
Demokrasi memberikan peluang kepada rakyat banyak untuk ikut mengambil peran dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Rakyat adalah kata kunci bagi demokrasi. Sementara otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme menempatkan penguasa di atas segala-galanya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar
Kandidat Doktor Administrasi Publik, Universitas Diponegoro
DEMOKRASI menjadi kosakata paling populer dalam wacana politik mutakhir. Tidak ada istilah lain dalam wacana politik yang paling banyak dibicarakan orang, aktivis, politisi ataupun akademisi melebihi demokrasi . Demokrasi dipercaya bahkan didamba dunia sebagai model tata kekuasaan yang relatif lebih baik, dibandingkan sistem politik lain. Dengan segala variannya demokrasi diyakini lebih banyak membawa kemashalatan manusia ketimbang implikasi negatifnya, seperti mahal dan kompleksnya proses pembuatan kebijakan publik .
Dalam hitungan abad saja arus demokratisasi melanda berbagai kawasan di dunia, seperti semenanjung sebelah timur Asia, termasuk di dalamnya Korea Selatan dan Taiwan. Di Asia Tenggara, Filipina merupakan contoh konkret terjadinya transisi menuju demokrasi. Sementara, Malaysia sudah lama mempraktikkan demokrasi konsosiasional.
Thailand juga sudah memperlihatkan perubahan yang sangat substantif dalam kehidupan politiknya yang demokratik. Logikanya, kalau di negara-negara tetangga tersebut telah terjadi perubahan politik yang fundamental, mestinya Indonesia pada gilirannya juga akan mengalami perubahan yang sama.
(Baca: Demokrasi Sedang Tertekan, Kemenangan Atas Komunisme Berumur Pendek)
Memahami makna demokrasi mau tak mau harus membandingkannya dengan sistem lain dalam wacana politik ketatanegaraan seperti otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme. Berbeda dengan sistem yang disebut itu, demokrasi memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada rakyat.
Demokrasi memberikan peluang kepada rakyat banyak untuk ikut mengambil peran dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Rakyat adalah kata kunci bagi demokrasi. Sementara otoritarianisme, totalitarianisme, tirani dan despotisme menempatkan penguasa di atas segala-galanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda