Demokrasi Sedang Tertekan, Kemenangan Atas Komunisme Berumur Pendek
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam kurun waktu 4-5 tahun ke belakang, demokrasi di seluruh dunia sedang mengalami tekanan. Salah satu penyebabnya adalah lahirnya pemimpin-pemimpin populis. Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Vermonte menerangkan salah satu titik balik situasi ini saat terpilihnya Donald Trump sebagai presiden di Amerika Serikat pada 2016.
Dia menyatakan tidak bermaksud mengevaluasi Amerika Serikat, tetapi ada kesamaan dari negara-negara yang melahirkan pemimpin populis. Kesamaannya itu, ada masyarakat atau pemilih yang marah dengan berbagai situasi, seperti politik, ekonomi, dan sosial.
“Ini semacam gelombang balik. Ketika Tembok Berlin roboh dan Uni Soviet bubar, banyak orang bilang sejarah telah berhenti. Kapitalisme menang,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema 72 Tahun Deklarasi Universal HAM: Refleksi atas Perkembangan Budaya HAM di Indonesia, Senin (30/11/2020).
(Baca: Pemerintah Klaim Indeks Demokrasi Indonesia 2019 Tertinggi Dalam 11 Tahun)
Kenyataannya sejarah tetap berjalan. Philips menyebut kemenangan sistem demokrasi barat terhadap komunisme berumur pendek. Mungkin sekitar 10 tahun, mulai dari tahun 1990 hingga 2000.
“Tetapi pada periode yang pendek itu lahir globalisasi, free trade, dan berbagai platform perdagangan lainnya. Dunia mendapatkan manfaat dari globalisasi,” tuturnya.
(Baca: Peneliti CSIS Sebut 12 Calon Tunggal Miliki Keterkaitan dengan PDIP)
Namun, pada periode itu juga terdapatkan orang-orang yang tidak diperhatikan. Mereka itu yang kemudian menjadi angry voter. Philips mencontohkan cara Trump mengeksploitasi kemarahan itu dengan menyebut lahan pekerjaan lari ke China.
Di Eropa, orang-orang populis menggaungkan para pendatang telah merebut pekerjaan dari penduduk asli. Itu sebagai bentuk politik identitas dalam sektor ekonomi. “Mengubah fabrikasi struktur masyarakat. Ini banyak terjadi di berbagai tempat di dunia,” pungkasnya.
Dia menyatakan tidak bermaksud mengevaluasi Amerika Serikat, tetapi ada kesamaan dari negara-negara yang melahirkan pemimpin populis. Kesamaannya itu, ada masyarakat atau pemilih yang marah dengan berbagai situasi, seperti politik, ekonomi, dan sosial.
“Ini semacam gelombang balik. Ketika Tembok Berlin roboh dan Uni Soviet bubar, banyak orang bilang sejarah telah berhenti. Kapitalisme menang,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema 72 Tahun Deklarasi Universal HAM: Refleksi atas Perkembangan Budaya HAM di Indonesia, Senin (30/11/2020).
(Baca: Pemerintah Klaim Indeks Demokrasi Indonesia 2019 Tertinggi Dalam 11 Tahun)
Kenyataannya sejarah tetap berjalan. Philips menyebut kemenangan sistem demokrasi barat terhadap komunisme berumur pendek. Mungkin sekitar 10 tahun, mulai dari tahun 1990 hingga 2000.
“Tetapi pada periode yang pendek itu lahir globalisasi, free trade, dan berbagai platform perdagangan lainnya. Dunia mendapatkan manfaat dari globalisasi,” tuturnya.
(Baca: Peneliti CSIS Sebut 12 Calon Tunggal Miliki Keterkaitan dengan PDIP)
Namun, pada periode itu juga terdapatkan orang-orang yang tidak diperhatikan. Mereka itu yang kemudian menjadi angry voter. Philips mencontohkan cara Trump mengeksploitasi kemarahan itu dengan menyebut lahan pekerjaan lari ke China.
Di Eropa, orang-orang populis menggaungkan para pendatang telah merebut pekerjaan dari penduduk asli. Itu sebagai bentuk politik identitas dalam sektor ekonomi. “Mengubah fabrikasi struktur masyarakat. Ini banyak terjadi di berbagai tempat di dunia,” pungkasnya.
(muh)