Memuliakan Disabilitas di Masa Pandemi
Kamis, 03 Desember 2020 - 05:14 WIB
Prinsip penataan kota ramah disabilitas yakni kesetaraan (equality), peluang (opportunity), dan partisipasi penuh (full participation). Lingkungan kota mendukung disabilitas yang memiliki keterbatasan mobilitas ataupun keterbatasan pancaindera. Kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas berupa fasilitas umum ramah disabilitas. Pada proses pembangunan fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan orang, trotoar, halte bus, bangunan sekolah atau pasar, harus melibatkan kelompok disabilitas sejak perencanaan, perancangan, pembangunan, pengelolaan, hingga pengawasan.
Penempatan jalur pemandu di trotoar harus memberikan informasi perjalanan penyandang disabilitas tuna netra. Tekstur ubin (guiding block) berfungsi sebagai pengarah dan pemberi peringatan. Tekstur ubin bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan, sedangkan motif bulat-bulat menandakan peringatan terhadap perubahan situasi sekitarnya.
Trotoar dan lintasan bangunan publik (sekolah, pasar, rumah sakit, gedung pemerintah) bisa diakses disabilitas, seperti pengguna kursi roda dan ada jalur bagi tuna netra. Trotoar terhubung zebra cross/pelican crossing dengan permukaan melandai, terowongan bawah tanah (underpass) atau jembatan penyeberangan orang (JPO) dilengkapi tangga berjalan atau lift khusus. Trotoar menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari venue olahraga, sekolah, perkantoran, pasar, pusat perbelanjaan, taman.
Keempat, pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dengan tepat dan benar. Revolusi mental pandangan terhadap penyandang disabilitas mesti mulai dari tingkat eksekutif (penganggaran, perencanaan, pembangunan), legislatif (kebijakan, pengawasan implementasi), dan masyarakat/komunitas (pendampingan).
Pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dengan tepat dan benar. Pemenuhan hak kaum disabilitas harus dikawal ketat dalam penerapannya, karena secara peraturan hukum dan penganggaran sudah ada alokasinya. Pemerintah harus fleksibel dalam mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dalam mengaktualisasi diri (reasonable accomodation).
Pemerintah juga harus membangun masyarakat ramah disabilitas. Petugas layanan fasilitas publik, seperti transportasi, rumah sakit, sekolah, dan bank, dibekali kemampuan berinteraksi dengan disabilitas dalam sudut pandang kesetaraan hak. Bahkan penggunaan dana desa dan dana kelurahan dapat mengalokasikan anggaran untuk memberdayakan kelompok disabilitas.
Kelima, pemerintah harus memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan produk industri lokal yang ramah disabilitas, seperti kloset disabilitas, kursi roda canggih, lift khusus pengguna kursi roda, teknologi pemandu remote infrared sign system, ubin pemandu tunanetra yang kuat. Serta pengembangan aplikasi untuk memudahkan disabilitas.
Pencatuman aksara braille di fasilitas publik, seperti di lift, mesin ATM bank, halte, stasiun, terminal, hingga produk rumah tangga. Pengeras suara di tempat penyeberangan orang, bahasa tangan pada layar monitor informasi. Selain itu, penyediaan tempat parkir, toilet, lift, dan ruang khusus di bus atau kereta api bagi penyandang disabilitas.
Keenam, kesempatan di bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka. KRD memenuhi hak hidup, mengembangkan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik. Penyandang disabilitas dapat menyalurkan potensinya dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, dihormati, dilindungi dan dilayani haknya dalam berkota sehingga menjadi individu yang tangguh dan mandiri.
Masyarakat umum dan penyandang disabilitas dibekali informasi yang cukup dan sarana prasana ramah disabilitas. Masyarakat dan sekolah juga melakukan pendidikan dini, sosialisasi, dan simulasi aksesibilitas disabilitas. Selain itu, penyediaan lapangan kerja yang sesuai keahlian, keterampilan, bakat dan kemampuan, sehingga penyandang disabilitas dapat hidup mandiri, berkarya, dan sejahtera.
Penempatan jalur pemandu di trotoar harus memberikan informasi perjalanan penyandang disabilitas tuna netra. Tekstur ubin (guiding block) berfungsi sebagai pengarah dan pemberi peringatan. Tekstur ubin bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan, sedangkan motif bulat-bulat menandakan peringatan terhadap perubahan situasi sekitarnya.
Trotoar dan lintasan bangunan publik (sekolah, pasar, rumah sakit, gedung pemerintah) bisa diakses disabilitas, seperti pengguna kursi roda dan ada jalur bagi tuna netra. Trotoar terhubung zebra cross/pelican crossing dengan permukaan melandai, terowongan bawah tanah (underpass) atau jembatan penyeberangan orang (JPO) dilengkapi tangga berjalan atau lift khusus. Trotoar menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari venue olahraga, sekolah, perkantoran, pasar, pusat perbelanjaan, taman.
Keempat, pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dengan tepat dan benar. Revolusi mental pandangan terhadap penyandang disabilitas mesti mulai dari tingkat eksekutif (penganggaran, perencanaan, pembangunan), legislatif (kebijakan, pengawasan implementasi), dan masyarakat/komunitas (pendampingan).
Pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dengan tepat dan benar. Pemenuhan hak kaum disabilitas harus dikawal ketat dalam penerapannya, karena secara peraturan hukum dan penganggaran sudah ada alokasinya. Pemerintah harus fleksibel dalam mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dalam mengaktualisasi diri (reasonable accomodation).
Pemerintah juga harus membangun masyarakat ramah disabilitas. Petugas layanan fasilitas publik, seperti transportasi, rumah sakit, sekolah, dan bank, dibekali kemampuan berinteraksi dengan disabilitas dalam sudut pandang kesetaraan hak. Bahkan penggunaan dana desa dan dana kelurahan dapat mengalokasikan anggaran untuk memberdayakan kelompok disabilitas.
Kelima, pemerintah harus memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan produk industri lokal yang ramah disabilitas, seperti kloset disabilitas, kursi roda canggih, lift khusus pengguna kursi roda, teknologi pemandu remote infrared sign system, ubin pemandu tunanetra yang kuat. Serta pengembangan aplikasi untuk memudahkan disabilitas.
Pencatuman aksara braille di fasilitas publik, seperti di lift, mesin ATM bank, halte, stasiun, terminal, hingga produk rumah tangga. Pengeras suara di tempat penyeberangan orang, bahasa tangan pada layar monitor informasi. Selain itu, penyediaan tempat parkir, toilet, lift, dan ruang khusus di bus atau kereta api bagi penyandang disabilitas.
Keenam, kesempatan di bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka. KRD memenuhi hak hidup, mengembangkan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik. Penyandang disabilitas dapat menyalurkan potensinya dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, dihormati, dilindungi dan dilayani haknya dalam berkota sehingga menjadi individu yang tangguh dan mandiri.
Masyarakat umum dan penyandang disabilitas dibekali informasi yang cukup dan sarana prasana ramah disabilitas. Masyarakat dan sekolah juga melakukan pendidikan dini, sosialisasi, dan simulasi aksesibilitas disabilitas. Selain itu, penyediaan lapangan kerja yang sesuai keahlian, keterampilan, bakat dan kemampuan, sehingga penyandang disabilitas dapat hidup mandiri, berkarya, dan sejahtera.
tulis komentar anda