Dana Bagi Hasil Sawit

Selasa, 01 Desember 2020 - 05:00 WIB
Kondisi seperti ini menimbulkan dampak terhadap tata kelola sektor perkebunan sawit. Pemerintah daerah tidak optimal menjalankan kewenangannya. Misalnya, tidak menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap izin-izin perkebunan sawit yang mereka terbitkan.

Alhasil, banyak kasus pelanggaran yang terjadi, seperti kebakaran lahan, pencemaran lingkungan, menerabas kawasan hutan, dan eksploitasi tenaga kerja. Parahnya, terjadi pembiaran oleh pemerintah daerah. Mestinya, sektor ini mendapatkan pengawasan yang ketat karena memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.

Tidak berjalannya fungsi pengawasan karena minimnya anggaran. Faktanya, banyak daerah penghasil sawit yang tidak memiliki kapasitas fiskal sehingga alokasi belanja pemerintah daerah hanya habis untuk belanja pegawai dan fungsi pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan sebagainya.

Meski ada pemerintah daerah yang mengajukan anggarannya, sering kali ditolak oleh DPRD. Alasannya, sektor ini tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan daerah. Sepantasnyalah pemerintah daerah penghasil sawit menuntut adanya skema DBH Sawit, seperti yang mereka suarakan di forum koordinasi pemerintah daerah penghasil sawit di Pekanbaru, Riau.

Tuntutan para kepala daerah tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat. Tujuan DBH Sawit adalah memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah penghasil untuk memperbaiki tata kelolanya. Ini bukan sekadar cara sederhana berupa penerapan fungsi penerimaan daerah, tetapi membangun sebuah sistem tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan.

Adanya DBH Sawit, pemerintah daerah harus melaksanakan fungsi pengawasan dan pengendalian yang akuntabel dan terukur. Misalnya, harus memiliki data periodik luas areal perkebunan sawit, produksi dan produktivitas lahan serta menggunakan data tersebut untuk mengendalikan dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap lingkungan hidup dan sosial.

Formulasi yang Tepat

Oleh karena itu, perlu kerangka formulasi DBH yang kuat dan kompatibel dengan upaya mewujudkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan. Artinya, formulasi DBH tidak hanya berdasarkan realisasi produksi dan daerah penghasil, tetapi juga mengukur sejauh mana prinsip tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan diadopsi oleh pemerintah daerah. Itu bisa diukur dari luas lahan perkebunan yang sudah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sehingga upaya pemerintah pusat untuk pengembangan ISPO pun bisa terealisasi dengan baik.

Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme alokasi penggunaan DBH Sawit. Hal tersebut penting agar alokasi penggunaan DBH Sawit oleh pemerintah daerah tepat sasaran. Politik penganggaran di daerah sangat dinamis dan sesuai kepentingan penguasa di daerah. Bila tidak diatur, berisiko tinggi disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar alokasi penggunaannya hanya untuk pengembangan instrumen ISPO, perbaikan produktivitas sawit rakyat, pengendalian dampak lingkungan hidup dan sosial, pemberdayaan masyarakat di sekitar area perkebunan sawit, perbaikan infrastruktur di desa penghasil sawit, program industrialisasi sawit rakyat dan hal-hal lainnya yang terkait dengan perbaikan tata kelola perkebunan sawit.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More