Dana Bagi Hasil Sawit

Selasa, 01 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
Dana Bagi Hasil Sawit
Wiko Saputra
A A A
Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Publik

PRINSIP -prinsip desentralisasi tata kelola sektor sumber daya alam (SDA) belum sepenuhnya berjalan di Indonesia. Faktanya, masih ada komoditas SDA yang dihasilkan oleh daerah dan diberikan tanggung jawab tata kelolanya ke pemerintah daerah, tetapi sebagian besar hasil dari penerimaan negaranya masuk ke kas pemerintah pusat. Penerimaan itu tidak diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH), seperti lazimnya sistem desentralisasi fiskal di sektor SDA. Kasus ini terjadi di sektor perkebunan sawit.

Dengan luas lahan mencapai 16,3 juta hektare (Kementerian Pertanian, 2020), produksi minyak sawit yang dihasilkan oleh daerah penghasil mencapai 52 juta ton (BPS, 2020). Pemerintah memungut penerimaan negara berupa penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Penerimaan pajak terdiri atas penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea keluar (BK). Sementara PNBP terdiri atas pungutan ekspor (PE) dan penerimaan dari penyaluran benih sawit. Pada 2018, total penerimaan negara sekitar Rp27 triliun (Kementerian Keuangan, 2018).

Meski demikian, hanya sebagian kecil hasil penerimaan negara dari sawit yang ditransfer ke daerah. Misalnya, PBB perkebunan dan PPh pasal 21 (karyawan) dan pasal 25/29 (orang pribadi). PBB perkebunan 90% sudah ditransfer ke daerah, sedangkan PPh pasal 21 dan pasal 25/29 baru 20%. Keduanya pun bukan penerimaan utama dari sektor sawit karena penerimaan terbesar adalah PPh badan dan pungutan ekspor.

Padahal, merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sebagian besar kewenangan dalam tata kelolanya berada di tangan pemerintah daerah, misalnya, kewenangan dalam perizinan dan pengawasan. Artinya, secara prinsip dasar desentralisasi, kasus ini tidak lazim, karena tidak berfungsinya prinsip money follow function.

Seharusnya, besarnya kewenangan yang dilimpahkan harus disertakan anggaran yang sesuai dengan kewenangan. Ada diskriminasi, karena sektor SDA lainnya seperti kehutanan, pertambangan, dan perikanan memiliki DBH. Kenapa sawit tidak?

Prinsip Tata Kelola yang Baik
Kondisi seperti ini menimbulkan dampak terhadap tata kelola sektor perkebunan sawit. Pemerintah daerah tidak optimal menjalankan kewenangannya. Misalnya, tidak menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap izin-izin perkebunan sawit yang mereka terbitkan.

Alhasil, banyak kasus pelanggaran yang terjadi, seperti kebakaran lahan, pencemaran lingkungan, menerabas kawasan hutan, dan eksploitasi tenaga kerja. Parahnya, terjadi pembiaran oleh pemerintah daerah. Mestinya, sektor ini mendapatkan pengawasan yang ketat karena memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.

Tidak berjalannya fungsi pengawasan karena minimnya anggaran. Faktanya, banyak daerah penghasil sawit yang tidak memiliki kapasitas fiskal sehingga alokasi belanja pemerintah daerah hanya habis untuk belanja pegawai dan fungsi pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan sebagainya.

Meski ada pemerintah daerah yang mengajukan anggarannya, sering kali ditolak oleh DPRD. Alasannya, sektor ini tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan daerah. Sepantasnyalah pemerintah daerah penghasil sawit menuntut adanya skema DBH Sawit, seperti yang mereka suarakan di forum koordinasi pemerintah daerah penghasil sawit di Pekanbaru, Riau.

Tuntutan para kepala daerah tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat. Tujuan DBH Sawit adalah memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah penghasil untuk memperbaiki tata kelolanya. Ini bukan sekadar cara sederhana berupa penerapan fungsi penerimaan daerah, tetapi membangun sebuah sistem tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan.

Adanya DBH Sawit, pemerintah daerah harus melaksanakan fungsi pengawasan dan pengendalian yang akuntabel dan terukur. Misalnya, harus memiliki data periodik luas areal perkebunan sawit, produksi dan produktivitas lahan serta menggunakan data tersebut untuk mengendalikan dampak ekspansi perkebunan sawit terhadap lingkungan hidup dan sosial.

Formulasi yang Tepat
Oleh karena itu, perlu kerangka formulasi DBH yang kuat dan kompatibel dengan upaya mewujudkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan. Artinya, formulasi DBH tidak hanya berdasarkan realisasi produksi dan daerah penghasil, tetapi juga mengukur sejauh mana prinsip tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan diadopsi oleh pemerintah daerah. Itu bisa diukur dari luas lahan perkebunan yang sudah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sehingga upaya pemerintah pusat untuk pengembangan ISPO pun bisa terealisasi dengan baik.

Pemerintah juga perlu mengatur mekanisme alokasi penggunaan DBH Sawit. Hal tersebut penting agar alokasi penggunaan DBH Sawit oleh pemerintah daerah tepat sasaran. Politik penganggaran di daerah sangat dinamis dan sesuai kepentingan penguasa di daerah. Bila tidak diatur, berisiko tinggi disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar alokasi penggunaannya hanya untuk pengembangan instrumen ISPO, perbaikan produktivitas sawit rakyat, pengendalian dampak lingkungan hidup dan sosial, pemberdayaan masyarakat di sekitar area perkebunan sawit, perbaikan infrastruktur di desa penghasil sawit, program industrialisasi sawit rakyat dan hal-hal lainnya yang terkait dengan perbaikan tata kelola perkebunan sawit.

Meski demikian, untuk mencapai itu perlu perubahan kebijakan. Pertama, memperbaiki kerangka regulasi terutama menyangkut kebijakan DBH. Tanpa regulasi yang baik, DBH Sawit tidak bisa dilakukan. Dalam rangka itu, hadirnya rancangan undang-undang tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi entry point dalam menyusun kerangka regulasi terkait DBH Sawit.

Kedua, perlu mengembangkan sumber penerimaan negara yang akan dijadikan objek DBH Sawit. Prioritasnya adalah PNBP dari pungutan ekspor. Kenapa? Selain jumlahnya besar dibandingkan penerimaan lain dari sawit, prinsipnya juga sesuai dengan DBH, karena basisnya adalah jumlah realisasi produksi yang diekspor. Meski pencatatan ekspornya ada di pelabuhan ekspor, itu bisa diproksi dengan jumlah produksi dan luas lahan perkebunan sawit yang terdapat di daerah penghasil. Oleh karena itu, perlu mereformasi tata kelola dana pungutan ekspor sawit dengan mengembangkan sistem DBH dalam instrumen fiskalnya.

Pada akhirnya, mewujudkan perbaikan tata kelola perkebunan sawit tanpa adanya penguatan kapasitas fiskal oleh pemerintah daerah sangat tidak efektif. Apalagi, tujuan pemerintah adalah pengembangan industri sawit berkelanjutan dan peningkatan daya saing industri maka kapasitas birokrasinya harus diperkuat. Karena mereka aktor utama dalam tata kelola, selain pelaku usaha dan masyarakat sipil. DBH Sawit bisa menjadi instrumen penghubung dari semua tujuan perbaikan tata kelola industri sawit nasional.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2120 seconds (0.1#10.140)