Setara Institute Kritik Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Atasi Terorisme

Senin, 11 Mei 2020 - 14:10 WIB
Personel TNI latihan penanggulangan terorisme di kawasan Ancol, Jakarta. Foto/ iNews.id
JAKARTA - SETARA Institute menilai rancangan peraturan presiden (perpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme akan mengancam kebebasan sipil. Ini akan memberikan ruang yang besar bagi militer untuk melakukan operasi dengan pendekatan teritorial.

Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, rancangan perpres ini sebagai mandat dari Pasal 431 ayat 1,2, dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Inti pasal itu menyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.

Dia mengatakan, perpres sebagai regulasi turunan harusnya tidak melampuai ketentuan yang secara tegas diatur dalam pasal 431 tersebut. Pemerintah seharusnya menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur pelibatan, mekanisme perbantuan terhadap Polri, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.

"Karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI ketika melakukan tindak pidana yang melanggar hukum. Di luar lingkup di atas, rancangan perpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum," ujar Hendardi di Jakarta, Senin (11/5/2020).



Menurutnya, rancangan perpres yang disusun pemerintah justru keluar jalur dan melampaui norma pada Pasal 431 UU Terorisme. Dia menyebut materi yang ada dalam perpres tersebut memberikan gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru. Itu melanggar konstitusi, dalam hal ini Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.

TNI adalah alat pertahanan yang melakukan operasi perang dan militer. Selain perang, hanya bisa dijalankan atas dasar kehendak politik negara. Artinya, pelibatan TNI dalam operasi militer harus berdasarkan pada keputusan presiden yang dikonsultasikan dengan DPR RI.

Hendardi menerangkan lewat prepres itu pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberikan tugas memberantas terorisme secara berkelanjutan. TNI bisa melakukan operasi dari hulu hingga hilir dan di luar kerangka criminal justice system.

TNI dapat menerapkan pendekatan operasi teritorial dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). "Draf perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan Presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang," tuturnya.

SETARA Institute menyebut cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam rancangan perpres akan mengancam supremasi konstitusi. Selain itu, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga. Rancangan perpres ini berpotensi menyabotase tugas-tugas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). ( ).

BNPT selama ini menjadi leading sector dalam pencegahan dan deradikalisasi. Hendardi mengutarakan, rancangan tersebut berpotensi merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana.

Dalam rancangan itu TNI bertugas untuk melaksanakan operasi teritorial dalam rangka penangkalan terorisme. Bentuknya, pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan, bantuan sosial fisik dan nonfisik, serta komunikasi sosial.

Hendardi menegaskan rumusan seperti itu akan menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil. SETARA mendesak DPR dan Presiden Joko Widodo menolak rancangan perpres itu. "Apalagi dibahas di tengah pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan politik yang sehat," pungkasnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More