Menuju Masyarakat Post-Seksisme

Rabu, 18 November 2020 - 05:30 WIB
Pertanyaan reflektif bagi masyarakat, baik mereka yang menikmati konten video/foto tersebut maupun masyarakat yang bergunjing atau membicarakan konten video/foto tersebut adalah: jika subjek dalam video atau foto bukan berjenis kelamin perempuan, masihkah muncul animo yang sama hingga kemudian trending di berbagai media?

Sebaliknya, seksisme mungkin saja ditimbulkan oleh perempuan itu sendiri. Beberapa waktu lalu di media sosial ramai tantangan “pillow challenge”, yakni perempuan menggunakan bantal sebagai bagian dari busana. Situasi ini juga dapat memicu terjadinya seksisme.

Majalah Harper’s Bazaar dari Amerika Serikat pada Juni 2020 mengadakan survei pada pembacanya terkait “pillow challenge”. Hasilnya, challenge itu dianggap lebih menarik jika objeknya perempuan dibanding pria atau anak-anak. Jadi, secara sosiologis, masyarakat, baik pria maupun perempuan harus menghindari segala bentuk hubungan aksi-reaksi yang dapat berpotensi atau memicu terjadinya seksisme di tengah masyarakat.

Post-Seksisme

Kondisi seksisme sebenarnya bertentangan dengan cita-cita masyarakat tentang kesetaraan gender. Kesetaraan gender masih menjadi isu dan menjadi perjuangan di seluruh dunia. Irianto (2016) menyebutkan bahwa hingga kini tatanan dan norma dalam masyarakat masih menempatkan perempuan secara subordinatif sehingga kesetaraan masih harus diperjuangkan.

Salah satu akar seksisme adalah kondisi masyarakat yang sangat dipengaruhi jenis kelamin pada penilaian atas sebuah situasi. Untuk mencapai kesetaraan gender, masyarakat harus bergerak pada perilaku berbasis post-seksisme. Makna dari post-seksisme itu sendiri adalah keputusan atau penilaian yang diambil masyarakat sama sekali tidak bergantung pada jenis kelamin.

Satu-satunya yang membatasi pria dan perempuan dalam konteks post-seksisme adalah sifat kodrati yang melekat pada masing-masing jenis kelamin. Artinya, pembedaan hanya dapat terjadi atas sebab kodrati, misalnya karyawan wanita mendapat cuti melahirkan, sebaliknya karyawan pria tidak mendapatkan. Selain sebab kodrati, segala bentuk penilaian dan perlakuan harus ditetapkan dengan menggunakan ukuran yang sama. Dalam masyarakat yang menganut post-seksisme budaya-budaya pergunjingan berbasis pornografi akan ditinggalkan karena secara objektif, dengan adanya kesetaraan gender maka pergunjingan tidak akan terjadi.

Masyarakat post-seksisme juga memiliki ukuran objektif atas privasi maupun tindakan pelanggaran hukum. Artinya, salah satu ciri masyarakat post-seksisme dalam menyikapi beredarnya konten video maupun foto yang mengandung konten pornografi adalah reaksinya yang akan menilai bahwa hal tersebut merupakan ranah privasi.

Demikian pula jika tindakan dalam sebuah video maupun foto mengandung konten pornografi (terlebih dilakukan secara ilegal) akan dinilai sebagai sesuatu yang memiliki konsekuensi hukum sehingga masyarakat tidak akan turut serta menyebarkan maupun menggunjingkannya.

Dalam masyarakat post-seksisme tidak akan terjadi trending selama seminggu hanya gara-gara video maupun foto yang mengandung konten pornografi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More