Menuju Masyarakat Post-Seksisme
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
SEMINGGU belakangan ini sebagian masyarakat “sibuk” mempergunjingkan tersebarnya video berkonten pornografi yang diduga melibatkan artis hingga tersebarnya foto tanpa busana yang juga mirip artis. Tidak dapat disangkal, trending-nya berita ini di berbagai media, termasuk media sosial, selama seminggu lebih bukti nyata potret masyarakat yang seksis. Sebuah isu bisa trending hingga lebih dari tiga hari adalah hal yang sangat jarang terjadi di Indonesia.
Lebih mengherankan lagi isu konten pornografi tersebut terjadi bersamaan dengan beberapa peristiwa besar, baik nasional maupun internasional, seperti isu pergantian presiden AS maupun berita kembalinya Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air. Terlepas dari ada atau tiadanya maksud di balik penyebaran video/foto (berkonten) tersebut, faktanya animo masyarakat terhadap konten pornografi sangat tinggi.
Artikel ini tidak bermaksud menganalisis siapa yang menyebarkan video atau foto dimaksud ataukah apakah konten tersebut orisinal atau tidak. Artikel ini lebih sebagai analisis mengenai tingginya animo masyarakat terhadap konten pornografi. Pada esensinya, artikel ini secara reflektif ingin mencoba mengubah perspektif masyarakat. Pada umumnya perspektif yang terbentuk adalah masyarakat “berlomba-lomba” memberi penilaian, bahkan menghakimi para pihak yang terlibat dalam video atau foto berkonten porno tersebut. Apa penyebab sehingga—dalam bahasa anak muda—masyarakat sangat “kepo” terhadap isu video dan foto berkonten porno tersebut.
Tentu ketertarikan masyarakat atas isu tersebut tidak lepas dari video dan foto yang tersebar di banyak media. Trending-nya isu ini sangat dipengaruhi oleh dua kelompok masyarakat. Pertama, masyarakat yang menjadi “penikmat” konten video atau foto tersebut, kedua, masyarakat yang mengomentari konten video atau foto tersebut dari perspektifnya masing-masing. Baik masyarakat pada kategori pertama maupun kedua sama menilai konten tersebut secara seksis.
Akar Seksisme
Julie Bindel (2018) menguraikan fenomena seksis dalam masyarakat sebagai berikut. Seksisme merupakan ideologi yang mempromosikan prasangka atau diskriminasi berbasis seks atau gender. Ideologi ini menyasar subordinasi perempuan karena realitas historis menunjukkan perempuan berada pada posisi yang didominasi, dieksploitasi, dan ditindas. Dari pemahaman tersebut harus diakui bahwa masyarakat kita memang masih sangat seksis. Hal ini terlihat dari masyarakat kategori pertama yang “menikmati” video/foto berkonten pornografi. Dengan turut menyebarkan konten video/foto maka masyarakat ikut menyuburkan praktik eksploitasi sebagai basis dari seksisme itu sendiri.
Realitas historis di negara patriarkis (termasuk Indonesia), jika dipandang dalam perspektif sosiologis, perempuan kerap kali diposisikan secara subordinat, bahkan ditindas, terutama pada isu-isu berbau seks. Berkaitan hal ini, maka masyarakat yang berada pada kategori kedua turut menyuburkan pertumbuhan seksisme di dalam masyarakat dengan cara bergunjing, membicarakan, maupun memberikan komentar. Ini turut mendorong praktik seksisme.
Pertanyaan reflektif bagi masyarakat, baik mereka yang menikmati konten video/foto tersebut maupun masyarakat yang bergunjing atau membicarakan konten video/foto tersebut adalah: jika subjek dalam video atau foto bukan berjenis kelamin perempuan, masihkah muncul animo yang sama hingga kemudian trending di berbagai media?
Sebaliknya, seksisme mungkin saja ditimbulkan oleh perempuan itu sendiri. Beberapa waktu lalu di media sosial ramai tantangan “pillow challenge”, yakni perempuan menggunakan bantal sebagai bagian dari busana. Situasi ini juga dapat memicu terjadinya seksisme.
Majalah Harper’s Bazaar dari Amerika Serikat pada Juni 2020 mengadakan survei pada pembacanya terkait “pillow challenge”. Hasilnya, challenge itu dianggap lebih menarik jika objeknya perempuan dibanding pria atau anak-anak. Jadi, secara sosiologis, masyarakat, baik pria maupun perempuan harus menghindari segala bentuk hubungan aksi-reaksi yang dapat berpotensi atau memicu terjadinya seksisme di tengah masyarakat.
Post-Seksisme
Kondisi seksisme sebenarnya bertentangan dengan cita-cita masyarakat tentang kesetaraan gender. Kesetaraan gender masih menjadi isu dan menjadi perjuangan di seluruh dunia. Irianto (2016) menyebutkan bahwa hingga kini tatanan dan norma dalam masyarakat masih menempatkan perempuan secara subordinatif sehingga kesetaraan masih harus diperjuangkan.
Salah satu akar seksisme adalah kondisi masyarakat yang sangat dipengaruhi jenis kelamin pada penilaian atas sebuah situasi. Untuk mencapai kesetaraan gender, masyarakat harus bergerak pada perilaku berbasis post-seksisme. Makna dari post-seksisme itu sendiri adalah keputusan atau penilaian yang diambil masyarakat sama sekali tidak bergantung pada jenis kelamin.
Satu-satunya yang membatasi pria dan perempuan dalam konteks post-seksisme adalah sifat kodrati yang melekat pada masing-masing jenis kelamin. Artinya, pembedaan hanya dapat terjadi atas sebab kodrati, misalnya karyawan wanita mendapat cuti melahirkan, sebaliknya karyawan pria tidak mendapatkan. Selain sebab kodrati, segala bentuk penilaian dan perlakuan harus ditetapkan dengan menggunakan ukuran yang sama. Dalam masyarakat yang menganut post-seksisme budaya-budaya pergunjingan berbasis pornografi akan ditinggalkan karena secara objektif, dengan adanya kesetaraan gender maka pergunjingan tidak akan terjadi.
Masyarakat post-seksisme juga memiliki ukuran objektif atas privasi maupun tindakan pelanggaran hukum. Artinya, salah satu ciri masyarakat post-seksisme dalam menyikapi beredarnya konten video maupun foto yang mengandung konten pornografi adalah reaksinya yang akan menilai bahwa hal tersebut merupakan ranah privasi.
Demikian pula jika tindakan dalam sebuah video maupun foto mengandung konten pornografi (terlebih dilakukan secara ilegal) akan dinilai sebagai sesuatu yang memiliki konsekuensi hukum sehingga masyarakat tidak akan turut serta menyebarkan maupun menggunjingkannya.
Dalam masyarakat post-seksisme tidak akan terjadi trending selama seminggu hanya gara-gara video maupun foto yang mengandung konten pornografi.
Lihat Juga: Viral Pengemudi Arogan Berpelat TNI, Kapuspen TNI: Pengecekan Puspom Pemiliknya Purnawirawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
SEMINGGU belakangan ini sebagian masyarakat “sibuk” mempergunjingkan tersebarnya video berkonten pornografi yang diduga melibatkan artis hingga tersebarnya foto tanpa busana yang juga mirip artis. Tidak dapat disangkal, trending-nya berita ini di berbagai media, termasuk media sosial, selama seminggu lebih bukti nyata potret masyarakat yang seksis. Sebuah isu bisa trending hingga lebih dari tiga hari adalah hal yang sangat jarang terjadi di Indonesia.
Lebih mengherankan lagi isu konten pornografi tersebut terjadi bersamaan dengan beberapa peristiwa besar, baik nasional maupun internasional, seperti isu pergantian presiden AS maupun berita kembalinya Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air. Terlepas dari ada atau tiadanya maksud di balik penyebaran video/foto (berkonten) tersebut, faktanya animo masyarakat terhadap konten pornografi sangat tinggi.
Artikel ini tidak bermaksud menganalisis siapa yang menyebarkan video atau foto dimaksud ataukah apakah konten tersebut orisinal atau tidak. Artikel ini lebih sebagai analisis mengenai tingginya animo masyarakat terhadap konten pornografi. Pada esensinya, artikel ini secara reflektif ingin mencoba mengubah perspektif masyarakat. Pada umumnya perspektif yang terbentuk adalah masyarakat “berlomba-lomba” memberi penilaian, bahkan menghakimi para pihak yang terlibat dalam video atau foto berkonten porno tersebut. Apa penyebab sehingga—dalam bahasa anak muda—masyarakat sangat “kepo” terhadap isu video dan foto berkonten porno tersebut.
Tentu ketertarikan masyarakat atas isu tersebut tidak lepas dari video dan foto yang tersebar di banyak media. Trending-nya isu ini sangat dipengaruhi oleh dua kelompok masyarakat. Pertama, masyarakat yang menjadi “penikmat” konten video atau foto tersebut, kedua, masyarakat yang mengomentari konten video atau foto tersebut dari perspektifnya masing-masing. Baik masyarakat pada kategori pertama maupun kedua sama menilai konten tersebut secara seksis.
Akar Seksisme
Julie Bindel (2018) menguraikan fenomena seksis dalam masyarakat sebagai berikut. Seksisme merupakan ideologi yang mempromosikan prasangka atau diskriminasi berbasis seks atau gender. Ideologi ini menyasar subordinasi perempuan karena realitas historis menunjukkan perempuan berada pada posisi yang didominasi, dieksploitasi, dan ditindas. Dari pemahaman tersebut harus diakui bahwa masyarakat kita memang masih sangat seksis. Hal ini terlihat dari masyarakat kategori pertama yang “menikmati” video/foto berkonten pornografi. Dengan turut menyebarkan konten video/foto maka masyarakat ikut menyuburkan praktik eksploitasi sebagai basis dari seksisme itu sendiri.
Realitas historis di negara patriarkis (termasuk Indonesia), jika dipandang dalam perspektif sosiologis, perempuan kerap kali diposisikan secara subordinat, bahkan ditindas, terutama pada isu-isu berbau seks. Berkaitan hal ini, maka masyarakat yang berada pada kategori kedua turut menyuburkan pertumbuhan seksisme di dalam masyarakat dengan cara bergunjing, membicarakan, maupun memberikan komentar. Ini turut mendorong praktik seksisme.
Pertanyaan reflektif bagi masyarakat, baik mereka yang menikmati konten video/foto tersebut maupun masyarakat yang bergunjing atau membicarakan konten video/foto tersebut adalah: jika subjek dalam video atau foto bukan berjenis kelamin perempuan, masihkah muncul animo yang sama hingga kemudian trending di berbagai media?
Sebaliknya, seksisme mungkin saja ditimbulkan oleh perempuan itu sendiri. Beberapa waktu lalu di media sosial ramai tantangan “pillow challenge”, yakni perempuan menggunakan bantal sebagai bagian dari busana. Situasi ini juga dapat memicu terjadinya seksisme.
Majalah Harper’s Bazaar dari Amerika Serikat pada Juni 2020 mengadakan survei pada pembacanya terkait “pillow challenge”. Hasilnya, challenge itu dianggap lebih menarik jika objeknya perempuan dibanding pria atau anak-anak. Jadi, secara sosiologis, masyarakat, baik pria maupun perempuan harus menghindari segala bentuk hubungan aksi-reaksi yang dapat berpotensi atau memicu terjadinya seksisme di tengah masyarakat.
Post-Seksisme
Kondisi seksisme sebenarnya bertentangan dengan cita-cita masyarakat tentang kesetaraan gender. Kesetaraan gender masih menjadi isu dan menjadi perjuangan di seluruh dunia. Irianto (2016) menyebutkan bahwa hingga kini tatanan dan norma dalam masyarakat masih menempatkan perempuan secara subordinatif sehingga kesetaraan masih harus diperjuangkan.
Salah satu akar seksisme adalah kondisi masyarakat yang sangat dipengaruhi jenis kelamin pada penilaian atas sebuah situasi. Untuk mencapai kesetaraan gender, masyarakat harus bergerak pada perilaku berbasis post-seksisme. Makna dari post-seksisme itu sendiri adalah keputusan atau penilaian yang diambil masyarakat sama sekali tidak bergantung pada jenis kelamin.
Satu-satunya yang membatasi pria dan perempuan dalam konteks post-seksisme adalah sifat kodrati yang melekat pada masing-masing jenis kelamin. Artinya, pembedaan hanya dapat terjadi atas sebab kodrati, misalnya karyawan wanita mendapat cuti melahirkan, sebaliknya karyawan pria tidak mendapatkan. Selain sebab kodrati, segala bentuk penilaian dan perlakuan harus ditetapkan dengan menggunakan ukuran yang sama. Dalam masyarakat yang menganut post-seksisme budaya-budaya pergunjingan berbasis pornografi akan ditinggalkan karena secara objektif, dengan adanya kesetaraan gender maka pergunjingan tidak akan terjadi.
Masyarakat post-seksisme juga memiliki ukuran objektif atas privasi maupun tindakan pelanggaran hukum. Artinya, salah satu ciri masyarakat post-seksisme dalam menyikapi beredarnya konten video maupun foto yang mengandung konten pornografi adalah reaksinya yang akan menilai bahwa hal tersebut merupakan ranah privasi.
Demikian pula jika tindakan dalam sebuah video maupun foto mengandung konten pornografi (terlebih dilakukan secara ilegal) akan dinilai sebagai sesuatu yang memiliki konsekuensi hukum sehingga masyarakat tidak akan turut serta menyebarkan maupun menggunjingkannya.
Dalam masyarakat post-seksisme tidak akan terjadi trending selama seminggu hanya gara-gara video maupun foto yang mengandung konten pornografi.
Lihat Juga: Viral Pengemudi Arogan Berpelat TNI, Kapuspen TNI: Pengecekan Puspom Pemiliknya Purnawirawan
(bmm)